Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #22

Chapter #22 Pengakuan

Hal yang menurut gue paling memalukan di dunia ini adalah, ketika gue merasa menjadi manusia paling mengerti, tapi nyatanya gue hanyalah sekecil jarum dalam tumpukan tombak. Semua orang bisa menutupi kasedihannya, bahkan termasuk diri gue sendiri. Tapi, nggak semua orang bisa menyembunyikan rasa lelahnya.

Selesai makan, gue membelikan Yarista es krim. Terdengar seperti merayu anak kecil, tapi hawa saat itu sangatlah cocok. Dia ngajakin gue buat duduk di taman yang berhadapan dengan laut.

Dalam diam, kami seolah sibuk menghabiskan es krim yang ada di tangan. Tapi, gue tau, Yarista lagi banyak pikiran. Sampai akhirnya, bener aja, dia menanyakan kabar David ke gue.

Gue pura-pura nggak tau kalau Yarista dan David saling save nomor pribadi, dan kenyataan bahwa mereka sering kontakan. Gue berusaha menutupi perasaan sakit hati gue dengan menyarankan dia nggak usah mencari David lagi. Hal itu memuncakkan gelisahan bagi Yarista. Dia malah menghujani gue dengan banyak pertanyaan.

Jujur, gue salah mengartikan Yarista. Dia kuat iman, dia cuma lemah dalam perihal kasih sayang. Sama kayak gue, ternyata hidup kami sarat akan rasa bahagia. Gue hampir mau cek-cok karena Yarista merebut rokok gue. Dia marah dan menyuruh gue buat nggak merokok.

Gue yang sempat kesal meredam emosi gue sejenak. Tanpa rokok gue bisa aja langsung menjelaskan ke dia, tapi bahasa dan kondisinya pasti beda. Akhirnya, gue pun nggak ada pilihan lain selain menceritakan yang sebenarnya. Setelah mendengar penjelasan gue, tentu Yarista syok dan nggak percaya gitu aja. Baru kali ini Yarista menuntut banyak dari gue.

“Kenapa … kamu ndak ngasih tau aku sejak awal, Nda?” tanyanya dengan suara serak. Gue udah melihat matanya berkaca-kaca.

“Ya gue pikir lu nggak bakal make hati buat si David,” jawab gue dengan segala alasan. Gue tau gue salah. Gue yang udah bawa dia, gue yang udah buat dia jadi seperti ini.

Di situ, akhirnya gue ngaku ke dia tentang masa lalu gue. Mengangkat kembali kisah itu sama aja membuka luka lama. Memang benar, gue udah lelah dengan apa yang gue jalanin sekarang. Sampai akhirnya, benar aja, keadaan berbalik. Gue yang nggak bisa menyembunyikan wajah kalut, membuat Yarista bertanya ke gue, “Nda, ada yang ingin kamu ceritakan?”

Ini dia. Inilah alasan gue kenapa bisa bertahan sahabatan sama Yarista meski kami sama-sama banyak menyimpan luka dan rahasia. Dia nggak pernah ninggalin gue. Di saat itu, gue nangis. Gue gagal menyembunyikan rasa lelah gue di hadapan Yarista.

Lama gue nggak ngomong apa-apa karena tangis yang nggak bisa gue tahan. Gue sampai bingung mau mulai menjelaskan dari mana. Saat itu, Yarista memeluk gue. Gue menyembunyikan wajah gue yang asli dalam dekapannya.

Maka, saat itulah gue menceritakan semua permasalahan hidup gue ke dia. Tentang nenek, tentang Vita, tentang Wira, tentang Indra, bahkan tentang Mucikari Jisin, Shera dan teman-temannya.

“Nda … jadi kamu ….” Yarista membungkam mulutnya rapat-rapat.

“Iya, Ris, gue ini pelacur,” jawab gue sumbang. “Bukannya elu udah tau?”

Dia menggeleng sembari menyeka air matanya yang sedari tadi nggak berhenti mengalir. “Ndak, Nda. Aku taunya kamu ke situ nemuin temen-temen kamu. Aku lihat kamu sangat akrab sama mereka. Cuma … cuma aku mikirnya, mungkin ada di antara mereka adalah pacar kamu. Tapi, aku ndak sengaja ngelihat kamu … dipegang-pegang sama beda-beda orang tiap hari. Maaf, Nda, aku ndak sengaja ngelihat.”

Itulah keistimewaan Yarista yang perlu gue syukuri bisa kenal gadis seperti dia. Bahkan, mungkin jika itu gue yang berada dalam keadaan seperti itu nggak mungkin bisa berpikir positif. Gue jadi merasa bersalah karena telah mengotori pikiran sucinya. Gue dengan jahatnya mengajak dia ke club hanya karena gue pengin mengetes keimanan dia, yang bahkan gue nggak ada hak buat mengukur urusan agama orang lain. Gue lupa gue ini siapa. Gue pelacur!

Gue merasa menjadi manusia paling egois. Gue memanfaatkannya karena gue nggak mau kesepian. Sementara Yarista sendiri, hidupnya penuh kehampaan.

“Ris … gue minta maaf. Maafin gue, Ris,” mohon ampun gue ke Yarista. Gue lihat Yarista cuma diam tertunduk. “Gue mohon lu jangan cari David lagi, ya.”

Seketika Yarista mendongak menatap gue. Sorot matanya menggambarkan kesedihan sekaligus kekecewaan. Entah kecewa kepada David, entah kecewa ke gue. Sumber permasalahan ini ada pada gue.

“Ris … gue pernah punya pacar yang dia seorang pecandu. Sama persis seperti David, dia … bekerja di bar tender di kota tempat gue kerja dulu.”

Yarista mulai menatap gue penuh harap. Dia menanti cerita gue lebih lanjut, yang mungkin bisa mengalihkan pikiran kalutnya saat ini.

***

Indonesia 2012

 

Setelah gue kabur dari hadapan Riko dan teman-temannya di dermaga saat itu, gue bersembunyi di sebuah warnet. Gue tidur di sana bersama anak-anak yang lagi main game. Gue nggak merasa terusik saat mereka gaduh berkutat dengan game di komputer masing-masing. Seenggaknya, tangis gue tersamarkan dengan kebrisikan mereka. Setelah sehari gue tidur di sana, gue langsung memesan tiket kapal di hari itu juga.

Sepulangnya ke rumah, gue langsung menjadi pendiam. Nenek dan Vita nggak berani tanya ke gue. Mungkin, mereka taunya gue capek kerja. Beberapa hari gue mendekam di kamar, tiba-tiba gue mendengar suara ribut-ribut di luar rumah.

“Dia itu pelakor!”

“Masih kecil udah pinter ngerebut suami orang!”

Lihat selengkapnya