Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #7

Chapter #7 Kekecewaanku

Hong Kong, Desember 2018

 

Kira-kira satu jam lebih aku ditahan di imigrasi Makau perkara over stay. Badanku gemetar, takut kalau aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari para petugas yang wajahnya terlihat tegas itu. Bahasa kantonis yang sudah melekat di otakku mendadak luruh satu per satu. Namun, akhirnya aku bisa keluar juga, meski jawabanku tadi terbata-bata. Aku diapit oleh 2 petugas lelaki berbadan besar, sampai aku benar-benar masuk ke dalam kapal. Aku dilirik orang-orang dengan tatapan aneh bagaikan teroris.

Apakah Mimi, Kak Sasa, dan yang lainnya kemarin juga diperlakukan seperti ini? Bedanya, hari itu aku pulang sendiri. Anak bau ingus yang harus bisa pulang tanpa diantar siapa pun. Bahkan, jika Kak Tony menawarkan diri untuk mengantarku pun, aku tak akan sudi.

Setelah menaruh koper dan mengikatnya agar tak jatuh saat kapal terombang-ambing, aku memilih duduk di dekat jendela. Tak berselang lama, kapal pun berjalan meninggalkan dermaga. Aku terdiam merenung. Pandanganku memeta pada luasnya hamparan air laut. Pagi itu, kulihat matahari sudah menyembul di ujung laut, pantulannya membuat air laut yang biru itu tampak mengkilap.

Ujung hijabku tersibak angin pagi yang sepoi-sepoi. Di balik senyumanku yang tersungging, aku tak bisa menyembunyikan kekecewaanku. Seperti layaknya kapal yang sedang kutumpangi, pikiranku terombang-ambing. Hatiku teriris mengingat kejadian kemarin malam di taman.

Masih kuingat jelas bagaimana perkenalan pertamaku dengan Linda. Dia satu-satunya yang saat itu mengajakku bicara. Kamu bocahnya Kak Tony? Pertanyaannya kala itu kembali terngiang di telingaku. Dunia ini penuh dengan kejutan yang tak bisa ditebak oleh dangkalnya otakku.

Tanpa sadar air mataku menetes. Bukan karena sinar matahari yang memaksa masuk ke netraku hingga membuatnya pedih. Akan tetapi, karena pertengkaranku dengan Linda semalam, sekaligus perpisahan kami untuk terakhir kali.

“Lin, apa yang kamu lakuin barusan? Wes edan po?” Sudah gila ya? makiku padanya malam kemarin. Aku tak peduli meski Kak Tony melirik ke arahku, yang saat itu menarik paksa tangan Linda ke kamar mandi setelah presensi.

Linda menepis tanganku dengan teramat kasar. Kudengar pula dia mendengus berat. “Apa urusanmu, Ris?”

“Lho, bukannya kita itu temen?”

“Temen bukan berarti bisa seenaknya ngatur-ngatur hidupku! Apa pas temenan kita ada perjanjian buat saling ngatur hidup masing-masing?”

“Ndak gitu maksudnya, Lin ….”

“Ris, aku ini iri sama kamu. Aku juga sama kayak kamu, bocahnya Kak Tony. Tapi kenapa yang dipilih Kak Tony kamu? Bukan aku?”

Kontan mataku memincing tajam. Otakku kelu, tak bisa mencerna ungkapan yang Linda utarakan kepadaku.

“Sebelum kamu dateng, aku yang selalu disuruh-suruh Kak Tony. Pas kamu dateng, semua berubah. Padahal kamu lho cuma duduk di pojokan.

“Bukannya aku yang lebih terlihat bisa diandalkan daripada kamu? Aku itu bosen di dalem building ini terus. Aku juga pengin jalan-jalan, bisa keluar, meskipun itu menjemput anak ke matdao. Bisa kenal dan bercandaan sama bocah-bocahnya Kak Niko,” lanjut Linda.

Sementara aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Aku tidak mengenal Linda yang sekarang.

“Terus, kamu sok-sokan deketin Cece. Tapi lihat, Cece jadi ndak nyaman sekarang ada di building gara-gara kamu!”

Loh, kok gara-gara aku? Namun, aku tak pernah diberi kesempatan oleh Linda untuk menjelaskan. Bibirku hanya mentok berkomat-kamit tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Aku iri, Ris. Semenjak kamu bisa keluar masuk ke kamar Kak Niko, aku benci senyumanmu ke mereka.”

“Linda ….”

“Ndak usah panggil-panggil namaku lagi. Sekarang, kamu udah tau hubunganku sama Kak Tony ….”

“Itu salah, Lin. Aku ngasih tau kamu karena kita temen.”

“Ceritaku di sini biarlah menjadi kenangan di sini. Ndak usah ikut campur. Dan kamu, tetaplah menjadi gadis kampung, yang ndak tau apa-apa.” Itulah pesan terakhir Linda sebelum dia keluar meninggalkanku di kamar mandi sendirian. Aku terduduk di lantai yang basah. Isakku tertahan, dan itu sungguh menyakitkan. Linda bertanya padaku kenapa bukan dia, tetapi aku bertanya pada diriki sendiri, kenapa harus aku? Dan aku pun tak bisa menjawab kedua pertanyaan itu.

Kejadian itu sungguh menggoyahkan mentalku. Menjijikkan rasanya jika harus merebutkan perempuan dalam hubungan pertemanan. Maka, pagi buta itu aku pun hanya di antar oleh satu orang ke matdao. Dia anak baru yang kini ditugaskan untuk mengantar jemput anak baru seperti aku dulu.

Saat kakiku berjingkat pelan melangkahi orang-orang yang masih terlelap, kusempatkan sejenak melirik ke arah tempat tidur Linda. Kulihat dia tidur menghadap ke arah balkon, membelakangiku. Di sampingnya sudah terisi oleh orang baru, sebab semalam aku memilih tidur di dekat gudang koper. Aku juga sempat memergoki Kak Tony menatap ke arah tempat tidurku malam itu. Akan tetapi, aku buru-buru memejamkan mata. Pagi itu pun aku pergi tanpa berpamit pada mereka.

Mengulas balik kejadian semalam, membuat waktu cepat berputar. Tanpa terasa, matdao di Hong Kong telah nampak oleh kedua mataku yang basah. Segera kuseka air mataku saat kulihat penumpang lain sudah mulai bangun dari tidurnya.

Saat itu, aku berpikir aku harus memulai semua dari awal. Aku menganggap aku baru datang ke Hong Kong untuk pertama kalinya. Kufokuskan pikiranku untuk berdoa, semoga majikan kedua lebih baik dari sebelumnya.

Saat itu, agency menyuruhku datang ke building-nya, karena majikanku belum bisa membawaku di hari itu juga, alhasil aku pun harus tinggal di agency selama 3 hari. Di hari ke-2 saat aku berada di sana, kuingat aku sedang tiduran di bagian bawah kasur tingkat, sembari mengabari teman-temanku di PT bahwa aku sudah kembali ke Hong Kong. Tiba-tiba saja kudengar jeritan yang cukup melengking tak jauh dari tempatku rebahan. Semua penghuni building egency-ku langsung menegakkan kepala, termasuk aku. Kami saling menatap bingung.

Jeritan itu kini diiringi dengan suara tangis dan cek-cok yang tak terdengar jelas oleh pendengaranku. Kudengar pula penghuni building lainnya yang berada di luar kamar, mulai bersahut-sahutan tak terkendali.

“Buk, jangan, Buk, jangan.”

“Aku mau lompat! Aku mau lompat!”

Seketika kami pun berhamburan keluar, aku terdiam di ambang pintu kamar. Kulihat ibu agency-ku, Ibu Ari, dia berteriak histeris dan terus memberontak hendak melepas paksa teralis besi pada jendela. Sementara beberapa penghuni lainnya berusaha menahannya. Bapak agency-ku pun masuk, hendak mendekati istrinya, tetapi Ibu Ari justru makin histeris.

Dari teriakannya, aku menyimpulkan ternyata bapak agency-ku telah berselingkuh dengan seorang TKW, yang berada di bawah agency-nya sendiri. Bahkan, Ibu Ari memperlihatkan wajah TKW tersebut dari ponselnya ke arah kami. Dia seoarang wanita yang kira-kira usianya 40-an tahun dengan memakai hijab. Bapak agency terlihat geleng-geleng kepala di dekat pintu masuk.

“Dia,” Ibu Ari menunjuk suaminya sendiri yang asli orang Hong Kong itu, “tidur sama wanita sialan ini!” Ibu Ari tentu sangat marah, sebelum dinikahi bapak agency, dia pun dulunya hanyalah seorang TKW. Makanya, dia hampir saja melompot dari lantai 5.

Mendengar percekcokan itu aku melangkah mundur memasuki kamar. Aku tak siap mendengarkan pertengkaran itu. Aku butuh ketenangan, mental dan otakku sudah lelah. Di building Makau aku menemui kerusahan karena kesurupan, sekarang di building Hong Kong, aku melihat kerusuhan perihal perselingkuhan.

Lihat selengkapnya