Suatu tempat di rimba Bur Ni Geureudong, Maret 1994
Rimis menyemai puncak Halimun di awal bulan Maret. Orang-orang senang memanggil Gunung Halimun, karena kabut pekat selalu menutupi puncak gunung Geuredong. Meski tipis, rinai hujan membuat jalan setapak itu semakin licin.
“Kita harus bergegas. Kalau kesorean, terus hujan besar. Jalan pasti lebih licin.” kata Abu Daud.
Abu Daud adalah bekas pengikut setia Panglima Abdul Hakim. Seperti mantan tutornya, Abu Daud pun menguasai geriliyawan di gunung-gunung. Setelah kematian Abdul Hakim, Abu Daud melanjutkan cita-cita luhur panglimanya.
Di kejauhan terhampar ladang hijau. Menyaksikan sabana diguyur rimis, membuat sejuk para pejalan kaki. Beberapa menit berselang, langkah mereka tiba pada sebuah landaian yang menikung. Di sisi kanan, jalan setapak itu disela beberapa kali jurang yang terjal. Abu Daud tiba-tiba berceloteh bahwa jurang di simpang jalan setapak itu adalah perkampungan jin terbesar di seantero nusantara. Bahkan, raja-raja jin di provinsi lain, merupakan titisan dari jin di tikungan jurang itu.
Sebetulnya, cerita-cerita metafisik semacam itu ada baiknya juga untuk dipelihara adat. Sebagian masyarakat yang mempertahankan genius lokal seperti itu dapat mengurangi dampak penghancuran alam oleh manusia. Karena terkadang, ketakutan itu mutlak dipelihara untuk keseimbangan yang lebih besar.
“Teman awak dulu pernah tapa di sini biar kebal. Pulang-pulang malah jadi bungkuk. Rupanya ada jin yang menumpang di pundaknya.” jelas Abu Daud dengan wajah yang semi-serius.
Kontan cerita itu menciutkan nyali para pemuda tanggung yang berbaris beriringan menenteng AK-47. Termasuk Munir, yang melangkah sambil tetap bersender pada dinding tanah.
Hujan tambah deras. Rombongan kecil itu tiba di sebuah jalan terbuka yang agak lebar. Rombongan itu sendiri berjumlah delapan orang, termasuk hitungan Abu Daud dan Munir, anak Abdul Hakim. Pejalan kaki merasa lega telah sampai di jalan yang lebar, seolah telah berhasil keluar dari jembatan putus. Langkah mereka diperlambat, manakala terlihat sebuah rumoh kayu besar di ujung jalan dekat kawasan Gunung Geumpang. Dua atau tiga seuramoe keu dari rumoh sekitar kawasan itu menghadap langsung ke arah jalan. Lampu-lampu minyak sudah dinyalakan, meski nyalanya kecil karena tempias hujan.
Tiba di ujung jalan, mereka berhenti sejenak. Sambil menunjuk lurus, Abu Daud menuntun sisa-sisa pasukannya untuk meniti sebuah jembatan gantung yang langsung menuju ke gerbang rumoh dari kayu besar. Di atas gerbang itu tertulis Dayah Mujahid Darussalam. Sebuah tempat penampungan santri-santri anak pejuang Aceh yang gugur.
Jembatan gantung itu sendiri terbuat dari tali dan kayu eusideroxylon zwageri[1], yang semakin keras jika terendam air. Panjang jembatan ini sekitar 30 meteran. Di bawah jembatan ini tidak terlihat ada kehidupan, hanya gelap seperti jurang di jalan simpang tadi.
Satu persatu personel rombongan berhasil menjejakkan kaki di seberang jembatan. Beberapa anggota pasukan, terlihat mengusap-usap air hujan yang menghunjam muka mereka. Hujan mendadak lebat, pandangan pun ikut memburam oleh lebat hujan. Kaki-kaki mereka pun seolah berperekat, semakin susah diangkat begitu menginjak lumpur. Untungnya, jalan setapak itu telah sampai pada buntu. Abu Daud beserta rombongan mengucap salam dengan lantang. Seorang kakek tua membuka pintu depan.