Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #14

Chapter #14 Lingkaran Setan

Hong Kong, November 2019

Setelah gue lulus dari kelas bahasa Inggris, gue udah nggak pernah lagi datang ke lapangan rumput Causeway Bay. Gue juga udah nggak pernah dengar kabar dari Yarista. Sedangkan gue sama Linda dan Tony, kita masih 1 grup Alumni Kelas Bahasa Inggris, tapi gue nggak pernah kontakan sama mereka.

Tiap Minggu, gue selalu nongkrong di tempat yang random sendirian. Bukan karena nggak punya teman, tapi gue sengaja menjauh dari mereka, terutama teman-teman gue di club. Meski begitu, ada aja satu hal yang bakal buat gue tetap harus datang ke sana.

Mucikari Jisin : Hari ini kamu harus datang. Ada banyak pelanggan yang menginginkan kamu. Utamakan Mark dulu.

Sabtu sore, gue dapat pesan itu dari Mr. Lim sialan itu. Lagi-lagi gue harus menahan mual dan muak di waktu yang bersamaan. Sebenarnya gue kenal dia itu karena dijebak. Pas gue jadi anak baru di Hong Kong, gue cuma asal ikut teman-teman gue yang lain, hingga akhirnya gue terjebak ke dunia yang bangsat ini.

Waktu gue lagi ngetik balasan dengan segala alasan yang mungkin bisa buat gue lepas dari mereka, Mucikari jisin telah mengetahui rencana gue lebih dulu.

Mucikari Jisin : Nggak ada alasan, ya. Kamu sudah berjanji nggak akan lembur minggu ini.

Sial! Gue menyumpahi lelaki biadab dan licik itu. Gue capek, gue pengin berhenti!

Mucikari Jisin : Kalau kamu nggak mau diajak kencan sama mereka nggak apa-apa juga. Nggak ada paksaan, kok. Tapi, mereka beneran maunya sama kamu. Pokoknya dateng aja ya ke club. Kamu bakal tetep dapet pesangon, kok.

Nggak ada paksaan matamu. Bukan karena pesangonnya asu! Meski penampilan gue kayak lonte, tapi gue bukan wanita penghibur kayak anak buah lu yang lainnya. Gue jadi kesel sendiri sampai banting HP ke kasur. Pasti dari kalian ada yang berpikir, “Kenapa nggak nolak aja langsung?” Nggak, lingkaran setan ini nggak sesederhana yang kalian semua bayangkan.

Masih digelayuti perasaan kesal, tiba-tiba 1 notifikasi lagi masuk ke HP gue.

Nomor Tak Dikenal : Awas aja ya kalo lu sampek datang ke club! Pelanggan gue jadi menipis gara-gara lu asu!

Meski gue udah hapus nomor si bangsat sialan yang udah ngejebak gue itu, gue nggak bakalan lupa sama makhluk 1 ini. Mendapat pesan dari dia, justru gue jadi tersenyum bahagia.

Akhirnya, dendam gue terbalasakan!

Jangan dikira karena panggilan gue-elu yang udah jadi logat gue sehari-hari, terus dikira gue anak kota metropolitan. Gue juga dulunya anak kampung yang kerjaannya bantuin nenek gue jual ikan ke pasar. Dulu gue diejek karena sering cari kerang di pinggir pantai. Gue pernah dibully dan didorong sampai gue jatuh ke bebatuan, hanya karena warna kulit gue yang cenderung gelap. Mereka lupa, warna kulit ini memang ciri khas kami dari Indonesia bagian timur. Hingga akhirnya, gue merantau ke kota yang kehidupannya sama bar-barnya kayak di Hong Kong.

***

Hong Kong, Desember 2014

Gue inget banget, di tahun awal gue datang ke Hong Kong, itu adalah masa-masa tersulit gue. Tapi, karena masa lalu gue dulu yang lebih bangsat, gue nggak butuh waktu lama buat bisa beradaptasi, apalagi saat ketemu Shera dan lingkaran bisnis setannya. Gue seolah nggak kaget lagi.

Waktu itu, karena gue anak baru, gue masih belum tau banyak tempat dan hanya bisa ikut-ikutan. Akhirnya, gue kenallah sama Shera dan teman-temannya. Sebenarnya, mereka baik, kok. Mereka nggak mandang rendah gue meski gue anak baru.

Sampai suatu ketika waktu kami semua main ke kos-kosan teman gue, Shera sering pamit lebih dulu, “Guys, gue cabut dulu, ya.”

Awalnya sih gue santai aja. Tanpa kepo tanya-tanya dia ke mana dan ada keperluan apa. Sampai dipamitannya yang entah ke berapa saat kami semua kumpul, dia bilang, “Gue pergi duluan, ya. Lumayan ada job orang kulit item.”

Sontak gue bertanya, “Kerjanya ngapain emangnya, Kak?” Kok bawa-bawa orang kulit item? batin gue saat itu.

“Ngangkang dong, Say. Kenapa, lu mau ikutan? Yuk, gue kenalin sama orang yang bakalan ngurusin job lu.”

Seketika gue terdiam mendengar jawaban Shera yang di luar prediksi gue. Waktu itu gue udah mikir bahwa pertemanan ini memang sehat soal hubungannya doang, mereka nggak kayak teman-teman kampung gue yang suka ngebully, tapi soal tindakan, mereka semua remidial. Menjijikkan.

“Nggak, Kak. Makasih. Semangat ngangkangnya, Kak,” celetuk gue ngasal yang kemudian gue sibukkan diri dengan main HP lagi. Di situ gue diketawain sama mereka. Tapi, lagi-lagi gue cuma membuang muka sebal.

Setelah kepergian Shera, Tini–temannya Shera ngedekatin gue. “Nggak apa-apa, Nda. Kalo lu butuh dana lebih, dateng aja ke gue. Atau ke Shera juga nggak apa-apa.”

Lagi-lagi gue melengos dan sontak aja langsung ditimpali tawa cekikikan dari mereka. Waktu itu umur gue baru 18 tahun, maklum umur gue dituakan. Kalau nggak, gue bakal masuk ke Hong Kong di tahun 2018 sama kayak Yarista. Shera dan yang lainnya mikir umur gue udah 20-an tahun. Tapi, gue nggak pernah cerita ke siapa pun.

***

Lihat selengkapnya