Perempuan Rantau

Kikiiut
Chapter #26

Chapter #26 Pulang (End)

Dua minggu berlalu. Entah apa yang terjadi, dan bagaimana Niranda menyelesaikan misinya, secepat itu aku mendapat kabar darinya bahwa dia sudah berada di bandara untuk pulang ke tanah air. Saat itu juga aku bergegas menuju bandara.

Untung nenek mengizinkanku, padahal pekerjaan rumah belum selesai kukerjakan. Aku hanya mengganti celana panjang, dan memakai jaket yang biasa kupakai untuk ke pasar. Siapa yang akan peduli dengan pakaikanku meski tujuanku pergi ke bandara?

Aku berlari sekuat tenaga. Dengan napas yang terengah-engah aku mengumpati Niranda sebanyak yang kumau. “Bocah edan! Ngeyelan! Gendeng tenan!”

Pantas saja minggu yang lalu dia bilang untuk tidak usah menghubunginya dulu. Ternyata dia sedang merencakan proyek besar. Terlambat aku menyadari akal bulusnya, semua sudah terjadi. Pasti sesuatu hal besar telah dia lakukan, sampai akhirnya dia benar-benar diinterminit.

Entah berapa manusia yang menyumpahiku karena tak sengaja menabraknya, aku hanya bisa meminta maaf tanpa menatap mereka. Saat itu aku menaiki kereta express untuk menuju bandara. Tak mengapa harus membayar mahal berpuluh-puluh kali lipat dari ongkos kereta biasa. Si bocah edan itu benar-benar nekat.

Sampainya di depan gate, aku menatap bingung pada sekeliling. Di mana? Aku lupa bertanya di gate mana dia berada. Bandaranya sangat besar dan luas, bagaimana aku bisa menemukan wanita itu?

Napasku masih ngos-ngosan, entah sebasah apa bajuku karena keringat. Aku tak peduli. Kuputuskan untuk mencari gate yang paling ramai dikunjungi. Pasti di sanalah ada jadwal keberangkatan.

Sampainya di gate G, aku terus mengedarkan pandangan. Mata kecilku tak bisa menangkap sosok yang kucari sedari tadi. Aku menyusuri antrean panjang orang yang sedang check in, barang kali Niranda juga berada di antara mereka. Namun, nihil.

Kakiku benar-benar payah. Saat aku sedang membungkuk memegangi lutut, sebuah tangan menggerayang mengenai punggungku. Aku tahu itu siapa. Seketika aku berdiri tegak dan langsung memeluknya. Tangisku pecah.

“Kamu … nekat banget.” Aku pukuli bahu Niranda dengan agak kesal.

“Ada yang pengin gue omongin ke elu.”

“Ada yang ingin aku omongin ke kamu.” Kami mengucapkan itu berbarengan.

“Kamu dulu,” jawabku.

“Nggak deh, bareng aja. Gue cuma 2 kata doang.”

Aku mengangguk setuju. Kami sama-sama berancang-ancang menarik napas panjang. “Terima kasih.” Kami sama-sama melongo, kata-kata yang ingin kami ucapkan ternyata serupa.

Niranda tersenyum. Gadis berkulit sawo matang itu terlihat cantik dengan kaus cokelatnya, serta celana jeans panjang yang bolong di bagian lututnya. “Kehadiran lu menyadarkan gue, Ris. Makasih lu tetep mau nerima gue. Makasih lu selalu ada di saat gue butuh temen, dan makasih … lu udah mau dateng ke sini buat gue.”

Kulihat Niranda mulai berkaca-kaca. Aku pun tak kuasa menahan air mataku untuk tidak bergulir bebas. “Aku juga berterima kasih sama kamu, Nda. Karena kamu aku tau makna ikhlas. Karena kamu aku belajar menerima dan memaafkan. Karena kamu … aku belajar banyak sekali pengalaman yang aku sendiri belum pernah mengalaminya. Kamu salah satu wanita hebat yang kukenal, setelah ibuku.”

Kami pun berpelukan. Menyembunyikan isak masing-masing dalam kehangatan. Sepersekian menit adegan itu disaksikan oleh semesta dan seisinya, kami segera melepaskan pelukan.

“Lu dateng sendiri?” tanyanya sembari mengusap pipi.

“Iyalah! Kamu berharap aku datang sama nenekku?” jawabku memalingkan wajah sembari ikut menyeka air mata.

Dia memakaikan topi POLO hitam bergambar kuda merahnya ke kepalaku. Aku hanya diam memperhatikannya.

“Lu cakep kalo pakek hijab,” katanya. Aku memang tak memakai hijab kala itu. Mana sempat.

“Nggak apa-apa pakek aja. Itu kenang-kenangan dari gue.”

Lagi-lagi tangisku pecah. “Nda, kamu … beneran mau pulang? Secepat ini kamu berubah pikiran … padahal kemarin ….”

“Lu bener, kalo orang yang memberi semangat, sebenernya … dialah yang merasa paling ingin menyerah. Gue kemarin bilang, hidup itu bukan pilihan, tapi hidup adalah tantangan. Dan jalan itulah yang harus gue lewati.” Dia menoleh ke arah imigrasi yang saat itu sudah dipenuhi orang mengantre untuk masuk ke dalam. Aku mengikuti arah tatapannya.

“Gimana caranya kamu ….”

Niranda mendekati wajahku dan berbisik, “Hati-hati … banyak mata-matanya Mucikari Jisin itu di sini.” Seketika aku memutar bola mataku. Entah mana orang yang sedang mengawasi kami, tetapi aku melihat beberapa orang di ujung sempat menatap ke arah kami sebelum akhirnya dia menghilang di balik tembok.

“Gimanapun caranya … lu nggak perlu tau.”

Tiba-tiba seseorang menghampiri kami. Aku tahu, dia Mark. Dia menyapaku dengan lambaian tangan singkat, aku pun membalasnya dengan senyuman tipis.

“Nda, dia ….” Aku menunjuk Mark.

Niranda mengangguk tipis. “Iya, dia yang udah bantuin gue. Dia sengaja dateng buat mastiin ke mata-mata si Lim itu, kalo gue sama Mark memang ada hubungan dan sampai gue hamil.”

“Tapi, itu nggak bener, ‘kan?”

Nianda tertawa. “Ya nggaklah njir! Ya kali gue sama dia! Asal lu tau …,” Niranda kembali mendekati telingaku, “dia biseksual.”

“Ha? Maksudnya?”

“Dia bisa sama perempuan, tapi juga bisa sama laki.”

Aku membeliak kaget.

Niranda menyilangkan tangannya di dada. “Gue punya banyak rahasia tentang pelanggan-pelanggan gue.” Niranda menoleh ke arah imigrasi yang antreannya sudah tak sepanjang barusan. “Gue harus cepet-cepet masuk,” katanya melirik jam.

“Ris, lu baik-baik ya di sini. Gue tau lu bisa menjaga diri lu sendiri. Maaf kalo gue ada salah sama elu. Semua yang gue lakuin ke elu demi kebaikan elu. Kita memang nggak beruntung perihal keluarga dan asmara, tapi gue bersyukur punya sahabat kayak elu.”

Aku meraih tangan Niranda dan mengusapnya. “Jangan lupain aku ya, Nda. Kita masih bisa temenan, ‘kan?”

“Iyalah! Nanti sampek Jakarta, gue hubungin lu lagi. Sekarang … gue masuk dulu.”

Niranda sibuk mengeluarkan passport dan tiketnya hingga membuat genggaman kami terlepas. Kenapa perpisahan ini menjadi sangat berat? Bibirku bergetar, entah apa yang masih ingin aku katakan, tetapi otakku tak dapat berpikir yang jernih.

“Nanti aku telepon,” katanya. Kulihat Mark mendekati Niranda, lelaki itu mengecup bibir temanku itu. Aku tahu, pasti itu hanyalah akting agar mata-mata Mr. Lim melihat adegan itu. Setelahnya, Niranda berjalan ke arah petugas imigrasi.

Aku hanya terdiam. Membiarkan air mataku memberi tahu tentang segalanya yang ada dalam benakku. Aku terus menangis. Selesai pengecekan oleh petugas, aku berlari dan memeluknya sekali lagi.

“Jaket lu … boleh buat gue nggak?”

“Tapi, ini jaket yang biasa aku pakai ke pasar.”

“Nggak apa-apa.” Niranda melepaskan jaket kumal berwarna abu-abu yang kukenakan. “Ini gue bawa, ya.”

Aku mengangguk sembari terus sesenggukan. “Maaf ya, Nda. Aku ndak bisa ngasih kamu apa-apa.”

“Gue udah dapet banyak hal dari kisah elu. Kalo kata lu gue hebat, maka … lu adalah perempuan terkuat yang pernah gue kenal. Tetaplah jadi diri sendiri, ya.

“Untuk anak perantauan seperti kita memang membutuhkan mental dan nyali yang tinggi. Nggak cuma siap kehilangan keluarga ketika pulang, apalagi hasil yang dibawa nggak sebanding dengan perjuangan … tapi perantau memiliki pengalaman yang luas. Gue nggak nyesel jadi TKW Hong Kong, justru gue bangga. Karena nantinya gue bisa menyumpal mulut orang-orang yang suka merendahkan para TKI dengan fakta yang gue punya.”

Aku menyetujui ucapan Niranda. Memang betul. Terkadang, kami dianggap rendah oleh sebagian orang. Bukti nyatanya, seperti Mas Putra yang menghinaku hanya karena menjadi babu sampai ke Hong Kong.

Niranda memegang kedua sisi bahuku. Kami saling menatap lurus. “Meski hidup kita sengsara, kisah kita juga sarat akan rasa bahagia. Gue harap … kita bisa menutupi semuanya. Semesta boleh tau, tapi makhluknya nggak boleh ada yang menghakimi kita.” Dia usap air mataku yang terus berjatuhan. Yakinlah, persahabatan yang tulus bisa mengalahkan cerita romansa dari negeri dongeng.

Tahu-tahu kami ditegur oleh petugas karena mengobrol terlalu lama. Hal itu mengharuskan Niranda untuk segera masuk ke dalam.

“Jangan menoleh ke belakang setelah masuk. Itu menandakan … bahwa tempat ini tak lebih dari sekadar tempat singgah sementara. Tetap lurus ke depan, maka … tempat yang akan lu tuju adalah tempat yang paling lu dambakan,” bisik Niranda.

Lihat selengkapnya