Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #7

Bab 6 - Inersia

“The tragedy of modern war is that the young men die fighting each other - instead of their real enemies back home in the capitals.”

(Edward Abbey)

 

Ambar masih mencoba menikmati nasi kaleng dengan lauk sarden rebus, ketika tiba-tiba Letkol Naigolan datang dengan tergopoh-gopoh.

“Bersiap! Angkat senjata, rute 12 sedang genting!” perintahnya tanpa jeda.

Ambar tersedak kaget. Dilemparlah santap siangnya itu. Lagi pula, rasa nasi kaleng dicampur ikan kalengan berbau anyir tajam, cukup membuat rasa lapar jadi lenyap.

“Siap!” Ambar mengangguk mantap.

Diraihnya tas ransel loreng. Kemudian, alutsista mitraliur buatan pabrikan senjata dalam negeri yang sudah dikekang itu, disampirnya ke belakang pinggang.

Ambar mengangkat kepalan tangan kanannya ke sebelah Kapten Aryadi yang sedang bercengkerama dengan personel Ton[1] Angkutan yang lain. Para serdadu yang sedang rehat makan siang di bawah pohon rambutan menangkap isyarat keadaan genting. Mereka segera bergegas berlompatan ke belakang truk.

Cuaca keparat dikeluhkan beberapa tentara sore itu. Padahal sudah lewat asar. Seharusnya, di awal bulan Juni, suhu udara masih basah. Lagi pula, hujan terus-menerus mengguyur semenjak perjalanan dari Medan subuh tadi. Tidak ada pertanda cuaca akan sedemikian terik siangnya. Mungkin hidup bumi sudah tidak mau diprediksi. Pancaroba yang cepat adalah bukti bumi sedang sakit sekarang.

“Kalian cepat bergegas! Siapkan senjata. GAM kembali membuat huru-hara. Desa bagian timur sudah dikuasai. Kontak senjata sudah lebih dari setengah jam,” teriak seorang yang mereka panggil Komandan Batalion.

Beberapa tentara yang masih muda, wajahnya berubah tegang. Walaupun muka mereka telah dipoles warna-warna gelap, namun urat-urat gentar menonjol di antara pelipis dan rahang. Ambar termasuk. Tangannya mendadak keluar air asin. Jakun yang menggantung di lehernya, terlihat turun-naik karena gelagapan menelan ludah. Meskipun istilah GAM sering kali mengiang di telinganya, namun sekarang, dia akan menghadapinya secara langsung.

Sensasi luar biasa menyeruak.

Padahal, baru tiga jam rombongan Kompi Markas Medan tiba di perbatasan Aceh Utara. Kamis itu, tiga truk pengangkut terdiri dari Ton Angkutan, Kesehatan, Komunikasi, dan Perbekalan. Satu truk lain bermerek BMP-3 buatan Rusia, membawa Kompi Senapan yang beranggotakan 30 orang pasukan serbu. Rencananya, satu batalion itu akan menginap di pos gudang senjata milik TNI, dekat perbatasan Aceh Utara-Pidie.

Misi utama rombongan Batalion C Medan ini adalah mengawal perbekalan magasin, medik, dan cadangan makanan bantuan dari Markas Besar TNI di Medan, untuk dibawa ke pos-pos arsenal pasukan TNI yang ada di garis pertempuran. Selain itu, detasemen ini diplot akan menggantikan tugas pasukan jaga di pos-pos perbatasan antar distrik.

Setengah dari pasukan ini merupakan tentara-tentara muda dari berbagai Komando Militer di luar Sumatera. Kebanyakan dari mereka belum pernah mencicipi arena pertempuran sesungguhnya. Seperti, sore ini, pemuda-pemuda lulusan akademi militer ini benar-benar belum paham apa yang akan dilakukan mereka nanti. Satu hal, sesosok gaib yang ditugaskan untuk mencabut nyawa sedang mengintai keempat truk berisi calon-calon mangsanya ini.

Speedometer keempat truk bergerak-gerak di angka 80-100 km/hours. Dalam seperempat jam, iring-iringan truk sudah memasuki gerbang Kecamatan Peusangan. Aryadi dan Ambar duduk berdampingan. Keduanya hening, tidak saling bercakap-cakap sejak dari titik keberangkatan terakhir di pos perbatasan.

“Kau masih mengingat Rani?” ujar Kapten Aryadi mencairkan suasana.

Ambar tidak menimpali. Bibirnya dikatupkan. Kepalanya hanya bergerak vertikal sedikit.

Lihat selengkapnya