Mengetahui ceramah Abdullah yang sangat provokatif. Habibatullah ingin segera menemui abahnya setelah pengajian, ia datang sendirian tanpa ditemani ajudan ataupun ibunya, ia berlari memasuki lorong panjang menuju ruangan tempat Abdullah istirahat seusai berceramah. Tanpa basa-basi, Habibatullah memberanikan diri untuk menegur berbagai kalimat yang disampaikan dalam ceramah dan didengarkan oleh banyak orang, ia khawatir berbagai ucapan abahnya dapat membahayakan dirinya dan juga ibunya. Habibatullah mengetahui perkataan seorang pemuka agama itu mempunyai sebuah kekuatan yang besar, karena segala ucapan pemuka agama dipercayai sebagai kebenaran Tuhan oleh banyak orang.
Habibatullah pun mengingatkan ayahnya untuk hati-hati dalam berkata, supaya tidak menimbulkan celaka. “Abah saya ingin bicara dengan abah sebentar saja. Kenapa abah menuduh tiga anak itu akan menghancurkan pesantren? Mengapa abah menuduh saya berbuat fitnah? Menuduh saya PKI? Bukankah abah tahu semuanya apa yang sedang terjadi? Bukankah abah tahu semuanya kalau saya tidak pernah pergi kemana-mana? Setiap hari di rumah bersama ibu? silhakan saja abah tanyakan pada para ajudan, ibu dan bisa abah lihat sendiri apa yang terjadi di CCTV.” Ucap Habibatullah dengan suara yang keras dan sedikit gemetar.
Abdullah kaget anak perempuan yang jarang ia temui, usianya masih sangat muda tapi berani menegur dirinya yang usianya jauh lebih tua darinya.
“Jangan percaya abah, lihat saja video tiga anak itu jelas-jelas mengaku disuruh Habibatullah anak abah untuk memfitnah saya yang merupakan saudaranya sendiri.” Amrullah tiba-tiba datang dan menyela ucapan Habibatullah kepada abahnya, dengan suara yang lantang.
“Abah tahu sendiri bagaimana tiga anak itu melapor kepada abah dan disaksikan ibu, mereka datang dengan luka-luka ditubuhnya, CCTV di rumah masih ada, itu bisa menjadi bukti dalam permasalahan ini.” jawab Habibatullah.
“Halahhhh, itu akal-akalan mu saja, kamu memang pintar sejak dulu, otakmu sangat cerdas, tapi sungguh kamu jahat sekali sama saudaramu ini, demi kepentinganmu untuk bisa menguasai dan inginmenjadi pemimpin pesantren, saudaramu ini kamu jebak dengan scenario anak-anak perempuan itu.” Ucap Amrullah dengan suara tinggi.
“Astaghfirullah, sungguh jahat sekali kamu menuduhku seperti itu, aku memang sejak dulu ingin menjadi sepertimu, tapi tak peranh sekalipun aku punya niat jahat untuk memfitnahmu, aku curiga apa yang sebenarnya kamu lakukan pada tiga anak itu, setelah melapor kepada abah”
Amrullah tiba-tiba menampar wajah Habibatullah dengan tangan kanannya, Habibatullah pun tidak terima tamparan tersebut, ia pun ingin membalas tamparan Amrullah, namun Habibatullah tidak bisa, karena Amrullah berhasil menghalau tangan Habibatullah yang lebih kecil dari tangannya.
“Sudahhh, saya muak mendengar pertikaian ini, mulai sekarang Habibatullah bukan anakku lagi, aku tidak mau punya anak sepertimu. Dasar anak perempuan tidak tahu diuntung.” teriak Abdullah untuk menyudahi pertikaian.
Habibatullah pun langsung bersujud dibawah kaki Abdullah, ia menangis bersimpu “Ampuni saya abah, tapi saya memang tidak melakukan itu, abah bisa mencari tahu sendiri bagaimana yang sedang terjadi. Saya bisa membuktikan semuanya. Saya tidak ada niat memfitnah, sesunguhnya saya melaporkan kejadian itu kepada abah untuk membantu supaya apa yang dilakukan tidak berulang lagi kepada banyak santri, saya juga hanya ingin membantu orang yang menderita saja. Tidak lebih dari itu abah. Abah harus bisa mengerti saya.”
“Bohonggg.” Ucap Amrullah yang semakin keras.
“Sudah, kamu pulang sekarang. Tak sudi aku melihatmu ada di sini” Abdullah memaki Habibatullah dan kakinya menendang kepala anak perempuannya. Kemarahannya Abdullah semakin tidak terkontrol.
“Saya tidak mau, saya sampai kapanpun saya adalah anak abah, tolong abah cari tahu kebenarannnya seperti apa, abah harus bertabayun apa yang sebenarnya terjadi.” Habibatullah pun menangis di tempat tersebut sambil memegangi kaki Abdullah,lalu kemudian Habibatullah diangkat oleh para ajudan untuk pulang ke rumahnya.
Sepanjang jalan pulang ia menangis, Habibatullah berusaha untuk menguatkan diri karena harapannya kepada abahnya telah punah, abahnya sebagai seorang mursyid tarekat sangatlah tidak bijaksana, abahnya sudah menjadi orang asing yang lupa akan petuah-petuah bijaknya, ia lupa bahwa memberi nasihat keepada para jamaah bahwa setiap manusia harus berani mengatakan benar sebagai benar apapun resikonya, salah sebagai salah apapun resikonya. Tidak mudah percaya sama orang, segala sesuatu harus diperiksa dengan teliti supaya tidak menimpulkan suatu kerugian bagi suatu golongan. Tapi pada kenyataannya Abahnya tidak bisa mendengarkan Habibatullah sama sekali. Sampai di rumah Habibatullah pun langsung menceritakan apa yang terjadi pada ibunya.
Mendengar cerita dari Habibatullah, Abidah pun merasa marah dan langsung ingin menemui Abdullah tanpa peduli waktu yang sudah dini hari. Ia meluapkan emosinya kepada Abdullah, ia sudah tidak tahan lagi dengan berbagai kasus yang terjadi, Abidah pun datang menemui Abdullah yang sedang di rumah Muslimah.
“Mas Abdullah, saya ingin ngomong sebentar. Tolong keluar.” Ucap Abidah sambil mengetuk pintu tempat tidur, dimana Abdullah sudah bersiap untuk tidur.
“Mas Abdullah, tolong keluar.” Suara Abidah dengan suara yang lebih keras.
Abdullah pun keluar kamar, dan menemui Abidah.
“Apalagi? Tolong anakmu itu dididik dengan baik, dia sudah tidak sopan dengan orang tuanya. Dasar perempuan bodoh, tidak bisa mendidik anak.” Ucap Abdullah.
“Bertahun-tahun saya menahan emosi patuh di depan orang yang tidak bisa menghargai saya dan anak kandungnya sendiri, bertahun-atahun saya menangis, kamu sibuk berzina dengan banyak perempuan yang bukan istrimu, saya diam, hingga hari ini kamu mengatakan saya bodoh dan kamu tidak mengakui Habibatullah sebagai anakmu, memang benar ya pendosa itu membela pendosa, abah dan anak laki-lakinya sama saja, sama-sama pemerkosa.” Jawab Abidah meluapkan emosinya.
“Diam perempuan bodoh, kamu tidak perlu menjadi sok suci di depanku. Kamu bisa melihat kesalahan orang lain, tapi tidak bisa melihat kesalahan diri sendiri. Mulai sekarang kamu bukan istri saya lagi.” Abdullah meludah kearah Abidah.
“Saya tidak apa-apa kamu ceraikan, saya sudah capek bertahun-tahun hidup seperti ini. Saya sudah muak dengan semua ini. Tapi kamu harus berfikir Habibatullah itu tetap anakmu, dia itu darah dagimgmu, sampai akhir hayatmu Habibatullah tetaplah anakmu. Kamu wajib menjadi wali dan memberi nafkah untuknya sampai kapan pun.” Jawab Abidah.
“Saya tidak sudi punya anak dan istri yang mau mengahncurkan pesantren yang saya rintis sejak muda.” Ucap Abdullah yang semakin marah.