Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #8

Chapter #8 Hiburan Malam

“Siapa sih yang nggak kenal si Tony,” celetuk Niranda membuyarkan lamunanku.

Aku tak bisa mengartikan sorot mata Niranda saat menatapku. Namun, yang jadi pikiranku bukan perihal apakah dia mengenali Kak Tony, tetapi dari mana dia tahu apa yang dilakukan lelaki jadi-jadian itu terhadapku.

“Gue tau dari Linda,” tambahnya lagi sembari meraba lengannya yang disapa oleh angin malam yang cukup dingin.

“Kamu … kenal Linda juga?”

Niranda tersenyum culas. “Ya iyalah. Orang kita pernah satu kelas.”

Aku terdiam malu, untung wajah bodohku tertutup masker. Saat itu, aku tak memperhatikan Niranda lagi. Sampai akhirnya dia kembali bertanya, “Ngapain lu di sini sampek malem-malem begini?”

Aku ikut meraba leherku yang sedikit merinding. “Hmm … jalan-jalan aja. Kamu?”

“Ini mah tempat tongkrongan gue.” Jawabannya membuatku seketika mengedarkan pandangan. Di mana? Aku mendongak. Di gedung ini? Entah itu gedung apa, tetapi bangunannya terlihat sangat tinggi dan megah. Kulihat juga banyak orang berlalu lalang sedari tadi. Justru kulihat lebih banyak pendatang yang berseliweran.

“Lu masuk rumah jam berapa?” Niranda kembali memantikkan koreknya ke sebatang rokok yang dia apit dengan dua bibirnya.

“Hmm … belum tau,” jawabku ragu.

Sepersekian detik aku memperhatikan Niranda yang sedang menikmati rokoknya. Kupandangi dia dari kaki sampai ujung kepala. Badannya bagus, dia lebih tinggi dari aku, tetapi tak setinggi Kak Tony. Rambutnya lurus pendek setelinga dengan anting bulat besar seperti holahop. Dari penampilannya, semuanya, mengingatkanku pada gadis penghibur yang kutemui di Makau.

“Bagus lu nggak dateng ikut kelas lagi.” Lagi-lagi dia membuatku terkejut.

“Kenapa?”

Entah mengapa Niranda malah menarik satu sisi bibirnya. Senyumannya selalu terlihat aneh di mataku. “Linda berantem sama orang. Gue nggak tau siapa dia. Soalnya waktu itu gue dateng cuma mau ngambil ijazah doang.” Dia kepulkan asap putih berlawanan arah dariku. Tak heran, Niranda memang sangat cuek dan bodoamat.

“Terus, kenapa kamu kasih tau ke aku?” tanyaku malas, mendengar nama Linda benar-benar membuatku tak nyaman.

“Nama lu … Yarista, ‘kan?”

Aku tidak menjawab, tetapi sangat jelas aku memperlihatkan wajah kagetku di hadapan Niranda.

“Soalnya … nama lu disebut-sebut gitu sama Linda.”

Jantungku hampir mencelos. Kenapa lagi? Lama aku terdiam, sibuk dengan isi kepalaku yang menerka-nerka. Hingga tahu-tahu Niranda sudah memakai maskernya kemudian mengajakku berjalan ke arah kereta bawah tanah.

“Tiap Minggu kamu ke sini?” aku memulai obrolan lagi.

“Iyalah.” Jawabannya begitu singkat. Aku pun tak tahu kenapa aku memilih mendekatinya malam itu.

“Lu nggak pernah keluar ya?”

Aku pun menggeleng malu.

“Berapa tahun sih lu di sini?” tanyanya, dan aku pun hanya menjawab dengan memperlihatkan 3 jariku.

“Tiga tahun di sini rugi kalo nggak ke mana-mana.”

“Emangnya mau ke mana?” jawabku begitu polos dan terlihat bodoh. Hingga kudengar Niranda menertawaiku.

“Ya ampun, baru kali ini ada anak baru kayak elu yang nggak kepo sama kehidupan di Hong Kong. Banyak tempat indah loh di sini. Makanya lu keluar biar tau.” Niranda terus mengomel di perjalanan. Baru kutahu, di balik tatapannya yang dingin, menurutku dia sangat friendly. Tidak semua orang akan berkata banyak di depan orang yang baru dia kenal. Niranda selalu bertanya balik, bahkan terkadang dia akan menjawab pertanyaanku dengan penjabaran yang sangat panjang. Percakapan intens bisa membuat hubungan akan semakin dekat.

“Lu suka hiking nggak? Banyak cece-cece yang naik gunung. Gunung di sini nggak tinggi-tinggi amat, makanya ….”

“Ndak suka.” Aku memotong ucapannya.

Kulihat Niranda memutar bola matanya sejenak. “Lu suka kulineran? Banyak tempat makan di sini yang bisa lu coba. Barang kali lu mau jadi food vlogger.”

Lagi-lagi aku menggeleng. Kurasa Niranda sudah mulai habis kesabaran.

“Terus, lu kalo libur cuma tiduran doang di rumah gitu? Boleh sama majikan lu?”

“Udah 3 tahun ini aku di rumah terus. Paling keluar cari makan di dekat-dekat apartemen aja.”

“Terus hobi lu apaan?” kudengar nada bicaranya mulai gemas dan gregetan.

Melihat aku yang hanya terdiam plonga-plongo, Niranda berdecak sembari menggelengkan kepala. Aku takut tiba-tiba dia akan berteriak di depan orang banyak.

“Ya udahlah daripada lu libur kek gembel,” ocehnya, tetapi aku memilih tak menanggapi.

Langkahku ikut terhenti saat Niranda berhenti di depan pintu masuk mesin kartu otomatis di dalam stasiun MTR. Entah apa yang Niranda pikirkan, tetapi kulihat dia melirikku dari ujung hingga ke ujung. Aku hanya menjawab gerak-gerik matanya dengan kening mengernyit bingung.

“Kamu ndak kedinginan apa?” tanyaku.

Dia meraba lengannya sebentar. “Dikit, sih.”

Lihat selengkapnya