Bogor, 24 April 2004
Ambar menatap kosong pada rangkaian awan itu. Kursi plastik menemani renungannya. Di tangannya tergenggam gelas kristal ramping dengan penuh sirop merah. Halaman masih riuh dengan tetamu undangan. Di meja paling panjang, disajikan aneka penganan pesta. Seorang berseragam hijau tua, mengajak istrinya untuk menepi ke sisi meja. Mereka ambil mangkuk untuk mewadahi soto betawi dan emping. Padahal di tangan kiri mereka, nasi padang dan buah semangka menggunung dijadikan satu dalam piring ceper. Aji mumpung, mungkin.
Di dalam, seorang pria tua dengan kaki yang tinggal sebelah, sedang sibuk menjamu rekan-rekannya. Kebanyakan berseragam hijau loreng. Ada pula seragam lain yang lebih dihormat; dengan pin warna-warni terpampang di dada mereka. Beberapa dari mereka menaikkan tangan mereka hingga ke atas alis, tanda memberi hormat. Namun, sesekali malah pria tua itu yang berulah sebaliknya. Ketika ada seorang yang memakai plakat bergambar bintang satu di kedua bahunya, maka lengan pria tua itulah yang segera membentuk tanda segitiga.
Seorang perempuan dengan dandanan tebal mendekat. Langkahnya terlihat centil. Gerak tubuhnya seolah sengaja dibuat menggoda. Badannya agak dibungkukkan. Dengan gaun serba merah, semakin membuat banyak lelaki yang hadir melirik penuh hasrat. Mata wanita itu menuju dada sang pria tua. Sambil dibacanya pin nama yang menempel di seragam orang tua itu.
“Wiranta Abraham!” lafalnya.
Kiranya, Wiranta, pria dengan paha yang tinggal sepotong, cukup terkemuka di antara mereka. Di usianya yang lebih dari setengah abad itu, Wiranta sudah banyak makan asam garam pertempuran. Dia pernah diterjunkan dalam pengiriman pasukan ke wilayah konflik di Timur Tengah dua windu lalu. Namun, yang sering diceritakannya pada Ambar adalah keterlibatannya saat menumpas gerakan DI TII di Aceh, tahun 70-an lalu.
“Bar, kenapa melamun ayo gabung. Masa di hari istimewamu ini, kamu malah menyendiri begitu.” Rani menyadarkan lamunan pemuda itu.
Rani adalah teman baik Ambar semenjak kecil. Nama lengkapnya Rani Subianto. Dia pun anak kolong, seperti halnya Ambar Abraham, putra sang legenda, Wiranta Abraham. Kebetulan masih dari kesatuan yang sama. Ayah Rani dan ayah Ambar sudah bersahabat, semenjak masuk akademi. Sering kali mereka berada pada misi yang sama ketika tugas lapangan.
Pernah suatu kali, Letda Wiranta tertembak di pinggang kirinya. Ceritanya sekitar dua puluh tahun lalu, saat itu mereka ditugaskan mengawal perbatasan konflik di Timor Timur. Di suatu pagi yang damai, kesatuan mereka tiba-tiba diserang dari arah yang tidak jelas. Wiranta yang masih perwira berpalang dua, pada saat itu sedang duduk-duduk membersihkan sepatunya, seketika itu mengerang kesakitan. Pakaiannya basah oleh cairan kental berwarna merah. Tak ada banyak pilihan saat itu, selain mempertahankan diri. Beberapa prajurit lain sedang tidak ada di tempat. Hanya tujuh orang saja yang berdiam di posko prajurit gabungan. Termasuk di antaranya Letda Wiranta dan Lettu Subianta.
Saat terluka tersebut, seorang penyergap berteriak memaki. Mereka berkoar-koar dengan bahasa yang hanya mereka sendiri yang tahu. Namun, Wiranta yakin mereka hendak menghabisi segera tentara yang tersisa. Di antara desingan peluru, serdadu yang terluka itu berusaha menghindar. Tubuhnya tergopoh-gopoh.
Dia membantingkan diri ke dalam ruangan sambil mencari senapan. Pada saat itulah, masuk seorang bersenapan ArmaLite dengan penuh nafsu. Dalam nafas yang memburu itu, dia memukulkan senapannya pada kepala Wiranta yang kalap. Jeritan anggota ABRI itu kian meluap, saat tendangan orang itu mengenai pinggangnya. Namun, setakat kemudian Subianto datang dengan pisau belati. Segera, dia tusukkan belatinya pada tubuh si penyerang. Cipratan darah menyembul dari punggung si penyerang. Dagingnya yang memerah terlihat di antara baju lusuh dan tulang belikatnya. Hingga dia pun tersungkur sambil mengerang. Subianto dan Wiranta selamat untuk sesaat.