Setelah gue ngikut Shera, gue jadi kebanyakan mikir, terutama dari duit yang gue dapat. Awalnya gue bingung banget dengan duit itu. Sampai akhirnya setelah adek gue beneran daftarin kuliah, sebagian gajian gue ngalir ke dia dan buat renovasi rumah, dan sisanya buat tabungan nenek. Tapi, sebenarnya gue sedih, karena mau nggak mau adek gue harus pindah ke kota dan ninggalin nenek di rumah sendirian.
Gue libur terpaksa gunain duit dari Mark. Kalau pun ini duit haram, nggak apa-apa biar gue aja yang gunain. Nenek gue jangan sampai tau. Gue nggak mau ngulang kejadian kayak dulu lagi, yang ngebuat gue sampai lari jauh-jauh ke Hong Kong.
Sejak gue dikasih duit sama Mark, gue ketagihan. Dari sini, gue mulai gelap mata. Pikiran bangsat gue mulai beraksi. Nggak apa-apa gue begini, asal adek gue bisa kuliah. Nggak apa-apa gue begini, asal nenek gue nggak perlu capek-capek banting tulang lagi.
Minggu-minggu selanjutnya gue selalu ikut Shera pergi ke club. Gue selalu ngintil dan gue nggak peduli orang mau bilang apa. Siangnya, waktu kami masih di kosnya Ratri, di situlah gue ketemu sama Niken alias si Tony dan juga Nisa.
Waktu itu Shera ngasih saran ke gue biar ikut kursus bahasa Inggris. “Biar lu lebih banyak interaksi sama mereka,” bujuknya.
Di situ gue masih berdehem buat berpikir. Apa gue bakalan bertahan lama jadi kayak Shera? Meski gue udah dikuasai sama otak kotor, waktu itu gue nggak mau sampai beneran diajak tidur sama laki-laki yang nggak gue kenal.
“Kamu mau kursus bahasa Inggris, Dek?” tanya Niken ikut menyahut.
“Belum tau sih, Kak,” jawab gue.
“Nah, iya ini, si Niken ngajar bahasa Inggris, ya, ‘kan, Ken? Nah, mending lu sama dia aja,” timpal Rahma. Waktu itu gue masih belum niat. Gue cuma iya-iya aja.
Lalu sorenya, gue sama yang lain mulai jalan ke club. Dan kami pun pisah sama Niken dan Nisa, karena mereka nggak pernah mau ikut kalau diajakin ke club. Entahlah, mungkin mereka mau mojok berdua, dan itu bukan urusan gue.
Meski di rumah majikan gue nggak punya kamar sendiri karena harus berbagi sama nenek yang gue jaga, tapi gue nggak punya batasan buat pulang libur. Jadi, gue nggak perlu takut dimarahin kalaupun pulang dari club sampai malam sekalipun. Tapi, tau ngga kalian, banyak mbak-mbak yang lebih parah dari gue.
Ada yang tidur di dapur, atau libur keluar siang karena diharuskan kerja dulu, pulang libur juga sore karena masak buat majikan makan malam. Kata libur seolah hanya ilusi. Pagi kerja, malam juga harus kerja. Pulang libur bukannya langsung tidur, tapi masih dihadapkan sama cucian yang menggunung.
Dua puluh menit kira-kira waktu yang kita tempuh untuk menuju club. Pakaian gue emang udah terbuka sejak dari rumah, tapi hari itu, dress gue lebih mini dari biasanya.
“Jalan yang santai aja kali, Nda,” tegur Yulia. “Yang rileks dan percaya diri, dong.”
Gue akuin, dari tadi gue sibuk narik dress gue yang selalu ketarik ke atas pas kaki gue jalan. Ini terlalu pendek, kenapa gue baru nyadar sekarang, di saat gue udah mau jalan ke club. Mau balik, jelas nggak mungkin. Empat lonte ini nggak bakalan ngizinin gue.
Akhirnya, kami pun sampai di depan club. Alunan musik udah terdengar kencang. Di luar club yang berjejer, juga udah dipadatin sama banyak manusia penikmat hiburan malam. Mereka berempat lebih dulu mendorong pintu masuk. Sementara gue masih sibuk menarik napas panjang. Dengan segenap kepercayaan diri yang gue punya, gue yakinin diri gue sendiri, bahwa apa yang gue lakuin nggak lebih dari hanya sekadar mencari kesenangan.
Gue pun masuk. Suasana udah ramai. Bahkan lebih ramai dari biasanya. Semua tempat duduk udah terisi. Yang berjoget di tengah arena pun udah lumayan padat. Saat itu, David langsung datangin gue yang masih berdiri dengan kepala tolah-toleh.
Sebenarnya gue bukan tipe cewek yang gampang jatuh cinta. Tapi, gue akuin David orangnya ganteng. Badannya tinggi dan cukup sispek. Tipe gue sih sebenarnya. Lagi enak-enak balas senyum dari David, sebuah tangan udah menggerayang di punggung gue.
Hampir gue lempar si pemilik tangan sialan itu pakai gelas berisi bir yang David bawa, sebelum lelaki itu berbisik, “Hi,” sapanya sangat lembut.
Oke, gue akuin penampilan Mark nggak mampu memikat mata gue. Tapi, suaranya cukup buat gue bergetar.
“Mau duduk?” tawarnya.
Gue pun mengangguk. Mark langsung menggandeng gue, sampai gue melupakan David. Di tempat duduk itu, ternyata udah ada Ratri, 1 orang pria berwajah chinese, 1 orang lagi pria berwajah bule. Gue dan Mark duduk 1 meja bersama mereka.
Ratri tersenyum nyambut gue. Dia ngenalin gue ke cowok berwajah chinese itu. Gue yakin dia asli orang Hong Kong. Sementara bule satunya senyum ke arah gue, dia memperkenalkan dirinya sebagai Brian.
“You look so beautiful,” katanya.
Godaan Brian ke gue ditimpali tawa ringan dari Mark. “Ya, dia benar-benar cantik, ‘kan? Kulitnya indah sekali. Aku suka,” tambah Mark.
Gue juga nggak bego-bego amat. Untuk kata-kata basic kayak gitu gue juga paham. Tapi, ngelihat mereka yang selalu memuji gue, bukannya senang, tapi gue malah risih. Dari suara tawa mereka menyiratkan makna yang agak menjijikkan.
Ratri sama pria chinese-nya itu izin buat keluar. Gue nggak tau mereka mau pergi ke mana. Yang jelas, gue malah ketar-ketir ditinggal bertiga aja bersama Mark dan Brian. Jiwa keberanian gue yang masih tersisa, akhirnya gue beranikan diri buat utarakan ke mereka meski dengan kalimat yang terbata-bata.
“Sorry, I … just want … to drink,” kata gue.
Dua pria bule itu malah menertawai gue. Apa salahnya sama kalimat gue?
“Calm down baby. Aku akan menemanimu minum,” jawab Mark, yang kemudian menuangkan bir ke dalam gelas kosong, lalu menyodorkannya ke gue.
Gue cuma diam memperhatikan kelakuan 2 pria bule ini. Selesai menuangkan bir ke dalam gelasnya Brian, Mark ngajak gue untuk bersulang. Meski ragu, akhirnya gue mengangkat gelas dan gue satukan dengan gelas mereka hingga berbunyi ‘ting’.
Selesai minum, lagi-lagi keduanya tertawa. Kali ini gue mengartikan tawa keduanya sebuah kebahagiaan. Hingga akhirnya jam menunjukkan pukul 10 malam. Meski jam pulang gue nggak dibatasi, tapi gue nggak bisa pulang kemalaman, karena besok paginya gue harus kerja.
Akhirnya, gue pamit sama Mark dan Brian untuk menghampiri meja Shera dan yang lainnya. Tapi, sebelum gue benar-benar beranjak pergi, Mark meraih tangan kanan gue. Sontak gue menatapnya kaget dengan mata membeliak.