".... Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka ...."
(Tengku Lah – Mantan Panglima Sayap Militer GAM)
Krueng Pase, Oktober 1993
Meskipun sebetulnya mereka dicap buronan, cadangan makanan mereka sungguh melimpah. Ada tokoh-tokoh GAM yang menyuplai perbekalan mereka di gunung. Beberapa laskar separatis yang terluka dalam serangan lalu, mendapat perawatan intensif bagian medis. Benteng mereka pun tidak mudah terlacak lawan. Bukan karena markas mereka yang kokoh oleh beton, justru sebaliknya; mereka dibentuk dalam kawanan-kawanan tertentu dan mengisi pos rumah pohon di rimba raya.
Setiap pertumpahan darah yang terjadi, selalu mereka anggap sebagai pertaruhan menuju Surga. Warga lain mungkin mencap mereka sebagai teroris. Bagi mereka, lepasnya ruh mereka dari raga; saat tertembus peluru, adalah jalan tertinggi menggapai syahid. Walau kadang alasan inilah, yang digunakan sebagian kecil anggota mereka, melakukan aksi anarkistis. Mati syahid. Namun, lupa alasan mendasar dari perjuangan mereka bertaruh nyawa.
Tidak dengan Abdul Hakim. Pria empat puluh dua tahun ini ikut menancapkan bendera Merah Bulan Sabit di kaki Gunung Halimun, Pidie. Tujuh belas tahun lalu, Abdul Hakim bersama tokoh muda Aceh lain menyatukan visi mereka. Pertemuan ini digagas, sebagai bentuk rasa sakit hati mereka terhadap kesewenang-wenangan Jakarta.
“Seharusnya Aceh diberikan hak kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam.” ucap Abdul Hakim suatu kali.
Prinsip inilah yang kemudian senantiasa dipegang Abdul Hakim beserta seluruh tokoh muda Aceh pada saat itu. Namun sebaliknya, peranan ulama dan struktur kepemimpinan adat dalam kehidupan bernegara tidak dihargai oleh Soeharto. Apalagi, kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu sungguh mendiskreditkan harga diri para pahlawan Aceh. Padahal, jasa mereka untuk kesatuan Negara ini sungguh luar biasa.
Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing. Dan itu semua tentu melalui restu pusat. Delegasi-delegasi pengkhianat, dikirim ke Aceh lewat pejabat-pejabat korup. Sementara di lain posisi, rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah; kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
Tentu saja, melihat kenyataan tersebut, Daud Beureuh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang, terluka hatinya. Mereka kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh, dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan.
“Tujuan mulia ini tak bisa tercapai tanpa senjata!” teriak seorang tokoh tua Aceh saat itu.
Awal tahun 1972, Zainal Abidin dipilih oleh kaum tetua Aceh untuk berangkat ke Amerika. Zainal mengemban misi penting. Dia harus menemui saudara sekandungnya yang sedang menuntut ilmu di Amerika. Melalui Zainal Abidin, Daud Beureuh berharap Hasan Tiro berkenan memuluskan konvensi tetua Aceh untuk kembali merebut kejayaan Aceh.
Gayung bersambut, Hasan Tiro sendiri sepakat untuk mengirimkan senjata dan artileri lainnya dengan segera. Tetua Aceh bangga dengan hasil pertemuan tersebut. Sayang, hingga beberapa saat menjelang, senjata tak juga dikirim. Beureuh meninggal di penghujung cita-citanya.
Beberapa bulan berselang, setelah kematian Daud Beureuh.
Siang itu, ketika matahari seolah tidak berjarak dengan mereka. Di tempat itu, ramai beberapa tokoh unggul Aceh menggelar pertemuan kembali. Hasan Asleh berada paling depan. Sementara, Jamil Amin sedang berkonsultasi dengan Zainal Abidin di sudut ruangan. Sejenak kemudian, setelah menulis sesuatu di secarik kertas Hasan Tiro menghampiri mereka berdua. Tidak ketinggalan, seorang sosok yang dihormati dipanggil Ilyas Leubee. Beberapa tokoh lain saling mengernyitkan dahi seolah sedang berpikir keras. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.
Dan, Abdul Hakim berada pada saat yang sama di tempat itu.
Itulah mengapa Hakim masih hidup. Ia bersikeras untuk mengibarkan panji syariat Islam di bumi rencong. Dia tinggalkan istri dan ketiga anaknya di gampong. Padahal bungsunya masih sangat mungil. Dia ingin bergerilya. Dia ingin prajurit-prajurit muda Aceh tertular prinsip-prinsipnya. Mengembalikan harga diri Aceh seperti sedia kala.
“Ahoi, ada tentara nasional!” ujar seorang muda yang melapor dengan rusuh.