Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #5

Chapter #5 Gara-Gara Power Bank

Aku masih tak menyangka, karena jawabanku yang asal-asalan saat Kak Tony meminjam powerbank itu, justru menjadi momok menakutkan bagiku. Setelah kepulangan kami dari Galaxy waktu itu, aku sering menyalahkan diri sendiri. Dalam diam, kukutuk mulutku ini. Setiap harinya, ada ketakutan yang seolah menghantuiku sampai-sampai rasanya aku benar-benar ingin kabur. Akan tetapi, ke mana?

Aku pernah benar-benar menangis saat menelepon Ibu. “Nduk, obate Ibuk wes entek.” Obatnya Ibuk sudah habis. Lagi-lagi kutelan pahit air asin yang mengalir dari mataku ini. Susah payah aku menghilangkan rasa sesenggukanku.

“Ya, Buk. Doain aku ya, semoga cepet balik ke HK biar bisa kirim uang ke, Ibuk.”

Ndak usah nangis, Nduk.” Tentu suaraku sudah kepalang nelangsa saat itu. Aku selalu gagal bercerita setiap kali mendengar suara Ibu. “Wes, Ibuk ndak opo-opo. Penting awakmu sehat nang kono. Kerjone lancar.” Sudah, Ibu tidak apa-apa. Penting kamu sehat di sana. Kerjaannya lancar.

Pikiranku bimbang. Jika aku tetap memutuskan untuk tetap di sini, risikonya aku akan selalu diganggu rasa yang tidak nyaman. Namun, jika aku ngotot mau pulang, bukankah risikonya akan lebih besar? Memutus kontrak maka aku akan kena denda, uang dari mana? Selain itu, aku akan mendapat masalah di Imigrasi, belum lagi memikirkan aku yang akan pulang hanya membawa badan saja.

Hasil 7 bulan bekerja di majikan lama, sudah kugunakan untuk membayar agency saat ganti majikan baru, sebagian lainnya kukirim ke Ibu, dan sisanya untuk menyambung hidupku di Makau. Namun, pikiranku tak hanya tentang perihal uang dan mereka yang membuatku tak tenang berada di sini, tetapi juga perihal kondisi Ibu.

Siapa yang merawat Ibu di rumah? Kalau Ibu ada apa-apa bagaimana? Saudara dan tetangga hanyalah status, aku tidak bisa terus-terusan mengandalkan mereka. Akan tetapi, kalau aku tidak bekerja, siapa yang akan membiayai Ibu berobat? Sudah lama aku tidak mengeluh ke ketiga kakakku yang sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Apalagi cerita ke Bapak, itu tidak mungkin terjadi.

Aku tak bisa menghentikan tangisanku sampai tak bisa berkata apa-apa. Lama aku berdiam meredamkan isakku. “Ibuk juga harus sehat, ya. Ibuk harus tetap ada buat nguatin aku.”

“Ibuk kancani sampek awakmu entuk nggon sing penak ya, Nduk.” Ibu temani sampai kamu dapat tempat yang enak ya, Nak.

Aku pun mengamini-nya tanpa berpikiran yang macam-macam. Kenapa hanya sampai aku dapat tempat yang enak? Entahlah, pikiranku sudah sangat lelah hingga tak dapat memikirkan clue sekecil itu. 

***

Aku penasaran, apakah sebenarnya Kak Tony sudah tahu kalau aku ini tidak menyukai sikapnya terhadapku? Seharusnya dia tahu. Dari tingkahku yang selalu menghindarinya, seharusnya dia paham kalau aku tak nyaman berada di dekatnya. Pernah suatu ketika, Kak Tony masuk ke dalam toilet, yang sebenarnya tak hanya ada aku yang berada di dalam sana. Linda yang tengah nongkrong di kloset sambil bermain ponsel pun sampai dibuatnya kelabakan, hampir-hampir ponselnya itu terjatuh ke lantai.

Bagaimana tidak, kloset itu berada tepat di depan pintu toilet, tanpa penutup. Bahkan, menabung tanpa membayangkan kedatangan Kak Tony saja, sudah membuatku merinding. Makanya aku memilih pergi ke taman bawah building saat ingin menunaikan hajat. Setidaknya, di taman itu ada beberapa bilik toilet yang tentu sudah lengkap dengan pintu yang tak akan mampu didobrak, oleh manusia tak sopan seperti Kak Tony.

“Dek, udah sarapan?” nah kan, random sekali pertanyaannya di pagi buta itu. Mana ada orang bertanya demikian di dalam bilik toilet. Aku yang sedang menggosok gigi saat itu benar-benar dibuatnya tak bisa berkutik. Kantukku seketika sirna.

Linda menatapku tajam, kuartikan tatapannya sebagai isyarat agar aku lekas menjawab. Namun, aku hanya bisa terdiam dengan mulut yang masih tersumpal sikat gigi. Wajah polosku pasti terlihat sangat bodoh saat itu.

Tiba-tiba saja gorden plastik itu sedikit terbuka. Wajah Mimi terlihat nyembul dengan rambutnya yang basah. “Ya belum toh Nak Tony. Mana sempat, nanti saja makan roti sambil jalan ke matdao.”

Aku menghela napas lega. Lagi-lagi Mimi menyelamatkanku dari manusia tak tahu diri ini. Oh iya, hari itu visa Mimi sudah turun, sehingga dia bisa kembali ke Hong Kong. Mimi sampai menangis senang, aku pun memeluknya dengan penuh haru tadi malam. Makanya di pagi buta itu, Mimi segera siap-siap saat orang-orang masih asyik bermimpi.

Aku sangat bersemangat saat Mimi mau kembali ke Hong Kong. Makanya, aku menawarkan diri untuk ikut mengantarnya, dan sudah kuniatkan aku akan bangun pagi di hari itu. Sementara Linda, dia memang terbiasa langsung menabung saat mata sudah terbuka.

Kak Tony hanya menyengir. “Iya tau, Mi. Maksudku, kalo Rista belum sarapan, nanti setelah nganter Mimi mau aku ajak sarapan di luar sama anak yang lain.”

“Nggak, Kak!” menyadari jawabanku yang tiba-tiba bernada tinggi, mereka memandangiku lagi. “Eh, maksudnya aku mau makan di sini aja. Katanya, menu siang nanti balado terong. Aku suka.” Kututupi maluku dengan menggosok gigi lagi.

“Mmh, ya udah, deh.” Kak Tony melenggang pergi tanpa menatapku lagi. Tak hanya aku yang bernapas lega setelah kepergiannya.

Pukul 5 pagi, kami semua berangkat ke pelabuhan. Aku menawarkan diri untuk membantu membawakan tas Mimi. Hari itu, ada 3 orang yang akan kembali ke Hong Kong. Kebetulan semuanya over stay akibat visa mereka yang tak kunjung turun, alhasil mereka harus berangkat di pagi-pagi buta. Saat aku berada di antara rombongan di dalam lift yang akan mengantar Mimi, Kak Reni tiba-tiba melirikku.

“Apalin jalan!” dia berkata singkat dan terdengar sangat ketus. Semua orang hanya menatapnya heran, termasuk Kak Tony. Kenapa dia harus berkata seperti itu? Apakah dia masih merasa kesal sejak dari Galaxy itu? Akan tetapi, kenapa Kak Tony cuek saja saat aku diperlakukan seperti itu? Entahlah, aku tidak bisa menebak isi kepala mereka. Kulampiaskan kekesalanku dengan menguap lebar.

“Nanti sampek building tidur lagi, Nduk.” Mimi menggandengku sekeluarnya kami dari lift. Aku hanya mengangguk sembari terus sibuk menutupi mulutku yang terus menguap.

“Mimi, hati-hati ya di Hong Kong,” pamitku sampainya kami di depan pintu masuk chek in Imigrasi.

Wanita itu malah justru menatapku tajam. “Haruse Mimi yang ngomong gitu.” Aku ikut menatap sorot mata wanita paruh baya itu. “Inget pesenku yo, Nduk cah ayu.” Dia usap rambutku yang pagi itu tidak memakai kerudung. Aku tak mungkin membangunkan Mbak Dwi hanya untuk meminta diambilkan koper, jadi aku hanya menutupi baju tidurku dengan jaket berwarna pink.

Saat itulah pertemuan terakhirku dengan Mimi. Kami melambai dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan. Mimi sangat berarti bagiku. Dia selalu menyelamatkanku. Entah kapan aku dan Mimi bisa bertemu lagi. Yang kusesali, aku tak sempat meminta nomor ponselnya.  

Lihat selengkapnya