Berbagai kelakuan buruk Abdullah telah diketahui dan ditegur oleh Abidah. Sebagai seorang laki-laki, Abdullah merasa tidak dihormati oleh istrinya, ia merasa Abidah terlalu berani kepada dirinya sebagai suami. Abdullah merasa Abidah berbeda dengan istri-istrinya yang lain, yang selalu patuh, taat, tak pernah menegur dan merasa sok tahu ketika Abdullah melakukan sesuatu. Abdullah merasa tidak suka dengan para perempuan yang merasa lebih pintar darinya. Perempuan pintar memang penting tetapi Abdullah tidak ingin istrinya lebih pintar dari dirinya. Karena hal tersebut, Abdullah pun merasa harus lebih hati-hati dan dengan Abidah. Ia merasa tidak akan berhenti memanggil para janda khalifah, sebagai seorang mursyid ia sudah mempunyai banyak kontribusi kebaikan, seringkali ia merasa pikirannya tegang sehingga membutuhkan banyak perempuan supaya bisa menenangkan diri. Ia merasa perempuan memang diciptakan di dunia untuk bisa menenangkannya sebagai seorang laki-laki.
Abdullah berniat membuat tempat khusus di luar pesantren yang tidak mudah dijangkau oleh banyak orang, terlebih istri-istrinya yang suka menciptak masalah-masalah baru. Tempat itu nantinya dijadikan tempat untuk melakukan berbagai kesenangan dengan para perempuan-perempuan pesantren yang bisa ia panggil kapan saja yang ia mau. Hingga pada satu waktu Abdullah berfikir untuk minta tolong istri pertamanya untuk menyiapkan perempuan-perempuan pesantren. Abdullah pun merayu muslimah agar ia mau membantunya. Muslimah yang sangat taat kepada Abdullah pun mau manuruti segala kemauan Abdullah. Ia berjanji akan menuruti segala yang diperintahkan oleh Abdullah. Dan hal tersebut membuat Abdullah semakin sayang dan dekat dengan Muslimah. Karena muslimah mau menaati segala perintah Abdullah.
Muslimah sebagai perempuan ia sudah mati rasa melihat berbagai kelakuan suaminya, puluhan tahun ia hidup bersama dalam keluarga poligami dan suka memanggil banyak perempuan yang bukan istrinya untuk bersenggama. Sudah puluhan kali ia mengingatkan namun ia tidak pernah didengarkan, berkali-kali ia mendapat kekerasan. Hingga satu waktu ia membuat kesepakatan antar keduanya bahwa Muslimah tidak akan mengusik berbagai kehidupan Abdullah, tapi ia meminta berbagai aset pesantren untuk dirinya dan anak nya kelak. Berdasarkan hal itu Abdullah pun menyetujui. Melihat hal tersebut Abdullah ingin meminta tolong Muslimah untuk turut membantu ia mencarikan para perempuan supaya ia bisa lebih produktif melakukan banyak kebaikan.
Abidah stelah menegur Abdullah, ia merasa suaminya semakin tidak pernah bekunjung ke rumahnya. Sebagai istri Abdullah tentu ia merasa sedih. Ia khawatir suaminya semakin parah kelakuannya tanpa sepengetahuan Abidah. Abidah pun lebih banyak mengamati, namun Abdullah memang jarang di rumah, ia mempunyai banyak aktivitas. Abidah pun bnayak memasrahkan suaminya pada Allah, ia berdoa semoga suaminya segera diberikan hidayah supaya ia segera bisa taubat. Abidah tidak banyak menceritakan berbagai kejadian yang terjadi dalam rumah tangganya. Tangisnya sepi, tak mengelurakan suara, apalagi bisa didengar orang. Namun, wajah Abidah seringkali tidak bisa berbohong, wajah menunjukkan dirinya sedang bersedih meskipun dirinya sedang tersenyum. Matanya sembab, hidungnya tersumbat. Habibatullah yang tumbuh menjadi seorang perempuan remaja pun seringkali memergoki ibunya sedang menangis dalam diam. Namun ibunya seringkali langsung mengusap air matanya dan menyembunyikan tangis tersebut. Habibatullah curiga, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada Ibu dan apa yang membuat ibunya menangis diam-diam. Ia seringkali menanyakan kondisi ibunya secara langsung. Namun, Abidah selalu menjawab “tidak apa-apa dan tak usah khawatir”
“Ibu jujur saja tidak apa-apa”
“Tidak nak, ibu serius tidak apa-apa”