Cuma karena gue nggak fokus dan asal jawab, gue berakhir di lubang neraka. Tapi, yang paling salah tetaplah Shera. Kurang ajar banget. Dia nggak ngejelasin ke gue sama sekali. Mungkin dari kalian semua bakalan nyalahin gue, tapi bagi gue, si lonte-lonte itu yang udah ngejebak gue.
Kalian semau tau, setelah kejadian itu, mereka semua seolah nggak merasa punya dosa. Mereka tetap menjalani aktivitas transaksi mereka seperti biasa. Gue kecewa, dan gue marah. Tapi, gue nggak bisa meluapkan amarah gue sampai jadi dendam. Tapi, yang gue kecewekan tetaplah teman asli gue, Ratri, yang aslinya beneran bangsat banget.
“Kalo lu mau jadi bangsat, ya udah ngebangsat aja sendiri. Jangan bawa-bawa gue!” gue cuma bisa meluapkan amarah gue ke Ratri, itu pun cuma lewat telepon setelah pulang dari club. Di malam itu gue telepon dia sambil nangis-nangis di jalan.
“Lah, kok lu nyalahin gue sih, Nda. Kan elu sendiri yang jawab ‘ready’, ‘kan? Lu nggak usah playing victim!”
“Tapi, kenapa lu nggak kasih tau ke gue, Rat. Lu seolah mendadak jadi budek, lu jadi bisu. Lu temen gue ….”
“Lah! Setau gue ya, sejak gue jualan, jangankan ngajak temen-temen gue pergi clubbing, mereka aja udah nggak mau lagi jalan sama gue. Ya paling … mentok, mereka cuma main ke kos gue doang. Terus pas gue cabut ke club, mereka nggak bakalan ngintil terus kayak elu.”
“Ya karena mereka tau apa yang lu lakuin itu nggak bener!” bentak gue, jawaban Ratri buat gue makin naik darah. “Lu pikir orang yang mau pergi ke club cuma buat jadi lonte kayak elu? Denger ya, Rat, sebelum gue kenal elu, sebelum gue ke Hong Kong, dunia malam itu udah biasa bagi gue. Cuma kalian aja yang mikir tempat hiburan malam cuma dikhususkan buat para lonte kayak kalian!”
“Jaga ya mulut lu!”
“Mindset lu yang harusnya dibenerin. Main lu kurang jauh!” gue nggak peduli meski saat itu sampai dilihatin orang karena ngomel di jalan sambil nunjuk-nunjuk angin.
“Dan satu hal lagi,” lanjut gue, “makasih atas semua yang udah lu kasih ke gue. Gue nggak nyangka, dari apa yang semua udah lu kasih ke gue, bahkan tanpa gue minta sekalipun … lu anggep itu sebagai tiket masuk ke dunia gila kalian!
“Gue ngintilin kalian bukan karena dengan sukarela gue mau dijadiin kacung kalian! Itu karena gue masih nganggep kalian orang baik, terlepas dari apa pekerjaan sampingan kalian! Kasih tau tuh ke temen-temen bangsat lu itu. Jangan pernah kalian hubungin gue lagi!”
Gue nggak langsung dengar jawaban dari Ratri. Sampai hampir gue mau matiin sambungan telepon, tiba-tiba Ratri berkata, “Terserah sih lu mau temenan lagi sama gue apa enggak. Yang pasti, lu nggak bakalan bisa keluar gitu aja. Nggak semudah itu.”
Gue tersenyum smirk. “Pasti ada jalan keluar. Gue … nggak kayak apa yang lu pikirin tentang penampilan gue. Gue pikir lu itu temen gue, lu ngerti sifat gue. Ternyata enggak. Elu cuma ngelihat gue dari cover-nya doang!” setelah gue mengatakan hal demikian ke Ratri, gue langsung menutup sambungan telepon secara sepihak.
Di saat itu juga, gue langsung hapus semua nomor orang-orang bangsat itu. Tapi, waktu gue lihat grup chat sialan itu masih ada di kotak pesan, seketika gue bersimpuh lemas di trotoar. Percuma gue hapusin nomor-nomor mereka. Karena mereka semua tentu ada di grup chat itu. Gue nangis di jalan, gue tau gue juga salah, tapi gue manusia biasa.
Gue nangis, tapi nggak ada satu pun manusia yang bisa mendengar jeritan hati gue. Saat itu, gue udah merasa menjadi manusia paling hina. Manusia paling nggak berguna, dan manusia paling dikhianati.
Hati gue sakit banget sampai dada gue sesak. Gue ingin ngadu, tapi nggak tau ke siapa. Ke nenek, nggak mungkin banget. Apalagi ke adek gue. Gue di situ merasa asing dan kecil. Gue nggak punya siapa-siapa kecuali diri gue sendiri.
***
Satu minggu pun berlalu. Setiap kali ada notifikasi di grup sialan itu, gue selalu disiksa oleh penyesalan gue sendiri. Hal yang paling buat gue merinding adalah ketika membaca deskripsi grup yang bertuliskan, “Kalian tak akan bisa keluar, kecuali admin yang mengeluarkan. Identitas kalian, kami pegang.”
Hah? Tau dari mana? Gue nggak pernah ngasih tau identitas lengkap gue ke Mr. Lim. Gue lupa, kalau gue berada di circle pertemanan yang toxic. Mungkinkah Shera atau lainnya, yang udah nyuri identitas gue? Gila, ini gila! Terus, gimana caranya gue keluar?
Tiap jam gue nunggu, berharap ada yang dikeluarkan biar gue tanya gimana caranya, tapi yang tiap hari muncul hanyalah foto-foto telanjang para wanita penghibur itu. Bahkan isi chat yang berisi tawar menawar, serta urusan pekerjaan di atas ranjang sekalipun, nggak patut gue deskripsikan di sini. Ini terlalu mainstream, dan terlalu menjijikkan.
Kalau lagi iseng, gue suka scroll nomor-nomor yang tertera. Menelisik satu per satu termasuk foto profilnya. Seketika gue terdiam. Pantas aja bisnis haram ini nggak terjamah dunia luar. Admin dan orang-orang penting yang memegang kendali adalah penduduk asli, barang yang dijajakan semua pendatang, tak sedikit yang 1 negara sama gue. Jujur, gue malu. Yang memakai mereka pun ada yang pendatang, ada juga yang penduduk asli.
Gue pernah dibikin jantungan waktu tiba-tiba nama gue disebut, 1 dari 5 nama. Entah, gue rasa itu nama-nama cewek yang jarang aktif. Atau yang bisa dibilang, terjebak kayak gue. Sampai mau buka grup aja takut, apalagi mau kirim-kirim foto telanjang. Nggak akan! Lebih baik gue menerima konsekuensi dari mereka, daripada gue melakukan hal itu.