Hari hampir petang, mata baru dibuka sebelah, sisanya dijerat kantuk. Rasa malas itu menghantui dengan berat, selebihnya senang, kecewa dan bahagia menggunung di benak Sasun. Urusan sekolah telah usai, bersama datangnya ijazah, di beberapa ruas batin muncul tanda- tanda aneh, segala keindahan bersama kawan sekolah telah pupus, tak ada canda - tawa dan tegur- sapa. Kenangan itu bagaikan gunung meledak, tak mungkin menggunduk kembali di tempat awal , hanya bekas puing berserakan dan menyisakan luka.di hati seakan tak ada darah mengalir , rasa menguat untuk tak segera ambil langkah lebih, kecuali nyaman di tempat tidur, begitu juga mata yang tak sepaham dengan hati. Di saat yang sama muncul kembali tumpukan rasa, kali ini datang dari sang gembala hati, di pagi itu seharusnya dia sebagai pelengkap kebahagiaan, namun harapan itu hanya bayangan. Separuh hati kecilnya bicara maaf, namun sebelahnya bicara benci, waktu tak akan berputar ulang, dan itulah salah satu penyebab bergelayutnya mendung itu. Bukan banjir kata yang dimaksud namun hadirnya sosok itu adalah segalanya. Ratusan WA mengantri ke dalam phonsel dan kata-kata maaf itu bagai jamur di musim hujan, namun tetap kecewa harus duduk sebagai penghakimnya. " Halo mas, baru saja aku mau telphon tapi kau lebih cepat, apakah daftar ulang itu selesai dalam satu minggu...?" Sasun mencoba aduk rasa balik, atas kekecewaan hati, " Halo... Sasun, apa kabar, selamat ya ... Sekarang kau bukan anak SMP lagi, tapi SMU, jadi harus lebih dewasa?", Amirin mencoba rayu agar kecewa itu tak lebih panjang. Dirinya paham Sasun kecewa dan pantas untuk itu namun keadaanlah yang menjadikan segalanya. "Kabar baik mas...yang kurang baik kabar dari dirimu....?!" Sasun dalam nada kecewa." Kamu kecewa ya..., kan kemarin aku sudah ngomong sama kamu, hari ini aku tak bisa janji untuk datang pada acara itu, kepentingan selesai tengah hari tak mungkin aku lari untuk mu, jadi maaf ya...," Amirin mencoba rayu Sasun , " Hari ini aku tak makan sama sekali...?" Kata Sasun "kenapa...? " Amirin balik tanya " Kenyang makan WA kamu...?!" Jawab Sasun, "Jangan marah dong..., mahgrib saya datang ke rumah , tunggu saja ya, ada oleh-oleh buat kamu..." Jawab Amirin. Mendengar istilah oleh-oleh , tensi Sasun menurun, rasa cinta kian menguat, telpon diakhiri dengan meninggalkan rasa harap pada diri Sasun, si dia juga oleh-oleh itu.
Phonsel Sasun sunyi kembali dan Amirin penciptanya, dilihat ulang hasil photo phonsel bersama di sekolah, memori lama terungkat ke atas ,kawan- kawan sekolah tampak ceria hanya satu wajah tak muncul , kecewa dan sedih, namun itu kenyataan yang ada. Berkas-berkas ijazah dalam sebuah map biru terhampar di atas meja, dilirik kembali, tangan datang mendekat untuk membuka, daftar nilai nampak segar, tak ada warna merah, walau bukan nilai seorang bintang kelas.