Ratna mengempaskan tubuh ke ranjang. Empat tahun, bagaimana mungkin Sam bisa menyembunyikan semua ini darinya? Sam yang manis dan malu-malu. Sam yang tidak punya tampang jadi penipu.
“Kau percaya padanya?”
Delapan belas tahun yang lalu Meta, kakaknya mencibir ketika untuk yang pertama kali Sam diundang Ratna ke rumah mereka. Samsuddin Darmawan mahasiswa Teknik Mesin, sedang Ratna mahasiswa Fakultas Sastra Inggris.Dalam suatu acara peloncoan mereka bertemu.
Perkenalan yang singkat antara sesama mahasiswa baru, sesama korban mahasiswa senior telah melahirkan keakraban lain. Sam datang dari luar kota. Anak kos yang punya uang pas-pasan. Terkadang cukup untuk makan sebulan, terkadang harus puasa di tengah bulan. Maklum, wesel dari orang tuanya di kampung datang tak selalu tepat waktu. Maklum, arongtuanya juga harus banting tulang di sawah untuk mendapatkan sedikit uang bagi keperluan sekolah anaknya di kota.
Ratna ‘putra daerah’, tuan rumah yang juga punya uang jajan pas-pasan. Kadang ia merelakan sisa uang jajannya kepada Sam, kadang ia memilih untuk tidak makan di kantin kampus agar bisa meminjamkannya untuk makan siang Sam.
Ia anak seorang pegawai negeri. Ayahnya kepala sekolah sebuah SMP milik pemerintah, ibunya guru di sekolah yang sama. Orang tuanya tidak kaya, biasa-biasa saja. Tapi ia selalu mau mengulurkan tangannya pada teman-temannya yang membutuhkan bantuan. Bukan hanya pada Sam. Ia juga membantu teman-temannya yang lain. Ada Tiara, Neneng atau Tati.
Ia tidak mengharap balasan. Juga tidak berharap dipuji. Ia ikhlas melakukannya. Ia bahkan tidak punya maksud apa-apa. Ia bukan ingin menanam budi dan simpati pada Sam yang tampan. Ia memang jadi rebutan setiap gadis. Sam berbadan atletis. Sam bintang sepakbola di kampus. Sam sangat pintar dan simpatik. Tapi yang menarik perhatian Ratna justru orang lain. Yang ia harapkan jadi pacarnya justru Indra, teman Sam.
Indra yang tidak terlalu tampan, tapi juga simpatik. Amat pendiam, tapi selalu bisa menggetarkan hati Ratna tiap kali mata mereka bersirobok.
Saat Ratna mendengar bahwa Indra dan Dini –mahasiswi Kedokteran – pacaran, Ratna patah hati. Ia menutup diri, mengurangi bicara pada siapa saja. Orang mengira ia patah hati pada Sam, karena pada saat yang sama Sam resmi pacaran dengan Sandra, anak Sastra Inggris juga.
Lima bulan kemudian ketika Sam dan Sandra putus, Ratna tiba-tiba merasa dia jatuh cinta pada Sam. Itu kali pertama dia menyadari perasaannya pada Sam. Saat ia menghibur Sam karena patah hati, saat ia memompakan semangat hidup, justru ia menemukan semangatnya pada Sam.
Ia jatuh cinta, Ibu. Ia menyukai Sam, ayah.
“Aku tidak yakin ia laki-laki yang tepat,” Meta mencibirnya lagi.
Siapa yang tahu tentang hati? Siapa yang tahu tentang kata tepat? Cinta bukan rumus Matematika, cinta bukan kata-kata. Cinta itu aneh. Getarnya ada, terasa, teraba, tapi tak terkata. Ia mencintai Sam. Sam juga.
“Kau mestinya lebih mementingkan kuliahmu,” itu kata ibu. Ibu tidak melarang, ibu tidak juga jelas-jelas mendukung. Ibu seorang guru sejati. Tutwuri handayani. Kelak sikap ibulah yang mendorongnya untuk memilih karir sebagai seorang guru daripada sekretaris di perusahaan asing.
“Aku mencintainya, Bu,” Ratna tidak malu-malu mengakui perasaan hatinya pada sang ibu. “Apakah aku terlalu berlebihan?”
“Apa yang harus kukatakan padamu, Nak?” ibu tersenyum kecil.”Zamanmu dan zaman ibu sangat berbeda. Andai ibu pernah merasakan hal ini sebelumnya, tentu ibu tahu mengatakannya. Tapi ibu tidak pernah jatuh cinta pada seseorang. Ibu menikah dengan ayahmu karena dijodohkan orang tua kami masing-masing.”
“Ibu menyesal?” tanya Ratna hati-hati.
“Apa yang harus kusesali?” Ibu tertawa. “Kalau kau bekerja, kalau kau berusaha, kau akan melihat hasilnya. Saat kau telah melihat hasil dari perjuanganmu, pekerjaanmu, kau akan lupa bahwa kau telah menempuh jalan yang sangat panjang dan penuh rintangan. Yang kau lihat adalah keberhasilan itu. Dan itu akan membuatmu menghargai perjuanganmu, bukan menyesalinya.”
“Maksud ibu?”
“Ratna, kau dan keempat saudaramu adalah hasil dari perjuanganku, Nak. Perjuangan kami, aku dan ayahmu. Ketika menyadari kalian ada di antara kami, kami jadi menghargai keberadaan kami. Aku jadi bersyukur bahwa aku menjadi bagian dari ayahmu, begitu juga sebaliknya.”
“Ibu tidak menyesalinya?”
“Menyesali kelahiran anak-anakku?” Ibu menggeleng. “Kalian anugerah terindah yang pernah kumiliki, Ratna.”
“Pernahkah ibu merasa takut kehilangan ayah?”
“Dari dulu aku takut kehilangan dia,” Ibu mengangguk. “Tahun pertama pernikahan kami, ketika ayahmu untuk pertama kali meninggalkan ibu untuk pergi penataran, aku takut sekali. Tapi ketakutanku itu lain. Aku sedang mengandung anak pertamaku, kakakmu , Meta. Aku takut kalau terjadi sesuatu pada ayahmu, siapa yang akan menanggung hidup dan anakku? Siapa yang akan menjadi ayah anakku.”
“Setelah itu?”
“Kini ketakutanku jadi lain. Aku tidak bisa menerangkannya padamu. Bila ayahmu tidak di sisiku, bila ayahmu keluar kota aku takut kalau-kalau dia sakit dan tidak ada yang mengurusnya. Aku merasa hatiku kosong bila lama tidak bertemu dengannya.”
“Itulah cinta, Bu.” Ratna tersenyum. “Seperti perasaanku pada Sam.”