Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #18

Chapter #18 Pembalasan Dendam

Sekembalinya gue ke Hong Kong, lagi-lagi Mucikari Jisin itu meneror gue terus. Tapi, gue terus mengabaikan pesan darinya, sampai suatu ketika Mucikari Jisin itu meminta sesuatu ke gue. Simple sebenarnya, tapi itu mengganggu privasi gue banget.

“Nyalain last seen dan centang biru di akun WhatsApp kamu,” pintanya di telepon. Waktu itu gue lagi jalan ke minimarket sendirian, jadi gue bisa menerima panggilannya untuk memberikan 1001 alasan.

“Buat apa? Itu kan privasi,” jawab gue nggak terima dengan perintah nyelenehnya.

“Biar aku tau, kalau kamu nggak bohong.”

Aneh! Gue bener-bener muak. Sampai hal seperti itu pun diatur olehnya. Akhirnya gue pun mengiakan. Toh, sosial media pada zaman itu udah mulai berkembang. Gue cuma ceroboh, tapi gue nggak gaptek!

Gue sengaja minta libur sebulan sekali waktu itu. Selain mikirin biaya hidup gue sekaligus mikirin lahiran Vita nanti, gue juga harus bisa nabung. Gue nggak mau selamanya kerja di sini. Ngak peduli dengan gaji besar yang sampai belasan tahun orang-orang habiskan untuk kerja di sini. Karena pencapaian serta rasa syukur setiap manusia itu punya takaran yang nggak sama.

Tapi, nggak selamanya juga gue bisa menghindar dari Mucikari Jisin itu. Dia bakal makin gencer neror gue kalau dengan terang-terangan gue terus menghindarinya. Jadi, di Minggu itu pun gue terpaksa datang ke club.

Waktu itu gue datang memakai celana panjang yang menampilkan kaki jenjang gue, kaus berlengan pendek yang ngepas di badan. Saat itu, gue mendengar tawa ringan dari komplotannya Shera. Tapi, gue nggak peduli. Untungnya, David segera datang dan nawarin gue minum.

Hi, long time no see. Are you okay?” tanyanya ke gue.

“H-hi …,” jawab gue gugup, “I’m okay.” Setelah itu kami melanjutkan percakapan yang klise. Seperti bertanya kabar, dan apakah liburan gue ke Indonesia menyenangkan.

Ternyata, ngobrol dengan David jauh lebih menyenangkan. Dia yang mencairkan suasana hati gue. Karena dia juga, gue tertarik buat dengan bahasa Inggri. Tak berselang lama, Mucikari Jisin itu membubarkan percakapan kami.

“Lama sekali,” ujarnya. Gue cuma terdiam sambil minum wiski.

“Ada job, kamu mau?” tawarnya.

Gue langsung menatapnya dengan tajam. “Mr,” panggil gue lirih, “gue kan nggak mau tidur sama mereka. Apa nggak sebaiknya lu ngeluarin gue aja? Gue bakal balikin duit yang lu kasih ke gue kemarin,” jelas gue kepadanya. Lagi pula, duit itu nggak berguna juga. Gue nyesel, dan gue akuin gue emang ceroboh hanya karena duit $3000 HKD.

Mucikari Jisin itu malah tertawa. “Aku bayar kamu itu bukan sebagai duit jaminan. Kalo kamu nggak mau melayani mereka di ranjang, it’s okay, no problem. Masih ada yang mau makek jasa kamu hanya sekadar menemani minum.”

Gue mengernyit. Emang ada seperti itu?

“Nah itu.” Mr Lim menunjuk seseorang yang baru aja datang. Gue ikutan menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka.

Mark? Dia tersenyum ke arah gue. Pria bule itu langsung mengarah ke meja tempat gue duduk. Dia sapa Mucikari Jisin itu, lalu menatap ke arah gue. Pertanyaan pertamanya sama seperti yang ditanyakan oleh David barusan. Sementara kami sedang mengobrol, tau-tau Shera mendekat. Berbicara dengan sangat centil dan terdengar picik. Gue remas gelas wiski gue. Melihat wajahnya, rasanya gue pengin lempar gelas itu ke kepalanya.

Gue merasa dideskriminasi hanya karena nggak ngerti percakapan mereka yang menggunakan bahasa Inggris. Tapi, tak berselang lama Mucikari Jisin itu berpamit pergi. Sebelum pergi, dia berpesan kepada Shera dengan bahasa kantonis yang menyuruhnya untuk jagain gue. Seketika gue melengos. Buat apa gue dijagain? Emangnya gue rawan merusak tanaman tetangga? Menyebalkan!

Seperginya Mucikari Jisin itu, Shera kembali ke tempat duduknya. Gue dengar dia tertawa cekikikan dengan mantan teman-teman gue. Ratri, Rahma, Tini, dan Yulia. Sudut mata gue melirik mereka dengan tatapan penuh dendam.

Kenapa mereka masih hidup tanpa rasa bersalah? Bahkan, pas tahu nenek gue meninggal, tak ada satu pun dari mereka yang mengucapkan bela sungkawanya ke gue. Keterlaluan!

“Baby,” panggil Mark.

Gue tatap Mark dengan lekat. Kenapa dia bisa begitu menyukai gue? Padahal, gue nggak mau diajak tidur. Tapi, dia rela ngasih duit pesangon ke gue. Tawa mantan teman-teman toxic gue yang masih menggema memuncakkan pikiran kotor gue buat balas dendam.

Dalam sekejap gue tersenyum ramah ke Mark. Gue pun langsung memanggil David untuk menyiapkan minuman. Gue nggak peduli dengan maksud dan tujuan Mark, yang pasti, dia akan menjadi sangat bermanfaat buat membalaskan dendam gue ke mereka yang udah ngejebak gue.

Hari-hari selanjutnya, gue semakin intens buat datang ke club. Sejak saat itu, gue menjadi bermuka dua. Gue harus menjaga image gue yang ramah tamah dan juga centil di depan pelanggan. Tapi, waktu gue izin ke kamar mandi, gue muntah karena harus menahan amarah dan rasa jijik gue saat tangan-tangan jail itu menggerayangi tubuh gue.

Pernah suatu ketika, ada lelaki paruh baya chinese ikut mem-booking gue. “Aku penasaran sama tubuh molek kamu. Ayolah, tidur ya sama aku. Nemenin minum doang nggak seru.”

Mulut gue terkunci. Gue nggak tau harus jawab gimana. Apalagi, waktu itu dia udah mabuk berat.

“Ayolah, sekali saja.” Dia tetap memaksa sampai menarik tangan gue. Saat itu gue cuma bisa menahan tanpa bisa menolak dengan kata-kata. Tapi, untungnya ada David yang nolongin gue. Tiba-tiba dia memesankan taksi buat lelaki yang mungkin udah mempunyai cucu itu. Meski sempat berontak dan adu debat, akhirnya taksi itu berhasil membawa lelaki tua itu pergi.

Lihat selengkapnya