Petang hari, 1974 M
50 3’50.80”LU 960 43’31.01”BT
Pemuka agama sedang berkumpul di balai gampong[1], saat udara sore tiba-tiba basah. Rimis dan lembayung menghinggapi lembah Gunung Grute, seolah menambal jiwa-jiwa yang rindu.
Ustaz Malik Syah memimpin doa dengan takzim. Tetua lain mengikuti dengan kata serempak: amin. Sebait harap yang disampaikan dalam khidmat itu, hasil panen padi akhir bulan nanti bisa cukup. Teriring rasa syukur mereka, bahwa Tuhan telah menurunkan ketenteraman di gampong Matang Kumbang. Di ujung lidah dan hati mereka, perasaan syukur lebih mendekatkan mereka dengan Sang Pemberi. Bagi mereka yang terlampau jauh dari kemeriahan dunia, sore hari adalah saat romantis untuk bercengkerama dengan Tuhan.
Matang Kumbang merupakan salah satu gampong yang ada di perbatasan dua kabupaten: Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireun dan Kecamatan Baktiya, Kabupaten Aceh Utara. Tidak jauh dari desa kecil ini mengalir sebuah krueng[2] besar, berair jernih. Krueng Peusangan namanya.
Sungai Peusangan sendiri, termasuk salah satu sungai besar di Aceh. Panjangnya mencapai 130.796 meter. Sungai yang berhulu Danau Laut Tawar Takengon, mampu mengirim air ke daerah hilir sebanyak 5.664 liter/detik. Sungai yang membelah Kota Takengon ini, menelusuri bukit terjal dan lembah. Termasuk pula melewati daerah Matang Kumbang, hingga akhirnya sampai di Selat Malaka.
Sungai Peusangan, seumpama sahabat bagi warga sekitar sisi sungai. Sungai ini menyemai rezeki bagi warga. Rezeki yang didapat masyarakat dari aliran air ini; mulai dari sumber air bersih, sumber ikan, sumber energi listrik, sampai kepada sumber air irigasi. Meski dongeng lembide, penjaga gaib sungai Peusangan, melekat kuat di benak setiap warga.
Di pesisir Sungai Pesangan, tepat di hitungan ke-20 jumlah rumoh[3] di gampong Matang Kumbang, sebuah gubuk beratapkan rumbia kering menghadap ke jalan hutan. Pelataran rumoh-nya licin oleh cipratan hujan. Di keempat sudut rumoh berukuran 4x4 meter itu, ditanam batu alam untuk menunjang rumoh kayu di atasnya, seumpama rumoh yang terlihat terbang dari kejauhan.
Pelintas yang kebetulan melihat gubuk itu dari kejauhan selalu ingin menyapa pemilik rumoh. Ketika langkah pelintas tiba di depan pagar rumoh itu, mereka sering lupa tujuan berjalan ke mana, apalagi saat Isah sang pemilik rumoh, menyapa dan mengajak singgah. Jadilah rumoh yang paling ujung ini sebagai gerbang singgah para warga, yang baru pulang bercocok tanam dari hutan.
Sebetulnya, Isah tidak tinggal sendiri. Di gubuk berdinding bilik sederhana itu, Isah dibantu dua putrinya. Si Sulung berumur empat belas, selalu kompak dengan adiknya yang belum genap dua belas tahun. Di dusun itu, mereka dikenal sebagai si kembar karena kemiripan parasnya. Ayah mereka sering bilang kedua putrinya seperti jelmaan lembide. Namun, dalam bentuk bidadari ayu. Semua itu karena Siti Keumala dan Siti Maedar selalu ada untuk sang ibu. Di saat lelaki satu-satunya sering meninggalkan rumoh, kedua gadis berlian itu tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Mala dan Mey ikut kuli berladang atau berdagang bersama sang ibu. Keadaan itulah yang membuat mental Mala dan Mey terbentuk kuat.
Kadang Isah sendiri bertanya-tanya apa sebetulnya pekerjaan suaminya. Sebagai perempuan gampong, dia tak berani mengungkapkan apa yang menurut adat tidak boleh dilakukan terhadap suami. Yang diajarkan oleh leluhur adat adalah menjadi istri patuh; dan membesarkan anak-anak sesuai risalah Quran. Isah terima saja apa yang dibawa suaminya pulang. Walau sekadar umbi singkong. Lebih dari itu, Isah tetap tabah meski suami tercinta terlampau lama meninggalkan rumah untuk mencari rezeki.