Hari itu aku dan Niranda janjian makan di sebuah toko Indonesia. Tentu aku datang lebih dulu. Karena Covid-19 banyak meja dan kursi yang disilang. Meski saat itu sudah diperbolehkan keluar rumah, peraturan masih cukup ketat. Di tempat umum tak boleh lebih dari 2 orang.
Sembari menunggu Niranda, aku membuka ponselku untuk melepas kebosanan. Sepersekian detik aku memandangi wallpaper ponselku. Begitu cantik wanitaku itu tersenyum dengan lidah menjulur. Itulah satu-satunya fotoku bersama Ibu. Tak ingin larut dalam penyiksaan rindu, aku membuka Facebook.
Postingan Cece lewat di berandaku. Sepertinya dia pulang kampung. Namun, ada yang lebih mengagetkanku, “Dia menikah?” seruku terperangah.
Aku tergerak untuk menelisik kehidupannya lebih lanjut. Syukur kalau dia sudah kembali ke jalur yang benar. Akan tetapi, kenapa pertemuan kami tanpa sengaja di MTR waktu itu dia masih terlihat dendam padaku? Entahlah, yang jelas aku lega meski hubungan kami tak sebaik itu.
Menggeser ke berita BMI Hong Kong malah membuatku jadi geleng-geleng kepala. Pekerja migran Indonesia akhir-akhir ini lebih berani daripada aku. Lihatlah, wanita di tumbnail berita itu cukup percaya diri membeberkan bahwa dia disiksa bahkan dilecehkan oleh majikannya. Apa kabar dengan mentalku? Aku akui keberaniannya patut diacungi jempol. Berita semacam ini memang perlu diviralkan agar kebanyakan orang di luar sana tahu, dari hasil yang kita dapatkan dari tanah perantauan sebanding dengan perjuangan.
Lagi asyik menggulir berita-berita para TKI yang makin membuatku miris, tiba-tiba sebuah notifikasi masuk. Seketika pikiranku langsung teralihkan karenanya. Tak bisa kudeskripsikan pula bagaimana aku menjelaskan saat wanita yang dinikahi bapakku itu mendadak menghubungiku.
Jengkel, tentu. Merasa bodoamat, pasti. Namun, membaca setiap chat darinya entah mengapa membuatku terdiam.
Nomor tidak dikenal : Assalamualaikum. Ini Yarista, ya? Maaf Ibuk baru ngabarin sekarang. Namaku Damayanti. Aku istrinya bapakmu.
Nomor tidak dikenal : Bapak ndak pernah cerita tentang kamu sampai Ibuk cari tahu sendiri. Ibuk ndak menyangka kalau Bapak masih punya putri yang jauh di Hong Kong.
Nomor tidak dikenal : Bagaimana kabarmu, Nduk? Di sana baik-baik saja, ‘kan? Apa Covid di sana sudah membaik?
Aku tidak menjawab. Aku terdiam terpaku. Bahkan aku bingung akan perasaanku sekarang. Respon apa yang harus kusampaikan kepada istri ketiga bapakku itu? Pernikahan yang sempat sangat aku benci dan memicu depresiku kembali kambuh.
Namun, membaca chat beruntunnya membuatku tak bisa berkata-kata. Dia yang jelas-jelas tidak tahu aku siapa, tiba-tiba bertanya keadaanku. Hingga tahu-tahu aku dikagetkan dengan kedatangan Niranda.
“Ngeliat apa sih lu? Dipanggil nggak nyaut sama sekali!”
“Hah? Ahh ….” Aku menjawabnya dengan nada tergagap.
“Hah heh hoh hah heh hoh! Virus Covidnya masih nempel tuh kayaknya.”
Aku menggeleng. “Nda, kalo tiba-tiba seseorang yang kamu benci menghubungimu dan menanyakan kabarmu … gimana reaksimu?”
“Ya baleslah. Gitu aja repot banget. Siapa, sih?”
Aku tertunduk sejenak. “Ibu … tiriku.”
“Oh yang kemarin diupload sama sodara lu itu, ya? Ya bagus, dong.”
“Tapi ….”
“Heleh, lu mikirin apa, sih? Mau gimana pun dia tetep ibu lu. Kalo lu mau dihargain, minimal lu harus bisa ngehargain orang lain!” tandas Niranda melirik ke arah ponselku yang saat itu bergetar lagi.
Nomor tak dikenal : Maaf ya kalo Ibuk tiba-tiba hubungin kamu. Ibuk cuma mau kenal lebih deket sama anak-anak Bapak. Ibuk udah tau sifat dan masa lalu bapakmu. Ibuk tau semuanya, insha Allah Ibuk bisa menggantikan peran almarhumah Mbak Parti. Kalo kamu ndak suka, ndak apa-apa, itu risiko ibu tiri.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Yang pasti, saat dia menyebut nama ibuku, aku mendadak terharu hingga membuatku berkaca-kaca. Haruskah aku mulai belajar memaafkan keadaan dan takdir dari Tuhan?
Atas saran Niranda, aku pun membalas pesan dari ibu tiriku.
***
Selesai makan, aku dan Niranda pergi ke sebuah taman. Kulihat tak banyak tenda yang terpasang. Mungkin karena cuaca hari itu sangat-sangat panas. Memasang tenda di bawah pohon pun dirasa kurang cukup teduh. Berbeda dengan para bule yang sengaja memasang badan di atas rumput, di bawah terik matahari. Seperti ikan asin yang sedang dijemur.
Aku dan Niranda duduk begitu saja di atas rumput hijau tanpa alas, menghadap ke arah laut. Sembari menjilati es krim yang meleleh, kami terdiam seribu bahasa. Hanya rambut yang tak mau diam mengikuti arah mata angin.