Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #4

Tulang Punggung Terakhir

...

Wahe aneuk bek ta duek le

Beudoh sare ta bela bangsa

Bek ta takot keu darah ile

Adak pih mate po ma ka rela[1]

(Syair Lagu “Doda idi Bela Naggroe" - Cut Aja Rizka)[2]

*** 


10 Juni 2004, menjelang petang

Iring-iringan truk TNI melintas di tapal batas Desa Matang Kumbang, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireun. Guliran ban-ban truk pemanggil kematian itu menggilas tanah kental, karena hujan semalam. Jika didengar dari jarak tertentu, satu-dua bunyi mesin truk Steyr 680M buatan Austria itu, lamat-lamat bagai amuk Galunggung. Suaranya menggemuruh. Mengabarkan kewaspadaan perang yang belum usai.

Ketiga penghuni rumoh bergegas naik ke ranjang. Nenek segera memeluk keduanya. Rismelati yang dari tadi sedang mendaras Alquran, spontan memeluk kitabnya dengan erat. Sedangkan Muslim yang masih bocah, menyuruk ke bawah ketiak nenek. Tangannya mengepal-ngepal menandakan kekhawatiran. Tidak ada yang bersuara seketika itu. Dengus nafas pun seolah sesak. Mereka bertiga menunggu dalam diam. Walaupun jalan besar terhalang kebun singkong Pak Musa dari rumoh mereka, namun suara gemuruh selalu menjadi fobia bagi keluarga ini. Seolah ada bayang-bayang maut yang melengking menghampiri.

Ris, Mus, dan Nek Isah terkesiap saat pintu belakang diketuk dari luar. Aliran darah mereka seolah berlari, seusai mendengar bunyi salam lapat-lapat.

Assalamu’alaikum, ini aku, Ris. Cepat kau buka pintu!” perintah seseorang dari pintu belakang, parau.

Rismelati, meski takut, lalu bangkit dari tempat tidur nenek. Tangannya agak kepayahan juga mengangkat sebongkah kayu yang memalang di pintu belakang.

Kreeek.”

Seorang laki-laki yang sudah mereka kenal ternyata. Muzakiri baru pulang dari menyadap karet di hutan.

 “Leganya, kukira siapa?” celoteh Rismelati, kemudian nenek dan adiknya menyusul dari dalam ruang tengah.

“Suara panserkah itu kak?” sambut adik termuda menyilakan kakak tertuanya yang pulang lelah dari rimba.

Sudah lima tahun ini, Muzakiri menjadi penderes karet di hutan. Namun, sudah sekian lama Muzakiri mencari getah karet, belum banyak kebahagiaan yang dia dapat persembahkan bagi keluarganya. Terlebih di musim perang seperti ini, batang-batang karet mungkin tidak nyaman menyumbang getahnya. Torehan getah yang dikumpulkan lebih pailit dari musim paceklik sekalipun. Hal itu karena, para petani penderes harus cepat pulang sebelum lembayung berubah kelabu. Menjelang petang, biasanya para prajurit keluar dengan perlengkapan terlengkapnya. Jam malam diberlakukan di desa Matang Kumbang.

Wajah tirusnya seperti lama tidak bertemu makanan. Maklum, kelelahan dunia melanda Muzakiri, si abang tertua. Semakin hari, bertambahlah pikirannya untuk keempat penghuni rumoh ini. Bagaimana mereka makan. Biaya sekolah si bungsu. Atau sekadar membeli obat warung untuk asma nenek yang kian kambuh. Apalagi semenjak ada jam malam, penghasilan tambahan si abang sebagai guru mengaji hilang. Anak-anak sekampung dilarang pergi keluar oleh orang tua mereka, walau sekadar buat berjamaah ke masjid.

Tangannya menyandar di dinding serambi likot[3]. Kakinya diangkatkan ke atas tungku, sambil digaruk sela-sela kakinya. Dia simpan rencong dari balik pinggangnya ke samping wadah getah karet, yang lebih dahulu dirapikannya di galar dapur.

“Satu penduduk lagi tewas, Nek. Kemarin di desa sebelah. Katanya TNI juga kena. Mereka kirim panser dan truk bantuan buat sweeping nanti malam.” jelas pemuda 20 tahun itu dalam bahasa Aceh yang kental, sambil melipat-lipat ujung celana.

Penghuni lain membisu. Semua mata mengarah pada Muzakiri. Menanti-nanti kabar selanjutnya.

Lihat selengkapnya