“Bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani dalam berperang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh. Kaum wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lain dalam keberaniaan dan tidak gentar mati. Bahkan mereka melampui kaum lelaki yang sudah dikenal bukanlah lelaki yang lemah dalam mempertahankan agama dan cita-cita mereka di Aceh …. Dan, adakah suatu bangsa di jagad ini yang tidak menulis dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan luar biasa?”
(H.C. Zentgraaff)
***
Suatu Pagi, 1599 M
Jejak rembulan masih tampak saat itu. Pendar-pendar cahaya mulai menerangi sebagian geladak kapal Van Leuw. Beberapa pekerja kapal terlihat sibuk menaikan peti-peti, yang berisi lada dan rempah-rempah lain ke atas kapal. Sementara, pemandangan hampir serupa terjadi di kapal De Leeuwin. Kapal dagang yang telah dilengkapi dengan artileri dan arsenal, layaknya armada kapal perang sungguhan.
Pekan lalu, kapten telah mengumumkan bahwa persinggahan mereka telah disetujui oleh Syahbandar Kerajaan Aceh. Melalui bendera armada dagang VOC, Belanda sepakat membeli hasil bumi Atjeh dengan harga pantas.
Cornelis De Houtman berdiri di ujung kanan geladak. Jemarinya memerintah kian kemari. Sudah tiga orang yang terkena tunjuk sang kapten. Tulang telunjuk yang lurus berbalut kaus tangan putih itu, serupa ujung bilah pedang jenawi yang siap menikam apapun.
Kali ini, adalah perjalanan keduanya ke lautan Hindia. Setelah tiga tahun lalu, dia beserta saudara kandungnya Fredrick De Houtman, melempar sauh di pelabuhan Karangantu, Banten untuk misi yang sama. Kelak, pelayarannya di pulau paling barat negeri timur jauh ini, menjadi misi penting untuk memuluskan ambisi Rotterdam. Sebuah misi konspiratif untuk menyulap kawasan kerajaan Atjeh, selain sebagai rute singgah armada dagang VOC, juga sebagai pangkalan utama armada perang kerajaan protestan Ratu Wilhelmina di Hindia Belanda.
Fredrick mendekat ke hadapan Kapten Cornelis. Si saudara muda menawarkan seloki anggur untuk menghangatkan tubuh mereka. Terlihat sekali, mereka menikmati pembicaraan pascafajar itu. Walau demikian, di beberapa percakapan santai tersebut, tersirat strategi licin keduanya mengenai penguasaan wilayah kerajaan Atjeh di kemudian hari. Mereka yakin, pengambilalihan wilayah Pedir dan Selat Malaka dari tangan kerajaan katolik Portugis menjadi jalur kunci keberhasilan ideologi imprealis Gold, Glory, and Gospel. Karena Selat Malaka adalah pintu masuk untuk menguasai negeri berjuta pesona ini.