Seminggu setelah acara gila di atas boat itu gue nggak datang ke club. Mucikari Jisin itu juga nggak gencar nyariin gue kayak biasanya. Mungkin, dia tau kalau di malam itu gue mabuk berat. Jalan aja sempoyongan. Gue cuma inget seseorang menyampirkan kimono ke bahu gue, yang gue yakini itu adalah Kartika. Yang jelas, waktu gue udah bener-bener sadar dan bisa jalan sendiri, di sana cuma ada David.
Dia nawarin gue buat nganterin pulang. Tapi gue tolak. Waktu itu udah hampir jam 12 malam. MTR udah tutup, akses bus juga udah nggak ada. Akhirnya, David memesankan taksi buat gue. Dia sampai minta nomor supir taksinya untuk memastikan gue pulang dengan selamat.
***
Di masa-masa hiatus gue bertepatan dengan datangnya virus Covid-19 yang tiba-tiba merebak. Gue lihat berita dI TV virusnya berasal dari Wuhan China. Lumayan dekat dengan Hong Kong. Di sisi lain gue bersyukur dengan adanya virus itu, karena gue nggak perlu kerepotan buat mencari alasan ke Mucikari Jisin.
Tapi, ternyata di awal virus itu datang, keadaan masih normal. Hanya perlu memakai masker saat keluar aja udah cukup. Lagi-lagi Mucikari Jisin itu gencar neror gue seperti biasanya.
“Sudah terlalu lama kamu istirahat. Cepat datang lagi. Mark mencarimu.”
Gue mendengus kesal.
“Cepatlah ke sini. Aku tunggu.”
Tapi, Minggu itu gue beneran nggak datang. Gue cuma pengin mencoba kalau gue nggak menuruti perintahnya, kira-kira apa yang akan terjadi. Dan ternyata, waktu gue melongok dari jendela buat memeriksa ke lantai bawah apartemen, gue hafal betul kalau orang yang sedang mengobrol dengan satpam itu adalah orang suruhannya Mucikari Jisin. Bangsat!
Di saat itu juga gue langsung lari ke kamar buat menelepon Mucikari Jisin itu untuk mengatakan kalau gue lembur. Sambil melongok dari jendela lagi, gue berjanji Minggu besok nggak akan lembur biar bisa datang ke club. Akhirnya, Mucikari Jisin menyetujui.
Lambat laun, orang yang gue lihat lagi ngobrol dengan satpam itu melambaikan tangan. Gue yakini dia lagi berpamit pergi. Tapi, yang bikin gue jantungan ketika lelaki itu juga ikut melambai ke lantai 7, di mana gue tinggal di rumah majikan gue saat itu. Seketika gue langsung menjauhkan wajah gue dari jendela dengan jantung yang berdebar. Hidup gue benar-benar nggak tenang.
Akhirnya, Sabtu itu Mucikari Jisin udah hubungin gue lagi. Dia menagih janji yang kemarin gue ucap dengan asal itu. Dia bilang gue harus utamain Mark. Bahkan, Mucikari Jisin itu bilang semua yang kencan sama gue nggak ada paksaan, jadi semua terserah gue mau acc mereka atau enggak. Yang penting, dia mau gue datang ke club. Sumpah, rasanya gue pengin remas mulutnya. Apakah dia nggak sadar kalau apa yang dia suruh ke gue ini adalah termasuk pememaksaan?
Saat itu, Shera juga ikut mengirim pesan menohok ke gue. Dia mengancam gue biar nggak datang ke club karena pelanggannya semakin menipis. Kenapa gue yang disalahin? Bukannya di pesta boat kemarin dia mengejek gue habis-habisan? Bahkan, yang nyuruh gue buat datang ke club dulunya juga mereka. Tapi, di satu sisi gue merasa senang.
Di sisi lain juga gue bersyukur atas acara pesta boat kemarin itu, karena pesta itulah jiwa semangat gue kembali membara. Terkadang, gua perlu ditampar dengan kata-kata hina dulu baru gue mau melawan. Gue pikir udah cukup gue semedi memantapkan strategi, maka inilah saatnya gue beraksi lagi.