Bangun-bangun kepalaku sangat pusing. Kuingat kemarin malam aku sampai di rumah tepat jam 10 malam. Hmm … Niranda bisa dipegang omongannya, batinku sembari memegangi kepala yang teramat berat. Saat aku turun dari tempat tidur, nenek sudah berangkat ke taman untuk rutinitas olahraga pagi.
Aku menuangkan air minum ke dalam gelas seraya menghidupkan ponsel. Aku pun tak sadar kalau baterai ponselku habis, maklum ponsel kentang, tidak dibuat aneh-aneh saja tiba-tiba mati sendiri. Sesaat setelah menyala, seketika notifikasi chat datang beruntun. Nomor yang tidak kukenal terus menghubungiku saat ponselku mati. Ketika kubaca dengan saksama, aku meyakini itu pasti adalah Kak Tony.
Mungkin karena aku yang kabur kemarin, entah apa yang ingin dia sampaikan. Namun, anehnya dia tak pernah menghubungiku. Karena selama ini dia selalu bersembunyi di balik antek-anteknya, contohnya Linda. Atau karena aku sudah memblokir kontak Linda, makanya dia baru berani menghibungiku?
Selain Kak Tony, Niranda juga ikut mengirim pesan singkat kepadaku. Dia mengejekku yang katanya diberi minuman vodka saja langsung teler. “Padahal itu termasuk minuman yang nggak terlalu keras menurutku,” tulisnya dichat. Aku mendengus jengkel. Itu menurutmu, bukan menurutku! Tetap saja minuman itu tak bisa masuk ke dalam perut gadis ndeso seperti aku.
Aku terdiam cukup lama di dapur. Kulirik jam menunjukkan pukul 8 pagi. Entah mengapa, justru aku malah memikirkan Kak Tony dan Linda. Aku sudah berusaha untuk tidak mengingat mereka, tetapi ada saja cuplikan bagian kisah keduanya yang terlintas dalam benakku. Bahkan, aku sudah berhasil menyingkirkan rasa penasaranku, yang katanya Linda bertengkar dengan seseorang di kelas bahasa Inggris sampai menyebut-nyebut namaku. Sekarang, setelah bertemu lagi dengan kakak tomboy itu, rasa penasaranku itu kembali muncul.
“Kenapa, ya?” aku tak bisa meramal apa maksud mereka. Aku jadi kesal sendiri. Tak bisakah mereka membiarkanku saja? Kenapa masih menggangguku terus?
Pagi itu, rasa mual dan rasa ingin pusingku makin mejadi, saat kuputuskan scrolling Facebook malah menemukan postingan Mas Putra dengan seorang wanita. Secepat ini? Benar kan, mungkin saat masih bersamaku pun sebenarnya dia sudah memiliki pilihan lain. Keluarga, teman, dan cinta, semua menghancurkan mentalku secara perlahan.
Terkadang, aku hampir lupa bahwa aku tetaplah manusia biasa yang tak lepas dari rasa sedih, kecewa, penyesalan, sakit, bahagia, rindu, dan semuanya melekat di hati yang bahkan bisa kurasakan secara bersamaan. Yang kusesali, bahkan aku tak bisa memprediksi kapan semua perasaan-perasaan itu datang kepadaku dan memaksaku untuk merasakannya.
Di saat rasa lelah lebih dominan dan menguasai diri, aku mendadak menjadi lemah. Aku teramat rindu sosok yang bisa menenangkanku lewat omelannya, nasihatnya, dan tuturnya yang lembut menenangkan hatiku yang bergejolak. Aku rindu ibuku, di saat-saat seperti ini, aku pasti akan mengadu padanya.
Rantau bukan hanya perihal menahan rasa rindu, tetapi juga tentang hasil, yang tak akan pernah orang ketahui bagaimana perjuangannya. Kini aku baru menyadari, di balik kerasnya didikan Ibu kepadaku, dia ingin aku mandiri dan kuat. Karena hidup itu bukan hanya tentang perasaan bahagia dan kesakitan, tetapi tentang perjuangan dan pengorbanan yang tak mudah. Pagi itu, foto Mas Putra dan chat dari Kak Tony, memicu tangisanku pecah sejadi-jadinya.
Aku rindu rumah, aku rindu ibu, bahkan di saat itu aku menyesal telah pergi meninggalkan Mas Putra. Lebih menyakitkan, bisa-bisanya aku menyesal menjadi bagian darah dan daging, dari lelaki seperti ayahku.
***
Seminggu kemudian aku menolak menemui Niranda untuk memilih bertemu dengan Tika—teman sewaktu aku masih berada di PJTKI. Kami sama-sama sudah 3 tahun berada di Hong Kong. Satu tahun yang lalu, tepatnya 3 bulan setelah kepergian ibuku, dia harus merelakan kepergian sang ayah untuk selama-lamanya
“Lu nyesel ya main sama gue?” tuduh Niranda saat itu. “Lain kali lu boleh minum holok aja deh.” Namun, aku meyakinkan Niranda bahwa bukan karena itu aku tak bisa bertemu dengannya.
Hari itu, aku janjian dengan Tika di sebuah tempat bernama Butterfly Beach. Jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku. Namun, Tika berjanji akan menjemputku di MTR terdekat sebelum kami naik bus bersama-sama. Saat itu lagi-lagi aku tak memakai hijab. Yang membuatku kaget, Tika pun sama halnya denganku. Malah justru kulihat pakainnya cukup terbuka sama seperti pakaian Niranda.
Melihat Tika, aku teringat Linda. Mengapa setiap tempat aku hanya memiliki 1 orang teman? Saat di PT dulu, hanya Tika satu-satunya temanku. Dia yang menemaniku saat aku takut tidur sendirian ketika sebagian penghuni lainnya pulang cuti. Aku juga yang sering menemaninya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan kami pun salat tahajud bersama-sama.
Aku tak peduli saat orang-orang membicarakannya di belakang. Apakah menjadi seorang janda anak 1 di usia 21 tahun adalah sebuah kehinaan? Itulah yang kupikirkan saat memilih dekat dengan Tika. Namun, satu hal yang membuatku malu, aku pernah mengasihaninya tanpa sadar bahwa hidupku pun jauh dari kata layak.
Setibanya kami di pantai, aku membantu Tika memasang tenda di atas pasir putih. Selesai menyiapkan tempat, Tika berpamit untuk berganti pakaian, sementara aku memilih duduk di dalam tenda. Kulihat banyak orang berjemur dengan hanya memakai pakaian dalam. Pemandangan itu seolah sudah biasa bagi penglihatanku.
Sepuluh menit berlalu, kulihat Tika berjalan dari arah kamar mandi. Bikininya yang bermotif lemon membuatku tercengang.
“Kenapa, Ris?” tanya Tika setibanya di tenda saat menyadari tatapanku yang aneh.
Aku memilih menggeleng dan membiarkan Tika duduk di sebelahku. Kupikir Tika mengajakku untuk berbagi kesedihan selepas ditinggal oleh bapaknya, atau dia akan mengajakku untuk mendoakan almarhum sang ayah, tetapi pakaian yang dia kenakan jelas tak mungkin mengarah ke sana.
Kulirik dia meraih kemejanya untuk menutupi bagian tubuhnya yang indah itu tereskpose. Tika cukup cantik untuk ukuran gadis desa. Badannya tinggi, setinggi Kak Tony kira-kira. Tubuhnya yang sedikit berisi membuatnya terlihat menarik bagi kaum adam, ditambah dengan kulitnya yang berwarna kuning langsat.
Lama kami terdiam dalam kecanggungan. Setelah sekian lama kami tidak bertemu, siapa yang tak terkejut akan perubahan masing-masing?
“Kamu ndak apa-apa, ‘kan?”
Pertanyaan Tika membuatku menoleh. “Ndak apa-apa … apanya? Bukannya aku yang haruse nanya gitu?” tanyaku balik.
Tika diam tertunduk, dalam isaknya dia bekata, “Sebenernya aku sedih, Ris. Sakit banget ditinggal bapakku pas aku masih kerja di sini. Sak iki, aku ngrasakne apa sing mbok rasakne.” Sekarang aku merasakan apa yang kamu rasakan.
Aku hanya bisa membalasnya dengan menepuk pelan bahu Tika yang jelas sedang tidak baik-baik saja.