Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #25

Chapter #25 Mencari Cara

~ Yarista~


Semua orang menpunyai topeng yang bisa menutupi wajah asli mereka. Semua orang pasti memiliki wajah buruk, yang dikemas dalam sebuah senyuman palsu. Termasuk aku. Bagiku, hal yang paling membuatku merasa jahat adalah ketika aku tidak bisa menerima dan mencintai seorang ayah.

Akhir-akhir itu, ibu tiriku–Bu Yanti selalu menghubungiku. Tentu awalnya aku sangat-sangat tidak nyaman dengan kehadirannya. Dia selalu perhatian kepadaku, seolah-olah ingin menyaingi ibuku. Akan tetapi, lambat laun, aku berpikir bahwa dia benar-benar orang baik. Bapak mendadak sering menghubungiku meski tidak intens. Baru belakangan kuketahui bahwa itu adalah perintah dari Bu Yanti.

Semua berjalan begitu saja. Semua kembali seperti membalikkan telapak tangan. Harus kuakui, semua karena Bu Yanti. Dia telah membuat Bapak sedikit berubah. Meski terkadang, aku masih merasa canggung, tetapi akhirnya aku bisa berkomunikasi dengan Bapak.

Namun, di sisi lain aku masih sering menangisi Ibu. Kenapa bukan Ibu yang berada di posisi Bu Yanti sekarang? Dalam hati kecil, aku masih tidak terima. Itulah topeng burukku yang kubalut dalam senyuman palsu. Akan tetapi, semua tak akan berjalan mudah tanpa campur tangan Tuhan dan 1 makhluknya yang selalu mengingatkanku pada sebuah keikhlasan, dialah Niranda. Perasaan ikhlas pasti didahului dengan rasa kecewa.

Apakah kalian berpikir hal pertama yang membuatku kecewa pada Niranda adalah fakta bahwa dia menjadi seorang pelacur? Tidak. Lama aku telah menduga pekerjaan kotor itu. Aku polos, tetapi aku tidak bodoh. Namun, meski aku tahu, aku diam dan tetap berpikir positif walaupun hasilnya tetaplah negatif.

Aku sering mengamatinya. Aku ingin tahu dia adalah orang yang seperti apa. Niranda yang kutahu dia adalah orang yang dingin, tetapi peduli. Namun, di saat dia bercerita tentang kehidupannya, aku salah. Dia sangat berbeda dari apa yang aku pikirkan selama ini.

Kehidupanku dan kehidupan Niranda tidak pantas untuk dibandingkan. Dia kuat dalam takarannya, dan aku hebat dalam versiku. Jika aku bertemu diriku yang dulu, maka aku pun akan mengatakan bahwa aku hebat. Bisa sampai di titik ini, sudah menandakan bahwa aku tidak meyerah pada takdir yang Tuhan gariskan dengan sedemikian kejamnya.

Aku belajar banyak dari kisah yang Niranda bagikan. Bahwa menjadi seperti sekarang, kita harus menjadi manusia yang ikhlas. Merelakan dan memaafkan kesalahan yang telah lalu. Menjalani kehidupan sekarang seperti bayi yang baru belajar berjalan. Meski berkelok-kelok, dan walau tertatih-tatih, yakinlah, kita akan sampai pada tujuan.

Namun, di hari itu, di pertengahan puncak Sunset Peak, itulah pertama kalinya aku merasakan kekecewaan terhadap Niranda. Aku tidak menyalahkan atas kebenaran ucapannya, tetapi dia begitu gamblang mengataiku sebagai anak kampung yang sok alay dan lebay. Hatiku sakit, aku tidak menolak kenyataan itu, tetapi aku kecewa atas ucapannya yang bagaikan tanpa penyaring.

Hari itu, aku pergi dengan rasa sakit hati. Tak bisa kupikirkan apa yang akan terjadi padaku saat itu. Aku bukan anak gunung, aku tidak pernah pergi jauh sampai ke alam liar. Di tengah perjalanan, aku menghentikan langkah. Kuedarkan pandangan ke segala penjuru. Di sisi kiri hanya ada jurang yang berujung pada lautan lepas, sementara di sisi kanan hanya ada pepohonan yang cukup rimbun.

Diikuti kicauan burung dan angin yang berembus mengenai dedaunan serta ilalang, aku hanya mendengar suara tangisanku sendiri. Saat itu, aku hampir ingin kembali pada Niranda. Sayangnya gengsiku telah memuncak melebihi puncak Suset Peak di atas sana. Berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku salah?

Aku hanya ingin bertemu David. Meski aku menyukai lelaki dari Vietnam itu, tetapi aku hanya ingin menyatakan salam perpisahanku kepadanya. Sebelum aku menjelaskan kepada Niranda, responnya sungguh menusuk hati.

 Pada akhirnya, aku tetap melangkah menuruni bebatuan. Lama aku melangkah dengan hati gelabah, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki. Tidak salah lagi, segera kuhapus air mataku dan mempercepat laju kakiku. Ketika melihat segerombolan orang Hong Kong yang saat itu juga tengah hiking, senyumku mengembang. Lekas aku bertanya pada mereka bagaimana caranya kembali.

“Turun saja mengikuti jalan ini sampai menemukan jalan raya,” kata laki-laki yang kuperkirakan berusia 40 tanhunan itu. “Nanti, kamu pilih arah yang sebaliknya dari arah tadi kamu berangkat. Jalan saja sampai kamu menemukan terminal bus.”

“Terkadang ada taksi lewat. Kamu bisa naik taksi sampai ke MTR Thung Chung,” sambung salah satu dari rombongannya.

“Kamu bisa memberi tau kepada sopir arah ke mana kamu akan turun. Kalau salah bus, kamu akan diberi tau,” tambah yang lainnya. “Apakah kamu terpisah dari rombonganmu? Apakah kamu sakit?” tanyanya.

Aku lekas menggeleng. Mungkin karena dia melihatku dengan wajah sembab. Setelah mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan, aku hendak melanjutkan perjalananku. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, hingga membuatku kembali menoleh.

“Maaf!” seruku membuat para rombongan itu kambali berhenti dan menatapku. “Nanti, kalau kalian sudah sampai di puncak dan bertemu dengan sahabatku … dia … bertubuh tinggi, rambutnya pendek memakai celana legging hitam, ransel hitam, topi POLO hitam bergambar kuda merah, dan jaket parasut berwarna oranye. Tolong katakan padanya kalau aku sudah pulang dengan selamat.”

Mereka hanya terdiam menatapku. Aku lekas membungkuk, lalu mempercepat langkah kakiku. Tangisku tak lagi terurai. Yang kupikirkan saat itu, aku harus bisa pulang dengan selamat sebelum matahari terbenam.

***

Hong Kong, September 2022

Minggu itu aku benar-benar nekat pergi ke club sendirian. Aku berjalan sambil bertanya-tanya, apakah yang kulakukan sudah benar? Andai Niranda tahu, aku menemui David karena aku tahu, Niranda juga menyukainya. Mereka sudah saling mengenal sebelum aku berada di tengah-tengah mereka.

Aku tidak ingin menyakiti hati Niranda. Meski pada akhirnya, Niranda yang menyakiti hatiku karena perkataannya. Lagi pula, lambat laun, baru kusadari bahwa perasaanku kepada David hanyalah pelampiasan semata. Kuakui, tak semudah itu aku bisa melupakan Mas Putra dengan sebegitu cepat.

Di tengah-tengah perjalananku yang beriringan dengan gejolak batin, aku mendadak was-was. Entah mengapa aku merasa ada seseorang yang mengikutiku. Apakah itu Niranda? Namun, saat kuedarkan pandangan, aku tak menemukan batang hidungnya.

Sampainya di persimpangan, aku makin ragu. Kurasa apakah hubunganku dengan David se-sepesial itu sampai aku harus mengucapkan salam perpisahan kepadanya? Meski dia yang mengajakku bertemu lebih dulu, entah mengapa aku mendadak tak yakin. Dia tidak mungkin menyukaiku, ‘kan? Kenapa keadaan menjadi sebaliknya?

Lagi bimbang dengan perasaan dan pikiranku, aku mendengar suara seseorang bersiul. Saat itu juga aku melihat 2 pria yang sedang merokok di pojokan persimpangan gang tengah menatap ke arahku. Karena cuek, aku tetap melanjutkan langkahku. Hingga tahu-tahu 2 pria itu tiba-tiba menghadangku. Mereka terus mengajakku bicara meski wajahku sudah terlihat sangat terusik. Aku tidak bisa menebak mereka orang mana, tetapi dari cara bicaranya aku menduga mereka adalah pria dari India.

Excuse me,” kataku berusaha menghindar. Namun, mereka tetap menghalangi jalanku sembari mengatakan kata-kata yang tak kumengerti semuanya. Karena takut, kira-kira yang bisa kuartikan adalah mereka meminta nomor ponselku, bahkan mengajakku untuk minum dan jalan-jalan serta berbelanja.

Sorry, don’t do this … please …,” mohonku kepada mereka agar mau melepaskanku.

Give me your number phone please.” Pria berberewok itu terus memaksa.

No!” aku mengelak.

“Where are you from?”

“Are you single?”

“You just alone.”

Mereka makin banyak berbicara menggunakan bahasa Inggris. Tentu aku tidak mengerti. Aku berontak, kakiku melangkah tak tantu arah untuk menghindari mereka. Namun, tetap saja aku terbelengu oleh kepungan mereka. Di sela-sela kepanikanku, aku mendengar suara langkah kaki dari belakang.

“HEY!”

Aku terdiam, mereka ikut berhenti menyerangku. Suara perempuan. Siapa? Akan tetapi, itu bukan suara Niranda. Saat aku menoleh, kulihat Kak Tony berjalan lurus ke arahku dengan kaki mengentak.

Let her go, please!” serunya lagi. Kedua pria itu tetap mematung. Aku menggunakan kesempatan itu untuk berlari mendekati Kak Tony.

“Kak …,” panggilku lirih. Dia langsung menarikku dan mengarahkanku untuk bersembunyi di belakang badannya. Aku menurut dan hanya melongo.

Jangan kalian bayangkan ini adalah adegan bak di drama romantis. Mungkin akan beda cerita kalau yang melakukan itu adalah David atau pria mana pun. Akan tetapi, dia adalah Kak Tony, dan penampilannya telah berbeda 360 derajat. Aku memperhatikannya yang tengah mengomeli 2 pria India itu. Kuartikan, 2 pria itu membela diri dengan mengatakan bahwa dia kasihan melihatku berjalan seorang diri.

Ingin rasanya aku memukul kepala mereka, atau minimal menjambak brewok mereka hingga rontok. Tapi kuurungkan niatku. Jangankan merangkai kata-kata dengan bahasa Inggris untuk memarahi mereka, sedari tadi pun aku tidak bisa berkutik. Hingga akhirnya, mereka pergi juga. Menyisakan aku, dan Kak Tony yang kini rambutnya sudah memanjang sebahu.

“Makasih, Kak,” ucapku lirih tanpa menatapnya.

“Kamu nggak apa-apa, ‘kan, Dek?” dia meraih tanganku, yang saat itu juga langsung kutepis.

“Maaf,” ujarnya ikut melirih.

“Ndak apa-apa,” jawabku yang saat itu hendak pergi meninggalkannya.

“Yarista, tunggu.”

Aku menoleh menatapnya tanpa bertanya. Dia menghampiriku sembari menyodorkan power bank. Aku hanya terdiam menatapnya. Hingga akhirnya dia yang menaruh benda yang memiliki cerita bak di drama Korea itu ke tanganku.

“Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu, Dek.”

“Apa, Kak?”

“Kamu harus menerimanya. Dulu, aku hanya meminjam, dan sekarang aku kembalilan ke kamu. Aku … minta maaf atas segala kesalahanku selama ini.”

“Iya, Kak.” Aku simpan power bank itu di saku celana kainku yang agak longgar. Kemudian, aku kembali balik badan.

“Aku mau pamit, Dek.” Ucapannya lagi-lagi membuatku tak jadi melangkah. “Aku … mau pulang ke Indonesia dan nggak akan ke sini lagi,” lanjutnya. Kini, aku kembali menoleh menatapnya.

“Maka dari itu … aku ingin meluruskan semuanya sebelum aku pergi. Aku benar-benar minta maaf atas segala perilakuku, terlebih … saat di Makau.”

Aku masih terdiam. Bahkan, aku tidak tahu harus menjawab apa pada saat itu.

“Tadi, aku mau menemuimu di daerah tempat tinggalmu. Aku tau alamatmu dari data di kelas Bahasa Inggris dulu. Tapi, waktu aku panggil, kamu nggak dengar. Sampai akhirnya aku mengikutimu, dan sampailah di sini.”

Aku memutar bola mataku. Jadi, dia yang mengikutiku. “Aku … udah memaafkan, Kakak.”

Dia tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Aku terdiam menatapnya bingung.

“Kenalin, namaku Niken. Itu … nama asliku.”

Sepersekian detik aku hanya terpaku, kemudian membalas jabatan tangannya. “I-iya, Kak Niken. Semua yang terjadi di sini, adalah sebuah pelajaran berharga untukku. Aku berterima kasih, karena Kakak, aku mendapatkan guru terbaik.”

Kulihat, senyumannya tampak sedikit memudar. “Kamu … kamu anak baik. Meski aku tau, kamu nggak akan tergoda, tapi aku ingin mengatakan ini, jangan seperti aku, ya, Dek. Jadilah Yarista yang tanpa orang lain ikut campur, mereka tak akan mampu mengubah sifat aslimu.”

Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba, Kak Niken memelukku. Perlahan, aku membalas pelukannya. Dia menangis di pundakku.

“Sampai jumpa, Dek. Aku tau dunia ini luas untuk orang-orang sekecil kita. Tapi, kalau kita bertemu, jangan lupakan kakakmu ini, ya.”

Kalimat terakhirnya sukses membuatku membulirkan air mata sebesar biji jagung. Aku punya Kakak di rumah. Namun, aku kehilangan peran mereka. Untuk terakhir kalinya, aku memeluk Kak Niken.

Lihat selengkapnya