Sudah hampir satu windu Munir menetap di pedalaman Hutan Gunung Halimun. Selama itu pula, dia menimba banyak ilmu pertempuran. Di usia enam belas, dia sudah mengenal hampir semua jenis mitraliur terbaru, buatan Rusia, China, juga Amerika. Bahkan dia sudah terbiasa memainkan Senapan rifles buatan Indonesia. Di usia itu pula, Munir mengenal berbagai macam alat peledak, dari flashbang, semacam granat telur hingga peledak kelas berat yaitu C4. Untuk pertarungan satu lawan satu tanpa senjata, Munir sudah tuntas menguasai Tarung Derajat, entah dari mana aliran bela diri itu bisa sampai ke dayah1 ini.
Seperti pejuang militan lainnya, Munir pernah diterbangkan ke Libya untuk mengenyam kerasnya pertempuran nyata. Bahkan, ketika di Jakarta ramai mahasiswa memakzulkan tirani Soeharto, sehingga ramai pula mereka disebut pahlawan reformasi; sepanjang tahun 1998, Munir berada di garis depan milisi perjuangan Islam Moro di Filipina. Kewajiban untuk andil berperang di kawasan teluk atau Asia Tenggara bagian atas itu semacam pembaretan bagi tentara nonmiliter. Nantinya mereka dapat disebut pejuang atau tentara bayaran.
Perekrutan tentara sewaan semacam itu sudah terorganisasi. Di Indonesia, banyak alasan mengapa banyak warga yang beralih profesi menjadi serdadu bayaran. Ada yang sengaja terjun untuk dibayar, namun tak pelak ada juga yang terjebak karena suatu idealisme tertentu.
Agama dan Suku seolah mangkuk agar-agar di atas gedung tinggi. Sekali ditiupkan, mudah sekali untuk dihancurkan. Isu tersebut adalah celah paling menganga untuk dijadikan alasan sekelompok orang tertentu menghancurkan orang lain. Pemuda-pemuda tanggung di daerah dicuci otaknya agar masuk organisasi demi landasan prinsip utopis. Kelak, mereka disuruh memakai jubah yang dibuhulkan rantaian bom. Lalu, mereka akan meledakkan diri di tempat tujuan yang sudah disepakati oleh sang konspirator. Pemuda tanggung tadi hanya tahu nyawanya sampai di Telaga Firdaus, lain halnya dengan korban lain yang entah di mana kelak nyawa mereka tersangkut.
“Kita bukan teroris. Kita pejuang Aceh.” Ucap sang pemimpin dayah, Tuk Geuchik suatu malam di penghujung pengajian bersama seluruh santri. Malam dan subuh hari, para santi tidak lagi berkutat dengan keduniawian. Walaupun sebenarnya, pesan-pesan dunia masih saja terselip di antara ceramah-ceramah para pengajar dayah.
Tuk Geuchik berkulit legam. Dagunya penuh janggut yang mulai memutih. Di pipi sebelah kanan nampak bekas luka sayat tertutup bulu-bulu halus dari cambang dan berewoknya. Santriwan-santriwati begitu menghormati pembesar Dayah Mujahid Darussalam yang duduk bersila di depan mereka.
Setiap magrib malam Senin dan malam Selasa, beliau sendiri yang memimpin pengajian. Bangsal pengajian itu sendiri belum rampung dibangun, masih ada atap yang belum dipasangi genting nipah. Setiap sisi bangsal ditopang tiang-tiang bambu berukuran paha orang dewasa. Bangsal itu sengaja dibuat tak berdinding, sehingga angin hutan terasa menyayat kulit jika malam menjelang.
Tepat di atas kepala sang guru, terpampang selembar kain merah bertuliskan huruf-huruf Arab dengan gambar sebilah rencong di bawah tulisan tersebut. Ujung jari Tuk Geuchik diangkat menunjuk ke arah bendera tersebut, mata seluruh santri mengikuti dengan saksama.
Munir paham ke mana arah ceramah Tuk Geuchik malam itu. Meski usianya masih belia, tapi dia mewarisi kepintaran Abdul Hakim, ayahnya.