Kita nggak akan pernah merasa puas atas hidup yang kita jalani tanpa adanya rasa syukur. Suara tangis gue mengalahkan kesunyian malam itu. Tau-tau, keadaan sudah sepi. Tenda-tenda yang tadinya berjejer juga sudah menghilang bagai ditelan bumi. Bule-bule tentu sudah pulang ke rumah masing-masing untuk mandi setelah berjemur di bawah teriknya matahari.
Senja telah berganti malam. Gue nggak pernah merasa menyesal menghabiskan waktu gue bersama Yarista. Bercerita dengannya lebih dari sekadar berbagi kisah, tapi gue mendapat banyak pelajaran hidup dari ceritanya.
“Lu … pasti kangen ibuk lu, ya?” tanya gue memecah kesunyian. Yarista sudah selesai bercerita beberapa menit yang lalu, tapi gue masih mempersiapkan diri untuk menanggapi kisah pilunya.
Gadis itu hanya menjawab dengan senyuman sumbang. Goblok! Buat apa gue mempertanyakan atas pertanyaan yang jelas-jelas gue sendiri tau apa jawabannya. Bukannya gue lebih beruntung? Gue masih bisa pulang ke rumah meski sama-sama nggak akan pernah bisa bertemu dengan orang terkasih lagi.
Bahkan, membayangkan di awal kisah keluarganya pun, sejujurnya gue nggak sanggup mendengarkan lebih lanjut. Wanita tulus mana yang mau merawat anak hasil dari perselingkuhan suaminya? Ibunya Yarista sungguh hebat luar biasa. Dia pasti nggak akan menyesal telah memiliki putri sekuat Yarista.
Ditambah saat kedatangan pertamanya ke Hong Kong mendapatkan majikan yang jahat. Membayangkannya saja gue ikutan kesal. Belum lagi mendengar Yarista yang menceritakan tentang mantannya yang bernama Putra itu. Gue makin jengkel. Gue pikir, Putra itu memang sudah memiliki wanita lain yang bisa dijadikan opsi pilihan saat dia nggak jadi sama Yarista.
Lalu, kehadiran David seolah menjadi pengganti yang bisa mengisi kekosongan hatinya. Tapi, gue melihat bahwa dia sebenarnya masih sangat-sangat mengharapkan lelaki tersebut. Gue seolah ikut merasakan betapa bimbangnya dia saat itu.
Apalagi saat Yarista pergi ke Makau dan bertemu dengan Tony di sana. Gue cuma bisa menggelengkan kepala. Nggak bisa gue bayangin betapa penuh sesaknya building terkutuk yang dikuasai para penghuni sok berkuasa itu. Andai gue ada di sana, habis mereka semua sama gue.
Parahnya lagi, setelah Yarista kembali ke Hong Kong dan bukti atas doa-doa ibu Yarista terkabulkan, dia harus merelakan kepergian ibunya. Oh, God! Takdir apa yang akan engkau persiapkan untuk sahabat gue yang malang itu?
Rasa sedihnya akan kehilangan engkau buat bertubi-tubi. Dia nggak hanya kehilangan sang ibu, tapi dia juga kehilangan dunianya. Peran ayah dan peran kakak engkau lupakan saat menciptakannya. Kalau itu gue, mana bisa gue hidup sampai sekarang? Masih terlihat waras saja sudah syukur.
“Aku udah beli sawah, tabunganku juga udah cukup,” ujar Yarista kemudian. “Tapi, itu semua percuma, Nda. Aku pergi buat ibuk, tapi … ibuk pergi duluan ninggalin aku.”
Kesedihannya seolah tertransfer lagi ke hati gue. Membuat air mata gue mendadak mengalir lagi.
“Selama ini … aku cuma menganggap aku lagi LDR-an sama Ibuk, Nda.” Dia mendongak menatap gemintang yang tersebar luas di angkasa hitam. Bola matanya ikut berpendar akibat sorotan bulan yang mengenai mata basahnya. “Di sana ndak ada HP, Nda. Makanya aku ndak bisa hubungi Ibuk.”
Gue makin miris mendengar ucapannya. “Ris, lu harus ikhlas ….”
“Aku ikhlas kok, Nda. Tapi, kadang aku masih ngerasain Ibuk itu masih ada.”
Gue terdiam. Gue mengiakan, karena gue sendiri tau gimana beratnya kehilangan. Bahkan, gue sendiri terkadang masih merasakan kehadiran nenek di kehidupan gue.
“Terus Nda, apa kamu masih dihubungi sama Mr. Lim?” tanya Yarista tiba-tiba. Apakah ini giliran dia yang mencecar gue?
Gue menarik napas panjang terlebih dahulu. Nggak peduli dengan gelapnya malam tinggal kami berdua yang duduk di lapangan rumput itu. Yang terlihat hanyalah para pejalan kaki di jalan samping lapangan, menikmati indahnya kota Admiralty pada malam itu.
“Gue nggak tau, Ris. Yang pasti, dia masih ada di Cina. Atau, boleh nggak sih gue berharap dia mati aja di sana. Tapi, biasanya, orang jahat memang bakal mati belakangan, sih,” ujar gue asal.
“Huss …,” tegur Yarista menatap gue tajam.
Gue langsung nyengir gigi kuda. “Di sisi lain, gue juga bersyukur dengan adanya wabah Covid ini.” Gue tatap Yarista yang juga tengah menatap gue. “Lu … masih mau temenan sama gue?”
Gue perhatikan mimik wajah Yarista. Dia seolah memikirkan sesuatu, tapi gue nggak bisa menembus pikiran dan perasaanya. Gadis itu terus terdiam. Entah apa yang menjadi keputusannya, gue hargai pilihannya. Gue pasrah memalingkan wajah.
“Maulah, Nda.” Mendengar jawabannya, spontan gue menatapnya lurus dan tajam.
“Kata orang, lingkungan juga bisa berpengaruh bagi perilaku seseorang. Tapi, aku ndak akan ikut-ikutan. Aku juga ndak akan hakimi kamu. Itu hidup kamu, Nda. Tapi, aku cuma mau memperingatkan kalo jangan sampai kebablasan, ya, Nda,” lanjutnya.
Gue tersenyum di sela-sela mata gue yang kembali berair. Gue peluk Yarista erat-erat. Dia balas melingkarkan tangannya ke bahu gue meski sempat terdiam mematung sesaat. Gue nggak peduli para pejalan kaki itu menatap kami dengan curiga.
“Thanks, Ris,” ucap gue kepadanya sembari melepaskan pelukan.
Dia hanya tersenyum. Tapi, senyumannya lekas memudar. “Oh iya, jadi … alasan kamu over protective ke aku, dan alasan kamu nglarang aku ketemu sama David itu karena ini?” tanyanya lagi.
Gue nggak langsung menjawab. Mendadak senyuman gue menjadi hambar. Nggak munafik, alasan utamanya karena gue cemburu dia bisa sedekat itu sama David. Di sisi lain, gue menemukan sosok Bregas di dalam jiwa David. Semua perasaan itu gue kemas seolah-olah gue teramat peduli sama Yarista.
”Nda, maafin aku, kalo aku banyak ngrepotin kamu.”
Gue buru-buru menggeleng. “Gue yang harusnya minta maaf, gue nggak jujur sama lu. Elu masih mau temanan sama gue aja, gue udah bersyukur banget.”
”Makasih Nda, kalo itu alasan kamu ngejauhin aku dari David … aku ndak apa-apa.” Ada sakit yang terdengar tanpa terungkap dalam ucapan Yarista.
Gue terdiam. Cukup lama ternyata kami berbagi kisah kelam. Hingga tau-tau seoarang satpam menghampiri kami. Benar saja, kami diusir perkara dikira lagi pacaran.
Gue sama Yarista pergi sambil tertawa cekikikan. Gue rasa, dia sudah berdamai dengan keadaan.
“Kalo suatu saat … Mr. Lim nyariin kamu lagi gimana, Nda?” Yarista kembali bertanya saat kami melangkah menuju MTR terdekat.
Gue berdehem ikut memikirkan hal itu. Sebenarnya, kedatangan Mr. Lim menjadi momok menakutkan bagi gue. “Mau nggak mau … gue harus nurutin perintah dia lagi.”
Gue dengar Yarista menarik napas berat. “Gimana caranya bisa lepas dari itu semua, Nda.”
Kontan gue toyor kepala Yarista. “Kalo gue tau ya nggak mungkin juga gue bertahan menjadi wanita penghibur sampek sekarang,” kata gue agak kesal. Untungnya Yarista tipe teman yang nggak gampang baper. Paling, dia hanya akan manyun sesaat. Dan wajahnya yang kesal terselamatkan karena terutup masker.
Sampainya kami di dalam gedung MTR, tentu kami berpisah karena beda jalur kereta. Kami saling melambai. Tapi, sebelum dia pergi gue tahan dia sekali lagi.
Dia menatap gue meminta penjelasan melalui sorot matanya. “Gue … cuma mau bilang … lu hebat, Ris. Kalo lu ngerasa sendiri, lu bisa hubungi gue kapan pun lu mau.”
Dia tersenyum, lalu mengangguk. “Aku udah sering mendengar orang mengatakan itu ke aku. Tapi, aku hargain kebaikan kamu, Nda.”
“Jangan ngerasa sendiri, Ris. Mungkin, rezekimu di kelilingi orang-orang baik yang akan menjadikan elu sebagai keluarga.”
Dia malah terdiam. Mimik wajahnya seketika berubah. Apakah gue salah ngomong? Mengucapkan kata ‘keluarga’ sepertinya membuatnya sangat sensitif. Rasanya sulit banget buat menembus ke hati terdalamnya.
“Gue memang bukan orang baik,” lanjut gue, “tapi … gue merasa … luka lu lebih dalam dari gue, Ris. Cerita lu bukannya nggak menarik, tapi … lu mengemas kesakitan lu dengan kewarasan yang belum tentu orang bisa jalanin saat ada di posisi elu.”