Mau menghindar seperti apa pun, aku selalu berhasil ditarik oleh Kak Tony untuk masuk ke dalam kamar Kak Niko. Seolah memiliki magnet tersendiri, aku benar-benar tak bisa lepas dari genggamannya. Berada di antara mereka, memaksaku untuk terus terlihat kuat.
“Kamu lagi marahan ya sama pacarmu?” Kak Tony berbisik padaku. Dia benar-benar membuatku kesulitan. Bahkan, dia tahu apa yang sedang menjadi bebanku akhir-akhir ini.
“Jangan terlalu percaya sama cowok kalo dia belum bener-bener jadi suamimu. Yang udah jadi suami aja kadang suka berkhianat,” lanjutnya. Kulirik tatapan sorot matanya menerawang jauh pada kisah yang tak bisa kutembus.
“Ndak, kok. Aku mikirin ibuk,” kilahku.
“Halah, ndak usah bohong. Aku denger pertengkaranmu kemarin sama pacarmu itu.” Aku membeliak mendengar ungkapan Kak Tony. “Kamu lupa kalo kamu itu ada di ruang tamu? Di sana itu cuma boleh saling berbisik. Lha wong kemarin aja kamu teriak marah-marah di telepon kok. Kalo ndak ada aku, paling kamu udah ditegur tuh sama seluruh penghuni building ini.”
Masa sih? Aku berteriak? Astaga. Pantas saja, orang-orang langsung menatapku tajam yang kupikir karena aku diberi uang oleh Kak Tony. Seketika aku menunduk malu.
“Pacarmu itu hanya ndak bisa mensyukuri apa yang sudah dia miliki sekarang, Dek.” Ucapannya membuatku mengangkat kepala lagi. Kutatap sorot matanya yang kali ini kurasakan ketulusannya. Apalah Kak Tony ini, dia membuatku bingung. Terkadang dia peduli, bahkan bisa sangat perhatian, tetapi kadang dia bisa terkesan acuh. Apakah dia ini memiliki kepribadian ganda? Atau bipolar? Entahlah, aku tidak mengerti tentang psikolog.
Dia berbalik menatapku. Dengan cepat kualihkan pandanganku ke arah Arif dan Nita yang justru malah sedang bermesraan. Najis! Melihat wajah jijikku, Kak Tony tertawa pelan.
“Nggak usah dilihat,” ujarnya.
Aku makin kesulitan untuk mengarahkan pandanganku. Tanpa kuduga Kak Tony memutar daguku hingga wajahku menatapnya. Ya Tuhan. Adegan apa ini!
“Apa sih, Kak.” Aku tepis tangan Kak Tony dari daguku.
Dia terdiam sebentar, entah apa yang dia pikirkan, yang jelas raut wajahku sudah terlihat tidak nyaman. “Saat pertama kali lihat kamu,” ucapnya tiba-tiba, “aku seperti melihat diriku sendiri.”
Apanya yang sama? Wajah kita? Kurasa tidak juga. Malah kalau dia memiliki rambut yang panjang dan bergaya feminim, mungkin dia akan jauh lebih cantik dari aku. Bahkan, bentuk tubuhnya sangat ideal dibandingkan aku yang tingginya hanya 150 cm ini. Atau penampilan kita? Tidak, dia berpenampilan laki-laki, sementara kalau pergi keluar aku pakai hijab.
Lalu, bagian mana yang dia bilang mirip dengannya itu? Aku tidak bertanya dan hanya mengernyitkan kening, menanti dia akan memberi tahuku lebih lanjut. Namun sayang, dia hanya menarik napas panjang tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya lagi.
“Apanya yang sama, Kak?” kuberanikan diri untuk bertanya.
Akan tetapi, belum dia menjawab, Kak Niko memanggilnya. Dia tersenyum padaku sebelum menghadap bosnya itu. Sudah tahu dia itu sangat menjengkelkan, tetapi aku selalu terpancing untuk menanggapinya. Kuakui kebodoahanku ini. Sampai akhirnya kekesalanku tergantikan oleh Cece yang saat itu tiba-tiba duduk di sampingku. Aku menunduk lagi.
Namun, Cece justru malah mengajakku berkenalan. Dia menjadikanku yang lugu dan pemalu ini, mendadak ikut nimbrung di antara yang lain. Setiap perkataanku selalu disahut oleh Cece, yang kemudian ditanggapi oleh yang lain. Sejak saat itu, aku tersadar bahwa dia tak seburuk yang kupikirkan selama ini.
Pernah suatu ketika, aku dan Cece pergi bersama untuk menjemput anak baru di matdao. Saat kami keluar berdua dari kamar Kak Niko, tentu semua mata langsung tertuju pada Cece. Kulihat juga Linda tengah menatapku lurus. Aku tersenyum padanya, entah mengapa Linda justru tak membalas senyumanku. Dia alihkan pandangannya dengan gesit. Namun, aku yakin, sepertinya dia tadi sudah melihat senyumanku.
“Lin, tadi kamu kenapa?” tanyaku pada Linda saat kami mandi bersama.
“Kenapa apanya?” Linda sibuk menyiram tubuhnya tanpa melihatku.
Aku mendadak ragu. Mungkin cuma perasaanku saja. Aku pun terdiam tidak melanjutkan obrolan.
“Enak ya jadi kamu,” celetuk Linda tiba-tiba.
“Enak apanya, Lin?” tanyaku penasaran. Aku tak mengerti, bagian mana dari kehidupanku yang melelahkan ini, yang dibilang enak oleh Linda.
“Kamu bisa sering pergi keluar. Kamu bisa temenan sama Cece. Kamu bisa deket sama Kak Tony, dan … yang lain.”
Sejenak, aku terdiam menatap Linda. “Kamu mau menggantikan posisiku? Aku ndak apa-apa kok tetap stay di ruang tamu. Meski umpel-umpelan, tapi justru aku malah lebih nyaman. Aku bisa istirahat lebih banyak. Bisa telepon Ibu juga setiap saat.”
Linda tertawa lirih. “Ndak, ndak Ris. Aku cuma guyon.” Aku cuma bercanda.
“Beneran lho, Lin. Kamu taulah, aku sebenarnya kurang nyaman berada di antara mereka, apalagi … Kak Tony.”
Linda terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu. “Mhh … Ris, belajar bahasa Inggris, yuk. Kalo udah sampek di HK ada banyak kursus bahasa. Aku pengin deh fasih bahasa Inggris, biar gampang kalo mau godain bule-bule.” Linda tertawa lumayan keras.
“Hey, cepetan atuh mandinya,” sambar seseorang di luar bilik mandi. Spontan aku dan Linda saling pandang yang kemudian cekikikan bersama.
“Random banget lho Lin kamu itu, tiba-tiba pengin kursus bahasa Inggris,” bisikku padanya.
“Ya kamu apa ndak pengin juga? Biar nanti pulang ke rumah bisa bahasa Inggris.” Kita mendadak saling berbisik sembari menyirami air ke tubuh masing-masing, agar tak kena marah lagi.
“Kan kalo orang kampung pinter ngomong Inggris kelihatan keren, Ris,” lanjut Linda. Aku bergumam sejenak, yang kemudian mengiyakan ajakannya.
“Janji, ya.” Linda mengacungkan jari kelingkingnya.
“Ih, kayak anak kecil aja.” Namun, Linda menarik tanganku dan menautkannya di kelingkingnya.
“Pokoknya entah siapa pun yang bakal balik duluan ke HK, harus sabar nunggu biar bisa kursus bareng.” Linda begitu bersemangat.