Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #9

Bab 8 - Kampung Pucuk Inong

Kampung ini hanya dipenuhi oleh 60 petak rumah. Beberapa rumah di ujung gang dibangun dari material semipermanen yang mudah dibongkar-pasang. Sekat per sekat rumah dibatasi tripleks tipis, dengan cat berwarna-warni. Jarak antar-rumah tidak ada jeda, begitu padat dan kumuh seperti pasar malam dilanda hujan. 

Di tengah teras rumah terdapat jalan tikus yang menyempit dan buntu. Seolah gudang tanpa sirkulasi udara, begitulah keadaan Kampung Pucuk Inong di sini. Tempat ini dinamai Kampung Pucuk Inong karena hampir semua penghuni kampung ini adalah para perempuan penjaja cinta semalam.

Sebelum masuk pintu gang, terdapat sebuah pos penjagaan. Preman cap ceban menjaga portal keamanan sekaligus parkiran. Di depan kampung terdapat sebuah bar karaoke dengan soundtrack lagu dangdut koplo. Konon, pemiliknya adalah seorang pensiunan komodor Angkatan Laut. 

Begitu pun lokasi prostitusi tersebut, kebanyakan perempuan-perempuannya dikoordinasi oleh germo-germo yang dilindungi oleh sebagian pejabat berseragam loreng yang tidak pernah turun perang.

Menjelang malam, biasanya lokasi prostitusi Pucuk Inong mulai ramai. Tambang yang dibelit puluhan lampu kelap-kelip dipasang di depan gapura gang. Di sebelah bar karaoke terdapat sebuah rumah megah. Jendela-jendelanya dibiarkan terbuka. Beberapa kupu-kupu malam terlihat sedang berdandan di beranda atas. Hanya di area depan kampung saja suasana perdagangan syahwat dibuat meriah. Dilebur dengan bau-bau arak dan parfum kampung yang menyengat. 

Bertolak belakang dengan suasana kampung depan Pucuk Inong, area belakang kampung terkesan lebih sepi. Rumah-rumah itu hening, seperti tanpa penghuni. Tidak semua pemilik rumah lebih senang berkumpul di depan bar dan rumah bordil. Sebetulnya rumah-rumah belakang kampung diisi juga. Mereka adalah anak-anak pekerja seks yang sedang belajar. Sisanya perempuan-perempuan tua berusia 60-an yang sedang melafalkan Alquran. 

Satu kilometer lebih dari kampung prostitusi itu terdapat sebuah benteng pagar yang dililiti kawat bertegangan listrik tinggi. Benteng itu melingkupi perusahaan penambang minyak bumi milik Amerika, yang sudah menancapkan sauhnya puluhan tahun lalu. 

Perusahaan berbendera Grup Korporasi Penambangan Mineral Asia Tenggara (EAM Corporation) ini telah mengeksploitasi lebih dari 160.000 hektare lahan lokal Aceh. Mereka mengantongi 16 izin usaha pertambangan untuk jenis pertambangan minyak bumi, gas alam, emas, dan mineral ikutan lainnya. Setiap tahun, dengan mudahnya korporasi ini mengeruk perut bumi negeri, tanpa timbal balik yang jelas untuk rakyat. Dampak analisis mengenai lingkungan pun tidak pernah diawasi secara ketat. Dinas Koperasi Perdagangan, Perindustrian, dan Energi Sumber Daya Mineral memang mendapatkan jatah bargaining royalty, pun jenderal-jenderal Jakarta yang berperan sebagai pelindung.

Begitu pula di Kampung Pucuk Inong ini. Kampung berusia dua windu ini lahir setelah pihak EAM Corporation mencaplok tiga kawasan gunung besar hampir seluas 700 hektare. Semenjak itulah, lahan pegunungan lebat itu berubah menjadi sebuah pusat keramaian. Banyak pendatang mengadu nasib untuk jadi buruh pertambangan. Bagi pelamar yang tidak beruntung, dan tak sudi pulang ke kampung asal, mereka terpaksa jadi penambang liar dan membuat perkampungan sendiri di sekitar lokasi perusahaan. Kemudian, mereka beranak-pinak dan mengaku lahir di situ. Termasuk para perempuan yang mencari peruntungan di sini. Menemani para pekerja pertambangan yang butuh kepuasan untuk melepas nafsu berahinya.

Namun, pengunjung langganan prostitusi ini tidak hanya datang para pekerja tambang. Jika beruntung, pada malam akhir pekan datang juga prajurit-prajurit TNI yang disewa menjaga tambang. Terkadang muncul satu-dua bule yang bekerja di tambang ikut melepas gundah mereka di karaoke. Selain untuk barter syahwat, Kampung Pucuk Inong juga sering digunakan sebagai area transaksi ganja dan, tentu saja, senjata api.

Lihat selengkapnya