Pada suatu malam. Tepat tujuh hari setelah Amrullah divonis bersalah oleh hakim pengadilan Negeri Surabaya. Tiba-tiba Abdullah datang ke rumah Abidah. Ia datang sendirian tanpa ajudan. Ia menghadap dengan ekpresi kesal karena berbagai masalah yang datang kepadanya yang semakin hari semakin rumit. Amrullah, seorang anak yang paling ia banggakan harus mendekam di penjara karena terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual kepada beberapa santrinya. Kasusnya ramai di berbagai media dan banyak menyangkutpautkan dengan pribadi Abdullah dan berbagai ajaran pesantren Cahaya Kebenaran . Abdullah pun duduk di kursi menghadap Abidah dan Habibatullah.
“Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, semua masalah yang terjadi menjadi begitu rumit dan susah untuk dipecahkan. Aku telah memutuskan dengan sungguh-sungguh dan dengan berbagai pertimbangan bahwa kalian berdua harus keluar dari rumah ini, ini yang ku lakukan semua demi kebaikan kalian, agar para jamaah tidak marah membabi buta kepada kalian berdua. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian tetap di sini. Rumah ini akan digusur besok pagi. Semua alat berat sudah bersiap menghancurkan rumah ini. Para jamaah pesantren marah dengan kelakuan kalian.” Ucap Abdullah bernada pelan.
Abidah terkejut mendengar kata-kata itu. Matanya langsung tajam menatap Abdullah dan kemarahan tak tertahankan terlihatr dari raut wajahnya. Sedangkan Habibatulah menatap tajam Abdullah, tangannya memegang erat baju ibunya, hatinya dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran yang tidak bisa dia gambarkan. Habibatullah tidak menyangka bahwa abahnya akan bersikap sejahat ini kepada dia dan ibunya. Habibatullah dan ibunya merasa tidak telibat sama sekali dengan berbagai pelaporan soal Amrullah di kepolisian harus diusir dari rumah.
Dengan sangat emosi Abidah pun berkata dan mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajah Abdullah “Jamaah pesantren marah kepada kami berdua karena memang kamu yang memprovokasi mereka untuk membenci kami. Kamu adalah dalang dari semua masalah ini. Kamu tahu semua apa yang terjadi tapi kamu justru menutupi semuanya. Kemudian kamu jadikan kami sebagai kambing hitam dari semua masalah ini. Biadab. Kamu memang tidak punya rasa kemanusiaan kepada kami. Jika kamu berlaku adil sejak awal tentu masalah tidak akan menjadi sebesar ini. Dan kamu tidak akan menyakiti kami seperti ini.”
“Kamu adalah manusia paling jahat yang pernah ku temui di dunia ini. Aku seorang anak dari keluarga miskin, kau datangi dan kamu minta diriku untuk dijadikan sebagai istri muda yang kamu sayangi. Aku kau puja-puja bak seorang perempuan yang paling istimewa di dunia. Kau janjikan aku surga dan harta berlimpa. Aku yang sama sekali tak jatuh cinta kepadamu, terpaksa harus menikah denganmu, karena kamu dianggap oleh orang tua ku sebagai orang berpangkat dan bermartabat. Di dalam pernikahan, aku tahu berbagai kelakuan burukmu pun banyak diam, dan disaat seperti ini justru kamu mengusirku dan Habibatullah, anakmu. Sekarang aku baru sadar bahwa kata cinta yang kamu ucapkan hanyalah bualan, rindu hanya omong kosong, kamu banyak bicara soal kebenaran dengan kata-kata bohong.” Abidah menambahkan ucapannya dengan nada yang semakin tinggi.
“Aku tidak mau tahu. Pokoknya kalian berdua harus keluar dari rumah ini. Rumah ini akan digusur besok. Kalian harus pergi sekarang atau besok sebelum matahari terbit. Aku memberikan uang ini untuk kalian sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada kalian berdua.” Abdullah pun langsung pergi meninggalkan Abidah dan anaknya.
“Dasar laki-laki biadab. Kamu memang hanya mementingkan dirimu sendiri. Kamu tidak bisa mengerti bagaimana perasaan kami.” Jawab Abidah sambil teriak. Sementara Abdullah pergi dan tak lagi peduli dengan apa yang disampaikan oleh Abidah.
Habibatullah pun menangis sambil memeluk erat ibunya yang sedang marah, karena merasa menjadi korban atas berbagai keadilan yang dialaminya. Dan kemudian Habibatullah pun berkata “Aku tidak pernah menyangka abah bakal sekejam ini sama kita”
“Hati laki-laki memang bisa sangat kejam terhadap perempuan, Habibatullah. Ia lupa bahwa selam ini lahir dari seorang perempuan. Sekarang, hanya akulah yang kamu miliki di dunia ini. Tak ada yang bisa kau harapkan lagi dari abahmu. Dia sudah tidak peduli denganmu. Sebagai anak perempuan engkau tidak ada untung baginya. Sejak dulu kamu tidak pernah dianggap istimewa seperti anak-anaknya yang laki-laki.” Jelas Abidah dengan sorotan mata yang tajam kepada Habibatullah, yang berharap anak perempuannya bisa menerima kenyataan hidup yang pahit.
Habibatullah pun memeluk ibunya dan ia benar-benar tidak menyangka jika abahnya bakal menjadi sangat kejam kepada dia dan ibunya. Ia memang merasa bahwa sejak dulu abahnya memang tidak banyak mendengarkan apa yang ia inginkan, konon semua yang dilakukan abahnya adalah demi kebaikan Habibatullah. Sejak dulu ia merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, sering bersedih karena hal itu. Namun kesedihan itu lama-lama hilang dengan sendirinya karena selalu ia tepis dan ia bunuh berbagai perasaan yang menganggap abahnya jahat. Ia masih tidak bisa berfikir kenapa abahnya bisa sejahat itu terhadap dia dan ibunya. Habibatullah pun berjanji, ia akan bersama dengan ibunya sampai kapan pun. Sebagai seorang anak ia merasa sedih tidak dianggap dan diusir oleh abah kandungnya. Ia pun takut jika ia akan kehilangan ibunya, satu-satunya orang yang dicintainya dan selalu ada untuknya. Dia merasa tidak ada lagi yang ia miliki di dunia ini. Abidah pun mencoba menguatkan anaknya “Nak, kita harus kuat ya. Apapun yang terjadi kita harus berani menghadapi semua ini dan menerima apapun resikonya. Semua apa yang kita lakukan ini tidak ada yang salah. Hanya saja abahmu yang memang kurang ajar dan tak tahu diri. Ibu akan selalu bersama dengan Habibatullah sampai kapanpun.” Abidah pun memeluk erat dan mencium kening anaknya yang sedang menangis. Dan Abidah berkata lagi pada anaknya sambil mengangkat jari telunjuknya menunjuk ke langit kemudian ke bumi “Allah tidak tidur, nak. Segala hal yang dilakukan abahmu semuanya Tuhan tahu. Abahmu akan mendapatkan balasan yang setimpal suatu hari nanti.” Habibatullah tak berkata apa-apa, ia hanya mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh ibunya, meskipun ia kurang mengerti.
Setelah kedatangan Abdullah malam itu, kesedihan dan kemarahan bercampur jadi satu dalam perasaan Abidah dan Habibatullah. Mereka berdua tidak bisa tidur memikirkan bagaimana nasibnya besok pagi. Mereka merasa tempat yang mereka sebut "rumah" selama bertahun-tahun, besok pagi sudah tidak bisa disebut sebagai tempat untuk berlindung lagi. Tak hanya kehilangan rumah, berbagai suka duka dan segala kenangannya pun akan hilang. Rumah itu akan hancur bersama dengan keluarganya yang hancur. Abdullah sebagai seorang abah dan seorang suami berubah menjadi sosok yang sangat jahat, melebihi yang pernah mereka kenal sebelumnya. Ia telah dikuasai oleh amarah yang tak terkendali. Abdullah membuat keputusan-keputusan yang tragis dan sangat egois. Dia dengan dingin mengusir Abidah dan Habibatullah dari rumah mereka yang ada di kompleks pesantren. Dia memaksa mereka untuk segera pergi tanpa ampun. Rumah yang mereka tinggali selama bertahun-tahun, tempat di mana Abidah dan Habibatullah dulu merasakan kedamaian dan cinta, kini harus segera ditinggalkan dengan hati yang penuh ketidakpastian.
Abdullah yang menjadi seorang mursyid memimpin sebuah aksi penghancuran rumah Abidah, dengan dalih atas nama baiknya dan nama baik pesantren. Dia mengajak para jamaah pesantren untuk menghancurkan rumah yang ditinggali Abidah dan Habibatullah, karena Abidah dan Habibatullah dijadikan kambing hitam atas berbagai tindakan yang menurutnya tidak bisa dimaafkan. Mereka berdua dinarasikan sebagai orang yang mencemarkan nama baik pesantren. Para jamaah hadir mengunakan berbagai alat berat yang datang dengan semangat yang penuh amarah dan terlihat mengerikan.
Pada pagi hari. Rumah yang ditempati oleh Abidah dan Habibatullah pun dikepung ribuan jamaah. Mereka berdiri, sambil berteriak dan mengumpat satu sama lain
“Perempuan biadab”