Perempuan Perempuan Pesantren

Tsamrotul Ayu Masruroh
Chapter #9

Suara Sumbang


Kegelisahan semakin menguasai perasaan Hasna, Zahra dan Amelia. Mereka sudah berusaha meredam berbagai pikiran buruknya, namun semakin pikiran buruk itu diredam semakin pikiran buruk itu merajalela mengusai pikiran mereka. Mereka seringkali menangis terisak-isak dan semakin muncul ingatan mereka pada kejadian yang sudah dilakukan oleh Amrullah kepada diri mereka akan terulang lagi pada mereka. Zahra dan Amelia takut hal yang tidak diinginkan terjadi, mereka takut hamil dalam kondisi yang masih usia anak-anak, takut dianggap tidak perawan dan tidak ada orang yang mau menikah dengannya suatu hari nanti. Sementara Hasna merasa dirinya ditelanjangi oleh Amrullah. Lebih dari itu semua, mereka takut kejadian apa terjadi kepada mereka, itu juga terjadi lagi kepada santri-santri perempuan yang lain.

Mereka bingung kepada siapa mereka harus mengadukan perkara menyoal kekerasan seksual yang dilakukan oleh Amrullah. Selama mereka di pesantren tidak pernah mengetahui ada lembaga yang menangani kekerasan seksual. Haruskah para santri yang menjadi korban ini mengadu kepada Sang Mursyid? Sosok guru yang mereka cintai dan juga abah kandung dari Amrullah yang telah memperkosa Amelia, Zahra dan beberapa kawan lainnya. Mereka berfikir bukankah setiap orang tua akan membela anaknya? Namun di sisi lain, mereka juga berfikir bahwa Sang Mursyid adalah hakim bagi semua persoalan santri di pesantren. Bahkan hampir semua permasalahan masyarakat Sang Mursyid yang bisa menyelesaikan. Sosoknya yang bijak akan bisa memutuskan sebuah perkara dengan adil, segala keputusannya tertata karena hatinya suci banyak berdzikir kepada Allah. 

Selanjutnya, Hasna, Zahra dan Amelia bingung bagaimana cara mereka bisa mengadukannya ke Sang Mursyid. Bagi tiga santri tersebut, Sang Mursyid sangat sulit ditemui. Ia selalu menyibukkan diri dengan segala amalan-amalan wiridnya. Untuk bisa bertemu dengan sang mursyid harus ada perantara orang dalam, perlu menunggu waktu yang cukup lama dan prosesnya tidak bisa dengan mudah, entah itu melalui salah satu dari keempat istrinya atau para wakil-wakilnya. Selain itu untuk bisa bertemu dengan Mursyid harus mempunyai alasan yang jelas. Jika perantara untuk bertemu sang Mursyid adalah ibunya Amrullah, maka yang terjadi para santri semakin tidak bisa berkata-kata, mereka takut takut tidak bisa memberikan penjelasan tentang berbagai hal yang mereka alami, mereka takut dihakimi terlebih dulu sebelum menyampaikan, dan khawatir keinginan mereka untuk bisa bertemu dengan Abdullah pasti tidak terealisasikan.

Salah satu perantara yang bisa mengantarkan untuk bisa bertemu Abdullah, menurut Hasna adalah Habibatullah dan ibunya Abidah, Mereka memanggilnya “Ning Habibatullah” Sebuah panggilan terhormat untuk seorang anak perempuan ulama. Dan juga memanggil Abidah mereka dengan “Bu Nyai Abidah”. Ia adalah salah satu istri sang mursyid yang diketahui bisa mendengarkan keluh kesah para santri yang ada di pesantren Cahaya Kebenaran. Dan paling mudah ditemui para santri dibandingkan dengan para istri-istri mursyid yang lain. Mereka ingin mencoba mengadu kepada dua perempuan tersebut, karena menganggap seorang perempuan pasti bisa mengerti, mempercayai dan bahkan mau membantu kasus yang dialaminya.

Mereka berharap Habibatullah bisa menyampaikan kepada abahnya Abdullah bahwa anaknya yang bernama Amrullah yang akan menjadi penerus pesantren Cahaya Kebenaran telah melakukan pelanggaran agama, ia telah menyetubuhi beberapa santrinya, mengajak pesta minum wine dan membuat ritual yang melakukan penelanjangan pada perempuan. Atau jika memungkinkantiga anak itu berharap besar nantinya bisa bertemu langsung dengan sang Mursyid, karena ini adalah hal yang sangat urgent dan sensitif, agar masalah yang terjadi bisa segera mendapatkan titik terang. Selain itu, supaya Sang Mursyid tahu sendiri apa yang sebenarnya dilakukan oleh Amrullah, seorang anak laki-laki yang selama ini dibanggakan oleh setiap wajah sudah berbuat sewenang-wenang menyakiti anak orang yang sudah dipercayakan kepada sang Mursyid di sebagai pendiri pesantren Cahaya Kebenaran. Mereka tidak berani menceritakan hal ini kepada siapapun. Mereka merasa melakukan pengaduan pada selain tuhan dan sang Mursyid adalah hal yang salah dan semakin memperkeruh masalah.

Pada pagi hari. Hasna, Amelia dan Zahra pergi ke rumah Nyai Abidah, dengan sedikit bergetar dan ketakutan, namun mereka mencoba memberanikan diri menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, Mereka memyembunyikan berkas-berkas dan bukti pengaduan mereka dalam tas agar tidak terlihat oleh siapapun, mereka berjalan dengan cepat, melewati jalan yang sepi yang jarang dilalui oleh khalayak, mereka takut mata-mata Amrullah yang setiap harinya berjaga dan ada dimana-mana, tanpa diketahui oleh mereka bertiga sedang memperjuangkan keadilan.

Sampai rumah Abidah disana mereka bertemu dengan ajudannya, mereka langsung dipersilahkan untuk menghadap kepada Abidah dan juga putrinya Habibatullah di ruang tamu. Mereka mengucap salam, menyapa dan tersenyum dengan santun. Namun di ruang tamu hanya ada Habibatullah. Kemudian mereka mencoba mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu meminta bantuan atas segala belenggu yang ada di batin Hasna dan dua kawannya. Mereka menceritakan tentang kejadian yang menimpanya, saat berada di klinik Asyifa yang akan diresmikan oleh Amrullah, di tempat tersebut Amrullah melakukan berbagai perbuatan yang menyeleweng dari ajaran syariat agama, Amrullah melalukan personal interview yang di dalamnya terjadi penelanjangan dan pemaksaan persetubuhan kepada Zahra, Amelia dan Hasna dan atau mungkin ada kawan lainnya lagi yang menjadi korban Amrullah, tapi mereka tak mau mengaku, karena takut kepada Amrullah. Amrullah juga mengajarkan para anggota untuk minum wine, minuman beralkohol yang diminum secara bersama-sama. Tiga anak itu menceritakan kepada Abidah dan Habibatullah bahwa sampai saat ini tidak berani cerita kepada siapapun, karena mereka takut dianggap sebagai para perempuan  pemfitnah dan tukang mengada-ngada.

Mereka sadar bahwa mereka hanyalah seorang santri biasa. Sementara Amrullah adalah anak kandung dari seorang Mursyid, ia punya banyak ajudan untuk membantunya. Tiga anak itu khawatir jika menceritakan kepada orang lain, orang lain tersebut tidak percaya. Bagi mereka mayoritas orang banyak melihat siapa sosok yang menyampaikan, bukan apa yang disampaikan. Seseorang yang kaya dan berpangkat pasti akan dipercaya banyak orang, meskipun kadang mereka banyak bohong. Sementara seseorang yang miskin dan tidak punya pangkat apa-apa akan susah untuk dipercaya, apalagi yang menyampaikan adalah perempuan dan masih usia anak. Tiga anak itu menjelaskan kepada Habibatullah dan Abidah, bahwa mereka berharap Abidah dan Habibatullah bisa mengerti bagaimana kegelisahan yang sebenarnya mereka rasakan.

Mendengar berbagai cerita yang dialami oleh Hasna, Zahra, dan Amelia tersebut membuat Habibatullah kaget. Ia percaya dan tak percaya dengan informasi yang datang padanya. Dalam pikirannya ia bertanya-tanya apa benar sosok yang dibangga-banggakan oleh abahnya telah melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum dan telah mencederai kemanusiaan para santri.  Jika apa yang dilaporkan tiga anak itu benar maka Abdullah pasti sangat marah karena anak yang akan menjadi penerus pesantren sudah melakukan pelanggaran yang berat. Habibatullah masih kaget dengan berbagai informasi yang datang kepadanya. Jika Amrullah saudaranya ini melakukan tindak kekerasan maka ia harus mendapatkan sanksi dan hukuman yang berat. Namun jika tiga anak itu yang salah, maka anak itu telah melakukan dosa besar fitnah, tiga anak itu yang semestinya akan mendapatkan sanksi. Ia bertanya-tanya dalam hatinya apa benar tiga anak itu berbohong sambil bersusah payah mempengaruhi Habibatullah di rumahnya. Ia juga merasa tidak semua orang berani datang ke rumahnya dengan main-main. Ia merasa sangat dihormati dan sangat dihargai sebagai bagian dari keluarga pimpinan pesantren.

Namun, ketika Habibatullah melihat sorot mata tiga anak itu, ia merasa sorotan matanya itu seolah bicara dengan jujur, seolah apa yang dikatakannya adalah benar. Suara mereka yang sedikit gemetar keluar dari mulut anak tersebut seolah terdengar tidak berbohong, apa yang disampaikan tiga anak itu seolah sangat jujur dari lubuk hatinya yang terdalam. Habibatullah mengaku turut bersedih dan mengelus punggung ketiga perempuan itu, namun ia bingung apa yang harus dia lakukan, ia belum mengetahui bagaimana kronologis jelasnya, ia merasa tidak boleh cepat percaya dengan informasi  tanpa bertabayun dulu. Pada saat bersamaan, Habibatullah juga sangat hati-hati dalam berbagai ucapannya, ia takut jika benar mereka adalah korban ia akan menciptakan trauma yang sangat mendalam untuk kesekian kalinya.

Selebihnya Habibatullah sebagai perempuan merasa posisi dia juga tidak banyak dipertimbangkan dalam keluarganya. Meskipun ia adalah anak mursyid, apalagi ini menyangkut soal permasalahan saudaranya sendiri. Habibatullah pun mencoba mencari ibunya untuk berdiskusi terkait masalah tersebut terlebih dahulu, untuk mencari jalan terbaik apa yang seharusnya bisa dilakukan, ia tidak ingin salah langkah sehingga suatu hal buruk terjadi, ia tidak ingin niat baiknya untuk membantu para santri yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh Amrullah, justru ia terlibat dengan berbagai tuduhan yang tidak benar. Mengetahui informasi dari Habibatullah, Abidah sangat sedih mendengar hal tersebut, namun ia tidak tahu dengan cara seperti apa ia bisa membantu para santri yang mengadu kepadanya, ia menegur suaminya yang melakukan kesalahan saja tak bisa, apalagi menyangkut kasus anak Abdullah dari istrinya yang lain, ia membayangkan hal buruk terjadi kepadanya jika ia menegur kasus dari istri Abdullah lainnya. Namun ia juga tidak bisa diam dan tidak membantu apa-apa. Abidah pun diam berfikir keras apa yang bisa ia lakukan.

Untuk bisa membantu lebih jauh, Habibatullah ingin berbagai hal yang dilakukan itu ada bukti pendukung, ia meminta berbagai pakaian yang digunakan oleh Hasna, Amelia dan Zahra dalam tempat kejadian, ia meminta foto kegiatan atau berbagai aktivitas yang pernah ada di gedung Walisongo sebagai bukti pendukung, ia juga meminta luka yang ada di tubuh Zahra difoto supaya bisa jadi bukti bahwa kekerasan itu ada dan Habibatullah tidak dituduh mengada-ngada. Zahra dan Amelia pun menyetujui berbagai hal yang disampaikan Habibatullah. Merekapun berinisiatif untuk menulis kronologi detailnya untuk sang Mursyid. Habibatullah pun senang mereka bisa mengerti kondisi Habibatullah. Habibatullah melakukan hal tersebut supaya abahnya bisa mengerti, ia merasa seringkali tidak dipercaya oleh abahnya, bahkan ia sering merasa ia mendapatkan diskriminasi dari ayahnya sendiri.

Abidah pun menemui tiga anak itu. Ia menjelaskan kalau dirinya sudah mendapat informasi dari Habibatullah, anaknya. Ia pun bertanya terkait bagaimana respon orang tua ketika mengetahui hal yang seperti ini. Hasna mengatakan kalau sampai saat ini orang tuanya  dan orang tua Amelia belum tahu. Bisa jadi orang tuanya ketika tahu bisa sangat marah, sementara Zahra kedua orang tuanya sudah meninggal dunia sejak lama. Mereka semakin bersedih mendengar pertanyaan itu, mereka berdua merasa harus menanggung beban berat sendirian di pesantren, mereka berduapun menangis. Abidah merasa bersalah karena bertanya demikian, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Abidah pun mengelus-ngelus punggung Zahra dan Amelia.

 “Bantu kami mengatasi masalah ini Bu Nyai Abidah. Kami tidak ingin hal yang terjadi pada kami itu terulang pada adik-adik kami yang nyantri di sini, kami mengalami trauma yang berat sampai saat ini. hal itu menjadi beban yang sangat berat bagi kami Bu nyai.” ungkap Hasna memohon bantuan kepada Abidah.

“Saya bukan siapa-siapa nak, saya tidak bisa membantu apa-apa nak, saja juga takut nanti dikira mengadu domba, saya juga sering disalahkan Amrullah beserta ibunya nak, segala sesuatu dia yang berkuasa di pesantren ini, sehingga apa yang saya lakukan selalu dianggap salah. setiap hari kalian harus banyak berdoa, perbanyak baca Lahaula walaa quwaata illa billah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah, sekarang kalian pulanglah, tenangkan diri kalian, hanya Allah yang bisa membantu masalah ini. Jika Allah berkenan kalian pasti dipertemukan dengan sang mursyid, saya akan mengusahakan dan mencari cara yang terbaik untuk bisa membantu kalian bertiga.” ucap Abidah. Sambil merasa hidup dalam poligami itu sangat sulit dan rumit. Tidak semudah hidup dalam keluarga monogamy yang bisa dengan mudah menegur keluarga besarnya kapan saja, tanpa khawatir dituduh mwngadu domba anak istri Abdullah lainnya.

Lihat selengkapnya