Kadipaten Cidra, September 2019
Sepasang kaki telanjang menjejak permukaan tanah yang mulai lembek. Sisa-sisa hujan menyisakan genangan lumpur yang likat. Tubuhnya gemetar berselimut pekat. Terus melaju dengan langkah panjang dan cepat. Napas merengap. Saling memburu di antara dekut para kuak.
Jauh di belakang, serapah dan amarah tak berkesudahan terus memburu. Semakin cepat dan dekat. Melolong bersama pekik dan kepak kalong. Saling berpadu di bawah bayang kelimut kematian.
To-long ... Siapa pun! Aku tidak ingin berakhir di sini.
Merih tercekat. Tak ada suara keluar dari bibir yang mulai membiru. Hanya napas berat dan serat. Sekujur tubuhnya penuh luka. Duri semak perdu dan pecahan beling mengoyak telapakan. Goresan di punggung ia terima saat memintas jalinan bambu di perbatasan hutan jati. Meski kepayahan, ia terus berusaha mempertahankan kehidupan.
Tangan kanannya menjinjing erat ujung jarik yang basah dan berlumpur hingga ke lutut. Keliman kebaya lembap terus berayun-ayun. Menampakkan perut yang tidak terlindung oleh bebatan stagen. Memar kebiruan.
Tangan kiri sesekali menahan kutubaru yang terkelepai di dada. Ketakutan seketika menjengang kala mengingat tarikan paksa pada kancing kutubarunya yang bermotif bunga-bunga.
Ia terus berlari menembus malam tanpa menoleh ke belakang.
Cahaya. Ia butuh cahaya.
Liar matanya menangkap kerlip di kejauhan. Sekelebat memacu langkah menuju pengharapan. Kunang-kunang tak pernah jauh dari sumber air. Mungkin ia telah dekat dengan permukiman.
Aku hanya ingin bertemu dengan seseorang. Aku hanya ingin segera terbebas dari siapa pun mereka yang tak ingin aku keluar dari sini.