Melihat kenyataan yang semakin rumit. Habibatullah berfikir bahwa apa yang terjadi tidak bisa lagi diselesaikan secara kekeluargaan. Amrullah menjadi orang yang terlalu jahat bagi Habibatullah, seolah musuh bagi saudara perempuannya sendiri. Amrullah telah tega menyerang saudara perempuannya dengan para jamaahnya. Atas hal tersebut Habibatullah merasa terasing, terganggu dan merasa tidak aman, meskipun sebenarnya ia tidak merasa bersalah sama sekali.
Tuduhan Habibatullah seolah menjadi bola panas yang semakin membesar dan menyerang Habibatullah secara personal. Ia ingin klarifikasi bahwa ia sebagai perempuan ingin pula mempunyai hak sebagaimana hak yang diterima oleh Amrullah. Ia ingin bersekolah tinggi, turut berkontribusi dalam banyak kegiatan pesantren dan berbagai hal yang bermanfaat pada manusia lainnya. Tapi ia tidak pernah sama sekali melakukan cara kotor untuk memfitnah ataupun menjatuhkan nama baik Amrullah, yang mana itu adalah saudaranya sendiri, satu darah dengannya, sama-sama sebagai anak dari Abdullah.
Habibatullah ingin menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Ia jarang sekali keluar rumah dan jarang berinteraksi dengan para jamaah atau santri. Tiba-tiba pada satu waktu ada tiga santri perempuan yang datang bertamu ke rumahnya. Ia tidak kenal siapa namanya. Tiba-tiba ada tiga santri yang melapor kepadanya terkait kasus kekerasan seksual yang dialaminya dan hal terkutuk tersebut dilakukan oleh Amrullah saudaranya. Mengetahui hal tersebut, Habibatullah kaget. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan. Yang bisa ia lakukan hanyalah membantu menyampaikan hal tersebut kepada ibunya dan kemudian disampikan kepada Abdullah, abahnya. Ia tidak pernah membuat skenario apapun untuk memfitnah Amrullah. Ia juga tidak ingin mencemarkan nama baik keluarga ataupun pesantren Cahaya Kebenaran yang mempunyai ribuan jamaah dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, Habibatullah tidak tahu bagaimana ia harus melakukan klarifikasi. Para jamaah membabi buta meyakini bahwa Habibatullah adalah orang akan menghancurkan pesantren dari dalam institusi agama yang telah di bangun oleh abahnya selama puluhan tahun. Sambil menangis habibatullah berkata “Segala apa yang terjadi Allah tahu, bahwa saya tidak melakukan sebagaimana yang dituduhkan.”.
Melihat kenyataan yang terjadi, Abdullah bingung kepada siapa ia harus berpihak. Ia sudah bertemu para korban. Ia merasa bahwa para korban memang benar namun jika membela mereka, dan menghakimi anaknya Amrullah, maka akan ada dampak yang tidak baik kepada pesantren yang ia bangun dan kembangkan dengan susah payah selama bertahun-tahun. Amrullah memegang kekuasaan memimpin banyak organisasi di pesantren. Jika kelakuan Amrullah diketahui oleh banyak masyarakat sebuah kepastian bagi Abdullah, ia akan mendapat stigma buruk dari masyarakat. Tapi bagaimanapun juga, bukankah semua orang sudah mengerti bahwa seharusnya sesuatu hal yang benar harus dikatakan benar, dan yang salah harus dikatakan salah, tidak peduli dengan apa yang akan terjadi, bukankah semua orang juga tahu bahwa orang yang seperti itu meskipun mendapat stigma buruk, pada dasarnya ia adalah orang yang sangat bijaksana, berani mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Jika Abdullah membiarkan anaknya tetap menguasai organisasi dan tidak memberi pelajaran yang membuat anaknya merasa resah dan bisa berubah, bukankah anaknya akan selalu berbuat sewenang-wenang seperti kejadian yang sudah terjadi berulang-ulang. Membuat terluka para santri perempuan, membuat terluka keluarganya, bukankah jika rasa kemanusiaan tersakiti semua orang di belahan dunia ini yang waras juga ikut tersinggung. Ini adalah permasalahan terbesar yang pernah dialami Abdullah. Ia bingung apa yang seharusnya ia lakukan.