Perempuan Perempuan Pesantren

Tsamrotul Ayu Masruroh
Chapter #21

Pulang


Habibatullah bersiap untuk pergi ke pesantren menemui abahnya, ia menyiapkan beberapa barang yang akan ia bawah. Ia berpamitan kepada dokter Rina dan mengucapkan terima kasih atas berbagai kebaikan yang sudah diberikan kepada Habibatullah. Jika Habibatullah diterima oleh abahnya maka ia tidak kembali, jika ia tidak diterima maka ia akan kembali ke rumah dokter Rina lagi. Apapun yang terjadi ia akan menghubungi dokter Rina secepatnya. Dokter Rina pun sebenarnya merasa tidak tega melihat Habibatullah akan menemui abahnya, ia takut Habibatullah mati dibunuh abahnya. Namun ia tidak bisa mencegah kemauan Habibatullah karena biar sejahat apapun Abdullah tetap menjadi orang tua kandung Habibatullah.

Habibatullah pun sudah siap dengan berbagai hal buruk yang akan terjadi  dan sudah yakin dengan apa yang akan ia jalani. Segala ketakutan ditepis oleh Habibatullah, ia yakin kembali ke pesantren adalah pilihan yang terbaik bagi dirinya. Jika ia memang harus mati di tangan abahnya, ia yakin Allah akan menilai Habibatullah sebagai orang mati dalam keadaan berjuang. Jika ia bisa hidup bersama dengan Abdullah, brarti ia masih punya kesempatan untuk hidup bersama keluarganya. Habibatullah mengucapkan “Bismillahiraahmanirrahim” saat melangkahkan kaki pergi dari Rumah dokter Rina yang ada di Jakarta. Di sepanjang jalan Habibatullah melihat berbagai pemandangan dan mengingat berbagai kenangan waktu ia masih bersama ibunya di pesantren. Ia sangat senang sekali bisa dilahirkan dan hidup bersama ibunya, sosok perempuan yang luar biasa, yang bisa membuat Habibatullah kuat melanjutkan hidupnya meskipun hanya seorang diri dan harus diterpa banyak masalah.

Sampai di pesantren  ia merasa banyak bangunan yang sudah berubah, rumah yang ia tempati dulu kini menjadi sebuah masjid besar dan sangat indah. Ia pun kaget dan tidak menyangka rumahnya setelah dihancurkan berubah menjadi sebuah bangunan baru. Ia merasa tidak ada kekesalan sama sekali mengingat rumahnya yang hancur, sebab rumahnya kini menjadi tempat orang beribadah bersujud kepada Allah. Ia merasa jika ibunya tahu, Ibunya mungkin juga ketawa jika tahu rumah yang ditangisinya dulu kini menjadi masjid besar seperti bangunan masjid timur tengah, relief yang indah dengan dominan warna biru muda. Tak hanya itu, taman dan halaman depan rumah induk tempat abahnya istirahat pun halaman depannya berubah, rumahnya yang dulu terbuka, kini berpagar besi hitam setinggi orang dewasa. Habibatullah tidak tahu kenapa rumahnya di design seperti itu. Rumahnya terlihat seperti rumah yang tidak boleh dimasuki orang.

Habibatullah yang berada di pesantren pun langsung datang mencari Abdullah. Ia mengatakan kepada salah satu ajudannya bahwa ia adalah anak dari Abdullah. Ia ingin menemui Abdullah karena ada sesuatu yang penting dan harus ia sampaikan secara langsung dan tidak bisa diwakilkan oleh siapapun. Mengetahui hal tersebut para penjaga mulai curiga dengan kedatangan Habibatullah, karena Habibatullah dianggap musuh pesantren oleh Abdullah. Habibatullah mengetahui kecurigaan itu, namun ia masih tetap kekeh untuk bisa bertemu dengan abahnya.

“Tolong sampaikan kepada abah saya, saya ingin bertemu dengan abah saya, tidak ada orang lain yang saya miliki di dunia ini selain abah. Saya tahu saya sebelumnya dianggap sebagai musuh pesantren. Tapi tolong saya ingin bertemu abah sebentar saja” ucap Habibatullah.

Para penjaga itu pun melaporkan berbagai hal yang disampaikan Habibatullah kepada para ajudan untuk selanjutnya disampaikan kepada Abdullah. Para penjaga mencoba jaga jarak dengan Habibatullah, karena ia takut salah dalam mengambil langkah karena berhadapan dengan perempuan seperti Habibatullah. Yang ada dalam pemikiran para penjaga Habibatullah adalah seorang perempuan yang pintar, licik sekaligus berbahaya.

Habibatullah tidak akan pergi dari pesantren sebelum ia menemui Abdullah. Apa yang disampaikan Habibatullah disampaikan para penjaga kepada ajudan yang kemudian disampaikan kepada Abdullah secara langsung, namun Abdullah tidak mau menemui sampai beberapa hari. Habibatullah pun menunggu siang malam berganti sampai beberapa hari, ia bertemankan dingin udara malam dan panas udara siang di posko pintu masuk halaman rumah Abdullah. Ia yang juga merasa lapar pun mencoba makan roti-roti yang ia beli waktu di perjalanan dan meminum air dalam kemasan plastik yang diberikan oleh penjaga. Ia mondar-mandir duduk dan berdriri menunggu abahnya keluar, jika ia lelah ia tidur dengan duduk bersandar disamping tas ranselnya. Ketika berada di pesantren, Habibatullah sengaja tidak banyak bicara karena ia takut ia tidak diterima oleh abahnya di pesantren, ia takut segala apa yang ia katakana dilaporkan oleh ajudan kepada Abdullah. Mengetahui informasi dari ajudannya, bahwa Habibatullah tertidur pulas di samping ransel selama beberapa hari. Abdullah pun tak tega, ia meminta ajudannya untuk mengajak masuk Habibatullah.

“Assalamualaikum abah” ucap Habibatullah sambil menunduk.

“Waalaikumsalam” jawab Abdullah

“Terima kasih sudah mengizinkan saya masuk dan bertemu abah. Saya hendak minta maaf kalau selama ini saya telah membuat abah marah. Saya tidak tahu lagi harus tinggal di mana sekarang, saya tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.” Habibatullah.

Abdullah hanya diam. Ia bingung apakah ia harus mengizinkan Habibatullah kembali ke rumahnya.

“Kamu boleh tinggal di sini, tapi kamu jangan lagi ungkap apapun kasus yang pernah terjadi, Kamu harus mengakhiri semua pergerakan dulu yang sudah kamu lakukan jika memang kamu mau tinggal lagi di sini.” Ucap Abdullah.

“Siap abah. Saya minta maaf jika apa yang saya lakukan membuat abah marah.” Ucap Habibatullah yang menahan emosinya. Dengan besar hati, Habiabatullah mau meminta maaf, meskipun dalam hatinya ia tidak pernah merasa bersalah sama sekali, ia justru yang selama ini menjadi korban. Demi bisa berkomunikasi yang baik dengan abahnya, ia pun berusaha menepis segala emosinya.

Lihat selengkapnya