Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #3

Chapter #3 Building Terkutuk

Benar saja, begitu aku masuk ke building, pemandangannya sungguh menyesakkan mata. Kasur dijejer menenuhi seisi ruangan. Entah mana dapur entah mana ruang tamu, semua berisi kasur. Aku sampai harus berjingkat untuk masuk, melewati orang-orang yang goleran sambil memainkan ponsel masing-masing tanpa terganggu akan kedatanganku. Mereka terlihat seperti ikan asin yang dijemur di pinggir pantai.

“Tadi diantar siapa?” tanya seorang perempuan. Aku tidak bisa menebak dia itu siapa. Mungkinkah pemilik building ini atau mungkin ketua RT di sini. Saking banyaknya manusia yang umpel-umpelan, aku mengatakan ini sepeti warga sekampung. Bisa bayangkan ‘kan betapa penuh sesaknya tempat ini?

“Kak Tony,” jawabku singkat.

“Oh, Niken.” Perempuan itu manggut-manggut. Aku asumsikan bahwa ‘Niken’ adalah nama asli Kak Tony. Nama sebagus itu malah diganti dengan nama lelaki jadi-jadian.

Perempuan itu lanjut menulis sesuatu di buku panjang yang mirip buku presensi. “Namaku Sasa, aku ketua di sini, tugasku untuk presensi, dan segala keperluan lainnya harus meminta persetujuanku saat Kak Niko nggak ada di sini.”

Siapa lagi Kak Niko? Entahlah, aku lelah dan hanya bisa manggut-manggut. Setelah kepergiannya, satu perempuan lagi mendekatiku. Dia membantuku mengangkat koper, kemudian disatukan dengan tumpukan tas dan koper lainnya. Entah berapa banyaknya koper di dalam satu ruangan kecil yang kuperkirakan berukuran 1x2 meter itu. Aku hanya bisa melongo tanpa bisa berkomentar. Dia memerkenalkan dirinya dengan nama Dwi.

Kuberanikan diri untuk memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’, karena penampilannya mencerminkan bahwa dia memanglah perempuan tulen. Dia pun tak keberatan. Selanjutnya, Mbak Dwi memintaku mengeluarkan sabun, sikat gigi, handuk, dan peralatan mandi lainnya. Mereka menempeli benda-benda itu dengan tulisan kertas yang terukir namaku, mungkin takut tertukar. Tak hanya itu, cas-casan ponselku pun juga mereka minta. Katanya setiap pagi adalah jadwalnya untuk mengisi daya ponsel.

“Peraturan di sini cuma boleh satu kali mengisi ulang daya ponsel. Lebih dari itu harus bayar.” Mendengar penjelasan Mbak Dwi kepalaku semakin pening.

Selain itu, jikalau mau koneksi internet, aku harus membayar lagi untuk membayar WiFi. Ya Allah, ini lebih mengenaskan dari nasibku saat aku masih di PT dulu. Mimpi apa aku ini, kenapa aku memilih pergi ke sini? Yang jelas-jelas aku bisa cuti pulang ke Indonesia.

Namun, setidaknya aku merasa lega. Aku bisa keluar dari bos lama yang membuatku menjadi sekurus ini. Juga, aku harus mengikhlaskan powerbank-ku dibawa oleh Kak Tony. Tak mengapa, yang penting aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Itulah doa terakhirku di malam itu, sebelum akhirnya bisa terlelap di antara suara napas orang-orang yang sudah bermimpi lebih dulu.

Satu minggu kulalui di tempat itu dengan perasaan risih. Namun, aku harus mulai berbaur dengan mereka. Ada yang welcome, ada juga yang tidak. Itu sudah biasa. Akan tetapi, aku lebih sering menghabiskan waktuku di pojokan. Tempat itu menjadi favorite-ku semenjak aku di sini. Sembari menunggu makan siang disajikan, tidak ada yang bisa kulakukan selain melamun. Ponselku lama terisi daya, maklum ponsel kentang. Aku pun tidak bisa setiap hari menelepon Ibu, apa-apa harus bayar. Sementara aku harus irit. Tak mengapa, karena Ibu bisa mengerti saat kujelaskan di telepon kemarin lusa.

“Kak Niko datang!” teriakan itu membuat orang-orang yang tadinya duduk melingkar sembari bergosip, sontak menghadapkan duduknya ke arah pintu. Aku hanya memandangi mereka yang mendadak anteng dari singgah sanaku.

Kulihat seseorang berpenampilan laki-laki masuk ke dalam building. Dia berjalan sambil menggandeng seorang perempuan berambut pirang. Laki-laki itu berjalan dengan rahang yang terus terangkat, sedangkan sang perempuan tak berani memperlihatkan wajahnya. Kami semua pun hanya bisa menunduk, tak sedikit juga yang mendongak untuk melihat perawakan laki-laki pendek gendut yang terlihat angkuh itu.

“Jangan ramai,” tegurnya. Aku kembali melotot. Meski terdengar sedikit berat, tetapi tidak bisa bohong bahwa itu adalah suara perempuan. Kalau tidak bersuara, aku pun tidak akan tahu. Mereka berdua memasuki kamar yang sejak aku datang jarang dibuka. Namun, yang lebih mengejutkanku lagi, ada seseorang yang juga berpenampilan laki-laki ikut mengekor di belakang mereka. Aku mengenalinya. Astaga, itu Kak Tony!

Dia tersenyum ke arahku. Namun, aku yang masih syok hanya bisa melongo. Lagi-lagi dia tertawa pelan. Entahlah, aku tidak tahu kenapa dia selalu begitu terhadapku. Sadar bahwa pakaianku di hari itu sangat pendek, celana di atas lutut dan jersey Arsenal yang ngepas di badan. Sontak aku menekuk lutut untuk menyembunyikan badanku yang terekspose di antara dua lengan yang kusilangkan.

Kak Tony tak bereaksi apa-apa lagi. Bersamaan dengan aku yang memalingkan wajahku dengan cepat, Kak Tony pun berlalu pergi. Mengikuti dua orang yang telah lebih dulu masuk ke dalam bilik kamar. Keadaan yang tadinya hening pun kembali terdengar suara saling berbisik.

“Kamu bocahnya Kak Tony?”

Pertanyaan itu sontak membuatku menoleh. Aku tidak sadar kalau ternyata ada yang memperhatikanku. “Siapa? Aku?” aku menunjuk diriku sendiri.

Perempuan itu memutar bola matanya, aku pun mengikuti arah tatapannya. Kenapa orang-orang mendadak memandangiku? Namun, justru aku malah memikirkan kenapa aku disebut dengan istilah bocah. Perempuan itu tak bertanya lagi, aku pun menyenderkan punggung ke tembok. Peduli amat dengan obrolan mereka. Namun, lirikanku tak sengaja bertemu dengan tatapan si perempuan yang bertanya padaku tadi.

“Memangnya kenapa, Mbak?” tanyaku penasaran. “Kenapa kalau aku bocah-nya Kak Tony?” kupikir mungkin yang dimaksud bocah adalah karena Kak Tony-lah yang membawaku kemari.

Perempuan itu terdiam memandangiku, sebelum akhirnya menggeleng ragu. Aku semakin gelisah, ditambah dengan kedatangan Kak Tony yang secara tiba-tiba, mematahkan asumsiku yang tak akan lagi bertemu dengannya.

Lihat selengkapnya