~Yarista~
Hong Kong, Februari, 2019.
Dinginnya suhu di bulan Februari sungguh menusuk tulang. Aku membiarkan lantai anyep itu menyelimuti tubuhku yang hanya beralaskan sajadah. Malam itu, aku memilih tidur di lantai ketimbang harus naik ke ranjang tingkat yang biasa kutiduri. Pikiranku yang kacau makin memperparah rasa malasku untuk naik ke sana. Jikalau tak mengingat jarak, ingin rasanya aku berlari pulang. Memeluk ibuku yang katanya mendadak dibawa ke rumah sakit malam itu.
“Cuma 11°C, tapi kenapa aku bisa semenggigil ini,” kataku lirih saat membuka MyObservatory di ponsel.
Sembari menggigil dan tangan gemetaran aku menaruh ponselku kembali. Meski sudah bekerja di Hong Kong kurang lebih selama 1 tahun, nyatanya aku masih belum terbiasa dengan musim dingin di sini. Memakai jaket berlapis-lapis pun masih dirasa kurang hangat. Akan tetapi, di tengah gigiku yang saling menggertak, aku terus merapalkan doa, “Ya Allah, tolong selamatkan ibuku.”
Akhirnya aku pun dikalahkan oleh rasa kantuk yang tak tertahankan. Tak ingat kapan terakhir aku masih sadar untuk terus memantau WhatsApp agar tahu keadaan Ibu. Namun, masih kuingat dengan jelas, dalam tidurku, aku merasakan sentuhan dingin mengusap lembut kepalaku. Dingin, tetapi terasa begitu sejuk.
Hingga akhirnya aku terbangun karena ponselku yang terus bergetar. Setengah rasa kantukku belum terbayarkan, tetapi aku seperti dipaksa untuk menerima panggilan itu. Aku menjawabnya di sela-sela mulutku yang terbuka lebar.
“Mbah Ni, wes gak enek, Mbak,” katanya dari balik telepon. Mbah Ni sudah tidak ada, Mbak.
Aku tidak mampu mencerna kabar itu. Rasa kantukku sekejap sirna berganti duka. Kudengar angin di luar berembus membawa rintihan lalu. Malam yang dingin nan gelap, kudekap diri sendiri dalam napas pengap. Namun, entah mengapa aku cuma ngebatin, yo wes. Ya sudah.
Aku menyenderkan punggungku ke tembok. Tatapanku menjadi kosong. Hening, keadaan malam itu dan juga hatiku semuanya mendadak sunyi. Toh, mau bagaimana lagi? Ibu sudah sakit-sakitan sejak aku duduk di bangku SMP. Ibu sudah menderita berpuluh-puluh tahun. Kini, Ibu tak perlu lagi merasakan lelahnya menjadi ibu tunggal untuk ke-4 anaknya. Bapak masih ada, tetapi kami tak pernah merasakan perannya. Aku harus ikhlas. Namun, apakah aku bisa?
Hanya sepersekian menit aku merenung, tangisku pecah. Entah berapa lama aku tadi tertidur. Aku melirik jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku menatap nanar tumpukan notifikasi chat yang mengabarkan kalau Ibu mendadak kritis. Aku menyesal kenapa aku tidur. Kenapa rasa kantuk ini melewatkan kesempatanku untuk menemaninya di saat-saat terakhir. Akan tetapi, apakah itu berarti? Hanya lewat telepon, aku tidak bisa menguatkannya secara langsung. Aku tidak berguna.
Yang kupikirkan saat itu hanyalah, “Aku harus pulang. Bagaimana caranya aku bisa pulang?”
***
Keesokan harinya, mataku sembab. Hampir-hampir tak mampu terbuka dengan sempurna. Pagi itu, nenek yang kujaga mendatangiku ke dapur untuk meminta jatah sarapan. Namun, dia pun terlonjak kaget ketika melihatku dengan wajah yang murung padam.
“Kamu kenapa?” tanyanya dengan bahasa kantonis.
Ditanya demikian aku malah menangis. Sampai nenekku kembali bertanya lagi. “Ada masalah apa di rumah?” dia mengusap pundakku, tetapi aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata yang sudah kusiapkan semalam mendadak tak ingin keluar.
Tiba-tiba nenek memelukku. Aku semakin tercekat. “Ayo, cerita,” desaknya lagi.
“Ibuku … meninggal.”
Nenek menatapku sepersekian detik. Kulihat matanya yang merah sehabis bangun tidur itu mendadak berkaca-kaca. “Pantas saja aku melihat lampu kamarmu menyala sepanjang malam. Kamu mau pulang?” aku hanya bisa mengangguk lemah.
Belum selesai nenek berunding dengan putrinya membahas kepulanganku, aku berlari ke kamar saat mendengar bunyi telepon. “Halo, Mas?” sapaku dengan suara serak.
“Ndak usah pulang, Rista. Ibuk akan dimakamkan pagi ini. Percuma kamu balik, toh wes gak iso ketemu Ibuk,” lapor kakakku yang pertama.
Ya Allah, seketika aku terduduk di kursi tanpa daya. Jahatnya kakakku. “Tapi, aku pengin pulang, Mas.”
“Mesakne Ibuk. Wes kamu ndak usah balik. Fokus kerja wae. Doakan Ibuk terus.” Kasihan Ibu. Sudah kamu tidak usah pulang. Fokus kerja saja. Doakan Ibu selalu.
Aku makin melemah. Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain ingin pulang dan melihat ibuku untuk yang terakhir kali. Lagi-lagi air mataku kembali mengalir. Kumatikan telepon tanpa salam. Aku benar-benar kesal. Saat itu, aku berpikir semua orang jahat, termasuk ibuku.
Di sela-sela tangisku, nenek mendatangiku lagi. “Maaf ya, Lista. Kamu tidak bisa pulang mendadak. Tiketnya mahal sekali.” Orang Hong Kong tidak bisa mengucap huruf r, maka dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Lista’.