Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #10

Bab 9 - Mata Perempuan Mata-Mata

"Untuk para perempuanku ....

Kita tak perlu menjadi feminis untuk perjuangkan hak-hak perempuan.

Cukuplah Aisyah, Cut Nyak Dien, dan H.R. Rasuna Said, sebagai contoh kita bahwa betapa mulianya tugas kita di hadapan-Nya.

Dan, Alquran sudah menjelaskannya secara indah untuk kita."

(Sarah L. Mantovani)


Tak ada yang tahu dari mana asalnya persisnya perempuan itu berasal. Sebagaimana halnya wanita-wanita penjaja berahi di sini, tidak mempunyai kartu identitas resmi. Satu hal yang mereka tahu; kawasan Pucuk Inong adalah ladang uang. Manusia-manusia di sini datang demi dua orientasi; mengenyangkan perut dan meredakan bawah perut. Maka, jangan tanyakan dari mana mereka berasal. Beberapa mungkin datang dari Pasar Monyet di Jawa Barat, ada juga yang jebolan lokasi prostitusi Dolly Jawa Timur, atau diimpor langsung dari Jambi. 

Pucuk Inong adalah proyek transmigrasi paling sukses. Bak pasir logam di besi sembrani, banyak orang berbondong-bondong melekat ke tempat ini. 

Beberapa PSK pernah berbincang dengan perempuan yang jarang bicara itu. Mereka begitu penasaran dengan latar belakang si janda pendiam ini. Tak ada sepatah kata pun yang menegaskan dari mana dia lahir. Terkadang mereka iri dengan wajah si kuli cuci yang masih terlihat cantik. Padahal, usianya hampir setengah abad. Wanita-wanita tunasusila itu sering asal berceloteh, andai saja mereka berwajah serupa si tukang cuci, pasti langganan mereka akan bertambah banyak.

Pernah juga suatu waktu, satu dari pelacur itu melapor kepada induk semangnya. Dia berharap sang germo merayu perempuan pendiam itu bergabung di rumah bordil.

“Wajahmu masih cantik, ya? Ikut kami saja, capek jadi penatu! Semalam kau bisa dapat uang banyak!” celetuk si germo di suatu kesempatan.

Lihat selengkapnya