Makau, Oktober 2018.
Aku yang masih muda serta terbilang baru, benar-benar sangat berani mengambil keputusan. Aku nekat memutuskan break contract di majikan pertama. Bukan hanya tak sanggup karena pekerjaannya, tetapi majikanku pun benar-benar biadab. Pernah sekali dia menamparku. Aku tak berani bilang ke siapa pun, bercerita kepada Ibu pun hanya sebatas keluhan yang tak akan bisa membuatku kembali ke rumah secepat itu.
“Jangan pulang dulu, Nduk. Kamu belum punya apa-apa,” kata Ibu.
Yang kupikirkan saat itu, lebih baik aku pulang tidak membawa apa-apa, daripada aku pulang tetapi sudah kehilangan orang yang paling aku cintai.
“Ndak usah mikirin Ibuk, Ibuk ndak apa-apa. Ibuk sehat. Tadi Ibuk habis pulang dari ngangon wedus.” Mengembala kambing.
Ibu berkata seolah semua akan baik-baik saja. Aku berpikir lagi. Secapek-capeknya aku bekerja di sini, Ibu tidak boleh tahu. Meski aku sering menangis sembari mandi, Ibu tidak boleh tahu. Yang boleh Ibu dan orang lain tahu hanyalah gajiku yang besar, dan aku pulang bisa membeli sawah serta rumah. Sebetapa lelahnya aku saat itu, aku masih punya Ibu. Aku sedih bisa telepon Ibu, aku lelah bisa telepon Ibu. Hanya mendengar suaranya saja, hatiku sejuk. Sungguh. Ibuku adalah duniaku. Dia penguatku, dan dialah pengarah jalanku ketika gelap melanda.
“Aku ndak pulang kok, Buk. Aku ke Makau saja buat nunggu visa,” laporku pada Ibu. Padahal, sebenarnya aku sangat-sangat ingin pulang. Entah mengapa, aku ingin melihat Ibu. Akan tetapi, mengingat nasihat Ibu yang pantang pulang sebelum membawa hasil, aku pun memutuskan pergi ke Makau.
Meski aku bisa pulang cuti untuk menunggu visa, tetapi rasanya aku ingin bersembunyi. Aku tidak ingin Ibu melihatku yang kini mendadak begitu kurus dengan wajahku yang terlihat kusam. Aku tidak cukup waktu untuk merawat diri, telepon Ibu pun selalu tengah malam. Untung Ibu selalu belum tidur, yang katanya memang menungguku seharian untuk meneleponnya.
Akhirnya, perjalananku ke Makau pun tiba. Malam itu, aku diantar oleh seseorang, yang kusebut saja tomboy, karena penampilannya benar-benar seperti seorang laki-laki. Dengan sedikit gugup aku mengikuti langkahnya menuju dermaga. Di tahun itu, jalan satu-satunya menuju Makau hanya menggunakan jalur laut. Dia memesankan tiket untukku, bahkan membelikanku minuman.
Aku terdiam memperhatikannya. Pikiranku melanglang antah berantah. Siapa perempuan berpenampilan laki-laki ini? Dia belum memperkenalkan dirinya sejak ditugaskan oleh pemilik agency-ku untuk mengantarkanku ke Makau.
“Diminum, Dek.” Dia mengagetkanku yang saat itu baru selesai menelepon Ibu. “Takut aku racun, ya?” lanjutnya sembari meneguk air mineral kemasan. Dia tidak punya jakun, fiks dia perempuan.
Aku kelabakan mendengar pertanyaannya. Jelas-jelas aku melihatnya membeli air mineral itu di 7-Eleven. Bahkan, dia pun meminum minuman yang sama seperti yang dia berikan kepadaku. Waspada di tempat asing, bersama orang yang tidak dikenal itu perlu, ‘kan?
“Makasih, ya, Kak.” Kutundukkan kepalaku di depannya.
“Iya sama-sama.” Setelah mendengar jawabannya aku tak memperhatikannya lagi. Aku pun memutar penutup botol yang masih bersegel, lalu ikut meneguknya.
Aku hampir tersedak saat tiba-tiba dia meraba pahaku. “Kenapa, Kak?” tanyaku setengah melotot.
“Punya powerbank nggak? Boleh pinjam dulu? Nanti aku balikin pas udah sampai di Makau.”
Aku pun langsung merogoh tasku, lalu memberikan benda pengisi daya berwarna ungu itu kepadanya. Boleh pinjam, tetapi kenapa harus menyentuhku!
“Pakek aja, Kak!” nada suaraku terdengar sedikit ketus.
“Emangnya kamu nggak butuh?”
“Butuh, sih. Tapi ndak apa-apa pakek aja, Kak. Nanti kalo aku butuh aku bisa minta ke Kakak.”
“Gimana cara mintanya?” aku tak tahu apa maksud pertanyaannya.
“Ya tinggal minta tah,” jawabku sedikit malas.