Indonesia, Desember 2016
Suasana duka masih menyelimuti rumah masa kecil gue. Waktu gue pulang nenek udah dimakamin, tapi gue tetap bersikeukeuh pulang, meski semua keluarga gue menolak kepulangan gue yang mereka rasa sia-sia. Gue nggak peduli, yang gue mau bukan belas kasihan dari semua orang, gue cuma mau ketemu nenek, dan gue juga nggak tega membiarkan Vita sendirian.
Gue edarkan pandangan sayu gue ke seisi rumah. Dulu rumah ini masih beralas tanah, berdinding anyaman bambu yang bolong-bolong, kalau malam sering ada suara tikus yang keluar masuk. Apalagi kalau hujan, air merembes dari segala sisi.
Gue melongok ke atas. Dulu, waktu gue kecil nenek sering menghibur kami dengan bintang dan bulan yang terlihat dari atap kami yang bolong. Kata nenek, Vita itu seperti bulan, dia cerdas, maka dari itu cahayanya sangat terlihat jelas. Dan gue adalah bintang, meski kecil, dia senantiasa berpenjar dari kejauhan, jumlahnya banyak dan mengelilingi bulan juga alam semesta. Sementara nenek, dialah semestanya.
Sekarang, atap itu tertutup rapat. Semestanya tak dapat lagi aku tatap Air hujan nggak akan bisa menembus dinding tebalnya. Namun, sekarang yang jatuh ke lantai berkramik itu adalah air mata gue. Air yang lebih deras dari guyuran hujan.
Acara 7 harian nenek udah selesai dilaksanakan. Orangtua dan keluarganya pun kembali ke rumah masing-masing. Saat itu, gue cuma berdua sama Vita. Selama gue pulang, kami tidur di kamar nenek. Namun, malam itu gue nggak nemuin Vita tidur di samping gue.
Gue panggil Vita berkali-kali, tapi dia sama sekali nggak nyahut. Gue ngelirik jam, baru menunjukkan pukul 11 malam. Gue ingat tadi kami tidur bersama. Karena takut, gue pun keluar kamar buat mencari Vita.
Sambil terus memanggil namanya, gue cari dia di setiap sudut ruangan. Sesampainya gue di depan dapur, gue mendengar suara dari arah kamar mandi dekat tungku memasak. Gue pun memberanikan diri buat mendekati sumber suara. Lalu, gue buka pintu kamar mandi yang ternyata nggak dikunci itu.
“Astaga, Dek, lu ngapain?” tanya gue panik.
Vita cuma mendongak dengan wajah pucat. Gue lihat rambutnya berantakan, dia berjongkok di depan closet.
“Lu sakit?” gue mendekati Vita dan menyentuh keningnya. Dia menggeleng lemah.
“Terus, lu kenapa?” tanya gue lagi. Vita hanya terdiam menunduk. Sisa muntahan yang ada di kloset segera gue siram dengan gayung. Kemudian, gue bantu dia berdiri dan memapahnya menuju kamar.
Vita cuma terdiam saat gue mengolesi keningnya dengan minyak kayu putih. Tapi, saat gue hendak meraba perutnya, refleks Vita menepis tangan gue dengan kasar. Gue pun mendelik kaget. “Lu kenapa sih, Dek?”
“Harusnya Kakak nggak usah pulang.”
“Maksud lu? Lu nggak suka gue ada di sini? Gue itu kasian sama elu nanti sendirian di rumah. Lihat, ayah sama ibu aja nggak ada yang mau nginep di sini. Terus, nanti lu sama siapa?”
“Biarain aku sendiri, Kak!” teriak Vita. Tau-tau dia menangis sambil menguap-usap perutnya. Perilakunya makin buat gue curiga.
Akhirnya gue mengobrak-abrik meja rias adek gue. Seluruh lacinya gue buka dengan brutal. Vita sempat menahan gue. Tapi, kekuatan dia kalah sama berontakan gue. Sampai akhirnya, gue nemuin test pack di lacinya. Dua garis biru. Apa lagi ini? Hati gue yang udah terlalu hancur lelah untuk menerka-nerka.
“Ini apa?” tanya gue menyodorkan test pack itu kepada Vita.
Adek gue cuma terdiam menunduk. Tangannya saling menggenggam gemetaran. “Ini apa?” tanya gue lagi dengan nada tinggi. Tapi, Vita terus terdiam.
“Masih nggak mau ngaku?” seru gue marah. Hanya suara isak tangis Vita yang meninggi melebihi bentakan gue.
“Dek …,” panggil gue lirih. “Lu … hamil?”
Seketika Vita menatap gue dengan linangan air mata. “Kak, maafin aku ….”
“Siapa bapaknya?” suara gue mendadak ikutan serak.
Vita menggeleng. “Dia nggak mau tanggung jawab, Kak.”
“Oh … ini alasan elu mau kuliah jurusan hukum? Goblok! Percuma, kalo waktu kalian ngelakuin atas dasar sama-sama saling suka!”
Vita terdiam. Gue nggak nyangka, adek gue yang sering gue bangga-banggain karena kecerdasannya bisa seperti ini. Gue terduduk di kasur dengan lemas. Sekarang, gue harus gimana? Gue harus ngadu ke siapa lagi?