Apa yang akan kau lakukan bila suatu hari ada seorang perempuan yang datang padamu dan mengatakan bahwa dia adalah istri suamimu? Kau akan menutup pintu rumah tanpa memberi kesempatan padanya untuk bicara? Kau akan memaki perempuan itu? Menangis meraung-raung karena marah dan kecewa? Semua sah kau lakukan. Itu reaksi yang wajar dari seorang perempuan yang mengetahui pengkhianatan suaminya.
Lakukanlah sesukamu. Bahkan jika semua ‘reaksi sah’ tadi harus kau lakukan secara bersamaan. Itu tidak aneh. Bukan janggal. Masuk akal. Siapapun bisa menerimanya. Memakluminya. Tetapi, jadi aneh kalau reaksimu justru biasa-biasa saja. Tenang. Jadi terlihat janggal dan tidak masuk akal.
Seperti yang dilakukan perempuan ini.
Ratna tengah memeriksa tanaman anggrek ketika Andrea, putri bungsunya yang berusia enam tahun berlari memanggil.
“Ma, ada tamu. Tante Widya!”
Ratna mengerutkan kening. Widya? Nama yang asing dalam ingatannya. Tapi Andrea menyebut nama itu sangat akrab. Siapa dia? Penasaran Ratna menyeret langkah menuju halaman depan. Di teras dia melihat seorang perempuan berusia pertengahan dua puluh tengah duduk. Wajah yang cantik dan memesona sangat kontras dengan reaksi gelisah yang ditunjukkannya. Bahkan saat tangan Ratna menjulur padanya.
“Saya Ratna. Maaf…Anda siapa?”
Wajah perempuan itu –ketika Ratna sudah berhadapan dengannya – sangat jelas kini. Sangat menarik. Kulit putih mulus. Hidung tinggi, bangir. Wajahnya oval menarik. Rambut hitam, lurus tergerai sebahu. Sangat istimewa. Ratna tiba-tiba merasa bagai anak laki-laki yang tengah mengagumi kawan perempuannya.
“Saya Widya,” perempuan itu menyambutkan uluran tangan Ratna. “Kita belum pernah jumpa memang,” dia membasahi bibirnya. “Saya…” ia gugup. Ia melirik Andrea yang berdiri di sisi Ratna.
Seperti menangkap sesuatu, Ratna menepuk lembut tangan anaknya. “Minta Mbok Tina membawa minum untuk Tante Widya, Rea. Ehm…Anda mau minum apa?’ Ratna tersenyum pada Widya.
“Saya….kalau bisa…air putih saja. Yang dingin.”
“Air putih yang dingin,” Ratna mengulang kalimat itu untuk Andrea. “Setelah itu…Rea boleh bermain di halaman samping. Jangan ganggu Kak Ose belajar ya?”
“Ya, Ma,” bocah enam tahun itu mengangguk cepat. “Air putih dingin. Mama mau juga’kan?” ia membalikkan badan, lalu tersenyum ketika melihat anggukkan Ratna. “Air putih dingin, dua!” Andrea meluncur ke dapur dengan gesit, bak pelayan restoran.
“Nah…ceritakan apa yang ingin Anda sampaikan.”
“Panggil saya Widya….kalau Mbak tidak keberatan.”
“Sama sekali tidak,” Ratna tersenyum. “Baiklah, Widya, apa yang bisa saya bantu?”
“Tidak ada,” Widya menggeleng tegas. “Saya tidak mengharapkan bantuan Mbak. Saya juga tidak ingin negosiasi atau kompromi apa juga.”
“Oya?” Ratna tersenyum. Sangat menarik. “Kompromi dalam hal apa ya?” tanyanya. Masih tersenyum. Masih tertarik.
“Soal hak hidup. Soal status.”
“Ehm…” Ratna mengangguk. “Nama saya Ratna Pratiwi, guru SMU sebuah sekolah swasta. Saya seorang istri , ibu dari tiga orang anak. Ayah saya Amrullah sudah meninggal tiga tahun yang lalu, ibu saya Hariani, suami saya Samsuddin Amzah, anak saya yang paling besar Soni, yang nomor dua Rose, yang paling kecil,yang tadi saya minta menyampaikan pesanan minuman, Andrea . Anda yakin memang saya yang Anda tuju, Widya?”
“Ya,” Widya mengangguk.
“Lalu hak hidup apa yang kamu maksud dan status apa yang Anda inginkan?”
“Saya akan mengatakannya jika Mbak berjanji tidak akan terkejut mendengarnya.”
“Kedatanganmu saja sudah membuatku terkejut,” Ratna tersenyum. “Jujur saja, Widya, aku tidak mengerti. Tapi baiklah,” Ratna mengangguk. “Katakan saja. Kita lihat nanti apa aku terkejut atau mati.”
“Aku tidak ingin mengatakannya!” Widya menjilat bibir. Bibirnya kering.
Ratna segera bangkit. Mungkin pesananya terlalu lama datang. Bukan restoran memang. Tidak ada pelayan di rumah ini. Cuma ada Mbok Tina yang sedang sibuk menyiapkan segala sesuatunya di Minggu sore ini. Atau dia sedang mandi? Makanya , jangan bertamu di hari Minggu!
Saat Ratna baru melangkah lima langkah, Mbok Tina sudah keluar dengan dua gelas air putih dan sebotol air sejenis. Untuk tambahan. Mungkin Widya membutuhkannya nanti. Bukan hanya segelas, tapi sebotol.
“Maaf, Bu, kelamaan menunggu,” Mbok Tina tersenyum sungkan.
“Tidak apa,” Ratna mengangguk. “Minumlah,” disorongkannya gelas pada Widya.
Widya meneguk air. Setengah gelas. Lalu ia menarik napas. Terapi air putih. Jika kau gugup, jika kau ingin mengumpulkan kekuatan baru, minumlah air putih. Kau akan lebih tenang. Kalimat itu pernah ditulis di sebuah majalah. Entahlah.
“Nah, katakanlah semuanya. Aku berusaha tetap tenang.”
“Terima kasih,” Widya mengangguk. “Mengenai susunan keluarga Mbak tadi. Itu yang ingin kusampaikan.”
“Oya? Ada yang tertinggal?” tanya Ratna , makin heran.
“Pekerjaan orang tua Mbak ?”
“Pensiunan pegawai negeri. Sama seperti aku, kedua orang tuaku adalah guru.”
“Kakak dan adik-adik Mbak Ratna?”
“Oya, kami lima bersaudara. Aku nomor dua. Semua sudah menikah. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Apakah salah satu dari mereka terlibat masalah denganmu?”
Widya menggeleng. Kini lengkap sudah ia mengetahui susunan keluarga ini. “Suami Mbak Ratna?”
“Ia seorang insinyur. Bekerja di sebuah perusahaan milik asing sebagai manajer produksi.”
“Saya tahu.”
“Oya?”
“Saya istrinya.”
“Ap-pa?”
Mulut Ratna terbuka. Sedang Widya menarik napas dengan lega. Betapa susahnya menyampaikan dua kata itu.
“Ya,” Widya mengangguk. “Saya istri Bang Sam.”
“Oya?” Ratna mengangguk. Benar-benar terkejut. Tapi ia tidak mati.
“Kami menikah empat tahun yang lalu. Saat itu Bang Sam sedang mengikuti pelatihan di kota saya. Katanya untuk promosi jabatan. Lalu kami bertemu. Saya tahu ia sudah menikah, ia juga tidak menutupinya. Saya pindah ke kota ini. Kami menikah.”
Ratna memegang kepalanya. Dia dapat merasakan dunia berputar. Terlalu keras, sehingga ia nyaris tersungkur. Tidak kuat.
Ratna menarik gelas. Meneguk isinya. Habis. Lagi-lagi terapi air putih. Ia seperti mendapat kekuatan untuk tidak marah. Kekuatan untuk tidak marah? Bah, benarkah menahan diri dari rasa marah menunjukkan kalau kita kuat?
“Ya, lalu apa masalahnya?” Ratna bahkan terkejut mendengar suaranya sendiri. Apa masalahnya? Oho, ia baru bertemu siapa? Istri suaminya atau bidadari? Sepertinya dua-duanya. Perempuan ini memang istri suaminya dan wajahnya tidak jauh dari wajah bidadari.