Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #6

Bab 5 - Bias Fajar, Bias Kerinduan

12 Jam sebelum Pertempuran Matang Kumbang

Jelang fajar, rimis masih menerpa-nerpa kaca depan truk. Sudah lebih tiga jam, Wiper kaca truk bergerak vertikal bolak-balik. Di kesunyian subuh, perjalanan mereka terasa kosong.

Lampu sorot dari keempat truk pengangkut prajurit yang beriringan membelah kegelapan jalan berbatu yang berkelok-kelok memanjang. Mereka didatangkan dari pusat Kodam I - Bukit Barisan, Sumatera Utara. Meski kebanyakan bukan asli orang Sumatera. Pria-pria berpakaian loreng ini merupakan prajurit pilihan dari kesatuan angkatan darat di beberapa Wilayah Komando di Jawa dan Sulawesi. Sebagian dari prajurit itu memakai baret warna hijau, dengan lambang Pussenif. Namun, ada pula beberapa prajurit yang baru keluar pendidikan kemiliteran.

Masih seperti saat berangkat, Ambar duduk tegak dekat pintu belakang. Truk yang dinaikinya berada di urutan paling belakang. Pandangan Ambar lamur di satu titik. Pikirannya berloncatan lalu membias di kegelapan hutan yang dilewati rombongannya. Walau begitu dia tidak mau mengantuk. Matanya harus tetap terbuka. Kewaspadaan harus tetap terjaga. Apalagi, rombongan telah memasuki kawasan perbatasan tanah rencong. Bisa saja maut tiba-tiba menyergap. Tidak ada jaminan nyawa selamat, walau dengan sekompi pasukan sekali pun. Karena di wilayah perang, manusia terlupa akan pengindraannya. Mereka serupa binatang liar, yang hanya bisa hidup melalui insting. Diburu atau memburu.

Rekannya yang duduk sebelah dalam ada pula yang terlelap. Kepala mereka bersandaran di ransel. Akan tetapi, tangan mereka masih menggenggam Pindad SS2 Hitam dengan pelatuk yang masih dikunci.

Tidak dengan Ambar. Degup jantungnya semakin menguat. Muncul perasaan khawatir di dadanya. Meski beberapa bulan lalu mendapatkan promosi pembaretan, lewat empat tahun belajar ketentaraan dan tata cara berperang, rasa waswas itu sesekali menciutkan nyalinya. Maka, senapan miliknya sudah dikekang dari awal berangkat. Padahal, justru hal itu menyalahi Standar Operasional Prosedur. Karena bisa saja jika tidak terkontrol senapan malah meletus terhadap rekan sendiri.

“Lettu?” ujar seseorang.

Suara berat tersebut muncul dari mulut yang penuh embusan kepulan asap tebal rokok.

Ambar sedikit gusar karena kaget. Setakat kemudian menoleh ke sosok yang duduk persis di depannya. Di pundaknya dipasang gambar tiga palang balok emas lurus mendatar. Artinya, pangkatnya lebih tinggi, setara kapten.

Tatapan pria itu tajam, seperti tatapan Suku Pengayau yang hendak menguliti batok kepala mangsanya. Dari intonasi pertanyaannya, seolah ingin mengetahui isi pikiran Ambar.

“Teringat kampung halaman?” ujarnya kemudian.

Suaranya menyiratkan tendensi tertentu. Terdengar melecehkan. Ambar tersenyum tawar. Belum sempat Ambar mengulas pertanyaannya, pria itu menyodorkan jemarinya. Kereteknya dialihkan ke tangan sebelah kiri.

“Kapten Aryadi. Panggil saja Ary. Dari Korem 161, Atambua, NTT,” kenalnya, lalu melanjutkan, “aku tahu, pasti kau ingat perempuan di kampung to? Kita memang selalu teringat kekasih yang jauh.”

Ambar menjadi sedikit cair. Senyumnya sedikit lepas. Aryadi menawarkan bungkusan penuh tembakau yang sudah dipilin rapi. Tentara berkulit gelap dan berambut keriting pendek itu berhasil memancing keintiman. Keduanya kemudian saling memperkenalkan latar belakang mereka. Ambar yang asli Sunda, tentu terkesan lebih menunggu pembicaraan. Namun, seiring waktu, keduanya menjadi akrab. Dinginnya subuh di perjalanan pun bisa mereka lalui dengan obrolan hangat, beserta dua batang rokok.

Ambar tertawa.

“Dia pasti gadis yang cantik?” tanya Aryadi. Tentara berdarah Eks Timor Timur itu sukses mencolong kisah pribadi Ambar.

Hufff.” Ambar hanya mengangguk kagok.

Lihat selengkapnya