Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #4

Chapter #4 Malam yang Rusuh

Tiga minggu di sini, aku sudah mulai terbiasa dengan adegan tak sedap mata itu. Aku mulai acuh, meski sangat-sangat risih. Kak Niko juga sudah kembali ke Hong Kong bersama pacarnya. Sementara Kak Tony tetap di Makau, tetapi tidak tinggal di sini, dia datang sesekali di siang hari lalu pulang di malam hari. Beberapa kali dia mendatangiku yang duduk memeluk lutut di pojokan. Aku dibuatnya tak tenang. Katanya, powerbank-nya ketinggalan di apartemen tempat tinggalnya. Lalu, kenapa harus mengatakan itu sekarang? Datang saja padaku kalau memang dia benar-benar mau mengembalikan benda itu. Dia selalu ada cara untuk mengajakku bicara.

Pernah di suatu malam, building geger karena ada yang kesurupan. Yang pertama mengawali kejadian itu sebut saja Mbak Siti. Orangnya cantik, rambutnya lurus hampir sebokong. Matanya agak sipit dan memiliki kumis tipis. Tiba-tiba saja saat hampir tengah malam ketika setengah penghuni building itu sudah terlelap, aku termasuk yang masih terjaga untuk memberi kabar Mas Putra, mendadak saja Mbak Siti berteriak histeris. Awalnya aku masih asyik chattingan dengan Mas Putra, kupikir semacam labrak melabrak perihal lelaki jadi-jadian. Sebelum akhirnya aku disadarkan oleh Linda.

“Rista, bangun. Ada yang kesurupan!” ujarnya panik.

Aku yang tak kalah kaget langsung bangkit dari tempat tidurku. Keadaan sudah kacau. Kulihat mereka yang bisa membaca ayat kursi bersahut-sahutan membacakan doa. Satu, dua, tiga, mulai tumbang satu per satu. Aku tidak berani mendekati. Sebagian lainnya hanya menonton dengan takut, termasuk aku dan Linda, sebagian lainnya memegangi yang kesurupan sembari terus merapalkan doa. Bahkan, kudengar juga ada yang memanjatkan doa-doa rohani. Ah, aku yang mendengar keributan itu benar-benar bingung. Suaranya seperti berada di tengah konser yang ramai. Tempat yang biasanya terdengar tenang itu, mendadak seperti arus deras. Apakah tempat ini sudah dilaknat?

“Pikirannya jangan kosong!” seru Kak Sasa.

Spontan aku dan Linda saling bertukar pandang. Kami selalu terlihat paling pendiam di antara yang lain. Apalagi aku, tatapanku selalu terlihat kosong saking seringnya melamun di pojokan. Akan tetapi, justru yang kulihat sedang kesurupan adalah orang-orang yang terlihat aktif seolah tanpa beban. Contohnya si Nita. Kulihat dia dipegangi pacarnya, Arif, pacarnya itu juga terus merapalkan doa. Kulihat dari mulutnya yang komat-kamit itu membacakan surat-surat pendek. Apakah itu mempan?

Di pagi buta, Kak Tony datang ke building. Tatapannya terlihat tajam menusuk. Entah apa yang dia rundingkan dengan Kak Sasa dan orang-orang inti yang suka caper itu. Aku tak peduli. Aku sebal, sebab semalaman kami semua tidak ada yang tidur. Bukan hanya itu, biasanya di pagi hari sebelum mengumpulkan ponsel untuk dicas, aku masih sempat menelepon Ibu. Sekarang boro-boro bisa mengabari ibuku, kami semua hanya bisa terdiam lesu di atas kasur masing-masing. Benar-benar hening. Mbak Siti, Nita, dan dua orang lainnya yang semalam kesurupan, juga sudah tenang. Rambutnya nampak acak-acakan seperti rambut singa.

Hari itu, Kak Niko marah-marah di telepon. Katanya kami semua dibilang caper dan hanya bersandiwara. Aku yang mendengar kemarahannya hanya bisa menggelengkan kepala. Apakah di sini adalah tempat untuk casting film? Kenapa kami dianggap akting? Dia tidak memercayai kesurupan. Nah, ini aku baru setuju, karena aku sendiri pun skeptis dengan hal-hal spritual.

Aneh, bukannya Kak Niko seharusnya mengadakan doa bersama? Atau minimal, dia memperketat aturan untuk tidak melakukan hal-hal senonoh di sini. Ah, itu hanyalah peraturan dalam khayalanku saja. Pada kenyataannya, peraturan yang ketat hanya untuk pengisian ulang daya ponsel dan pembayaran WiFi saja.

Siang itu, kami baru ada kesempatan untuk bisa mandi. Aku yang biasanya memilih mandi paling akhir, saat itu ikut berbaris. Seperti biasa, kami harus antre memanjang sampai di luar toilet. Di dalam toilet, hanya ada satu bilik yang ditutupi gorden plastik. Sekali sesi harus dimasuki 2 orang untuk mandi, biar cepat. Sebenarnya aku tak yakin, terbiasa mandi paling akhir aku bisa mandi sendirian. Aku tak nyaman. Aku pernah sekali harus mandi berdua dengan seorang ibu-ibu. Aku tak berani menatapnya saat itu. Kami pun mandi dengan posisi saling memunggungi. Bahkan, aku pun tak berani melepaskan pakaian dalamku.

“Linda, mandi sama aku, ya,” pintaku padanya yang saat itu berdiri mengantre di belakangku. Tanpa ragu, dia pun mengangguk yakin.

Tiba waktunya kami untuk mandi, Linda pun masuk ke dalam bilik, aku mengikutinya dengan cemas. Melihat gerak-gerikku, Linda melirikku aneh.

“Kenapa, Ris?”

“Ee … ndak, ndak apa-apa,” jawabku gugup. Aku mulai membelakangi Linda.

“Pantes aja kamu suka mandi paling akhir.”

Aku menoleh mendengar ucapan Linda. “Malu, Lin,” balasku singkat. Aku mulai menanggalkan pakaian luarku.

“Gimana mau bersih kalo kamu masih pake daleman, Ris?” Linda mengagetkanku lagi. “Kita mandinya ndak kelar-kelar lho ini, banyak yang nungguin itu,” keluhnya. Antrean di luar memang masih mengular. “Lagian kita sama-sama cewek, kenapa sih?”

Sejenak aku terdiam. Memang benar, kita sama-sama perempuan. Namun, melihat: Kak Tony, Kak Niko, Nita, dan juga Arif, mereka benar-benar membuatku berpikir beratus-ratus kali. Apakah aman meski bersama perempuan sekali pun? Tiba-tiba saja Linda menepuk bahuku yang mulai terasa merinding, aku menoleh menatapnya yang ternyata sudah telanjang bulat.

Gila! Ukurannya 2 kali lebih besar dari punyaku. Kuberanikan diri untuk terus membuka mata di hadapannya. Dia menertawaiku. Entah kenapa dia dan Kak Tony itu suka sekali menertawakan wajah polosku. Namun, pada akhirnya aku melepaskan bra dan celana dalamku juga.

Hari-hari berikutnya, setiap mandi, aku selalu ingin bersama Linda. Setidaknya hanya dia.

“Buset, lebat banget.” Linda menertawakanku. Awalnya aku risih. Akan tetapi, lama-lama aku bisa menerima candaannya. Toh, kami bisa membuktikan bahwa selesai mandi, kami tidak membahas hal-hal yang menjijikkan.

Namun, pernah aku melontarkan pertanyaan yang sedikit sensitif kepadanya. “Lin, gimana sih rasanya cewek sama cewek?”

Lihat selengkapnya