Gue nggak tau kenapa ego gue besar banget itu. Andai waktu bisa diputar dan gue bisa memperbaiki segala kesalahan, mungkin gue nggak akan mengenal rasa penyesalan. Pikiran gue kalut sampai gue terhanyut dalam emosi diri.
Seminggu setelah kejadian di Sunset Peak itu, gue nggak tau gimana caranya Yarista bisa pulang. Gue terlalu meremehkan gadis lugu itu. Bukannya gue berniat menyesatkan dia, tapi gue berharap dia balik ke gue buat tanya jalan. Minimal, dengan begitu gue pun bisa meminta maaf ke dia. Gue terlalu naif dan egois. Bahkan, hanya sekadar bertanya keadaannya lewat pesan singkat saja, gue terlalu gengsi.
Minggu itu, gue terpaksa ke club sendirian. Setiap jalan yang gue lewatin, mata gue menatap was-was ke sekeliling. Berharap, gue ketemu Yarista di jalan. Tapi, sampainya di club, gue cuma mendapat sapaan dari manusia bangsat yang gue harapkan melesat ke inti bumi.
Nggak hanya Mucikari Jisin, gue juga melihat Yulia di sana. Seenggaknya, masih ada 1 wajah lama yang gue kenali. Saat itu, gue bilang ke Mucikari Jisin, kalau badan gue nggak enak. Dia mengabaikan gue dan malah mengatakan bahwa, buktinya gue bisa sampai ke club dengan selamat. Padahal, saat itu gue beneran lagi demam.
Beberapa menit kemudian, Mucikari Jisin pamit ke kamar mandi. Gue pun menanggapinya dengan wajah sewot. Buat apa pamit segala, nggak penting! Sembari menunggu Mark yang saat itu janjian sama gue, kepala gue berputar memperhatikan keadaan sekitar. Tapi, gue nggak mendapati David ada di sana. Hingga tau-tau gue didekati oleh Yulia.
“Gimana kabar lu?” tanyanya duduk di depan gue.
Sesaat gue terdiam dengan bola mata berputar. “Baik,” jawab gue singkat sembari meraih wine yang disajikan oleh pelayan.
“Sorry,” kata Yulia lirih. Bahkan, hampir-hampir gue nggak mendengar.
“Apa?” tanya gue untuk memastikan.
“Sorry,” ulang Yulia, dia menatap gue lurus. Gue terdiam menanti ungkapan selanjutnya. “Gue kemarin keterlaluan sama elu,” lanjutnya. Gue nggak menanggapi dan memilih menyesap wine.
“Gue kangen,” ungkap Yulia lagi sampai buat gue kembali fokus menatapnya. “Gue kangen rumah. Kayaknya, gue bakal balik dan nggak akan ke sini lagi.”
Sontak gue mendekati wajahnya. “Terus, abis itu lu beneran bisa bebas nggak?” bisik gue.
Yulia terdiam. Gue menjadi ragu. Tiba-tiba Yulia menggeleng lemah. Gue pun ikut menghela napas pasrah.
“Seenggaknya, kalo gue nggak balik ke sini lagi mungkin dia nggak akan berani cari-cari lagi,” lanjutnya kemudian, “kalo kita balik lagi ke sini meski ganti majikan, gue jamin dia bakal bisa nemuin kita lagi.”
Gue mengangguk setuju. “Terus, lu kapan balik?”
Yulia mengedarkan pandangan sebelum menjawab, “Empat bulan lagi,” bisiknya.
“Mr. Lim tau?”
Dia buru-buru menggeleng. “Gue kasian sama suami dan anak-anak gue.”
“Lu punya suami?” seru gue kaget.
Yulia nggak kalah kaget sama teriakan gue. Spontan kami menatap was-was ke sekliling, Mr. Lim belum keluar dari kamar mandi. Meski orang lain yang ada di dalam club menatap heran ke arah kami, gue sama Yulia tetap melanjutkan perbincangan.
Gue sikut lengan Yulia. “Gila lu. Kalo suami lu tau gimana?” dia tertunduk. Melihat raut wajahnya, gue seperti menebak sesuatu telah terjadi.
“Dia udah tau, kok. Makanya sekarang gue mau balik buat ngurus surat-surat. Sekalian mau minta hak asuh anak. Gue sekarang pengin hidup damai dengan sisa tabungan yang gue punya bersama anak gue. Itu pun kalo hak asuh anak jatuh ke tangan gue. Selama ini … gue udah dibutakan sama duniawi.
“Gue bisa beli barang-barang mewah dari menjual diri. Gue bisa makan enak dari traktiran para laki-laki yang gue tiduri. Gue sering dibelikan ini itu sama mereka. Gue punya segalanya. Tapi, gue nggak pernah mikirin keluarga gue. Gue nggak pernah ngasih kabar ke orangtua gue, bahkan … gue malah menjauhkan diri dari suami gue.” Dia menggeleng penuh sesal. “Gue juga nggak bisa mengelak pas suami gue menyatakan talaknya ke gue.”
Gue menyangga kepala dengan tangan. Lihatlah, betapa kepelacuran telah membuat seseorang hancur lebur. “Semoga segera kelar deh urusan lu,” ucap gue menepuk bahu Yulia.
Wanita yang usianya kira-kira 30 tahunan akhir itu mengangguk. Sebelum dia beranjak pergi, gue kembali menarik lengannya. “Lu tau kabar Shera nggak?”
Yulia menggeleng lemah. “Coba lu tanya Mr. Lim.”
Gue berdecak kesal. “Kalo gue mau tanya ke dia, ngapain gue nanya ke elu.”
“Barang kali dia mau jawab kalo sama elu. Lu kan anak kesayangannya.”
Gue merasa risih dibilang seperti itu. Nggak ada rasa bangganya dalam hati gue. “Oh iya, Ratri … lu tau kenapa dia dikeluarin dari grup?”
“Lu nggak tau? Dia nikah sama orang sini.”
Gue terperanjat kaget.
“Dia dibeli sama salah satu pelanggannya. Cukup beruntung sih dia.”
Gue terdiam membisu. Di sisi lain gue iri.
“Ada lagi satu anak yang dikeluarin karena video syurnya kesebar. Ceroboh banget sih menurut gue. Namanya Kartika, lu kenal?”
Gue dengar pertanyaan Yulia, tapi gue masih syok akan berita Ratri. Kenapa gue nggak seberuntung dia? Padahal dia sudah jahatin gue.
“Nda, lu dengerin gue nggak?”
“Hah? Ahh, iya gue denger. Soal video syur itu ….” Gue menggeleng. Miris banget memang. Kita berusaha menutupi pekerjaan sampingan ini, tapi tau-tau malah tersebar melalui video yang nggak pantas.