Dua bulan sebelum tragedi Pucuk Inong
Kedua prajurit itu beradu cerutu. Ambar berjingkrakan saat abu rokoknya merenjis ke celana lorengnya. Gerakan kaki yang menghindar cepat dari sakar yang masih menyala itu seperti tarian adat Asmat ketika hendak berperang. Sementara itu, Mayor Sege kelihatan girang melihat bawahannya bergerak tak karuan. Sege, pria asli suku Agats ini, kenal benar dengan tarian perang dari pedalaman Papua. Dan, tingkah Ambar mengingatkan kembali kenangan kampung halamannya.
“Ahaha .... Kau ini macam orang menginjak bara saja,” seru Sege dengan tawa renyah. Giginya yang bersih terlihat mencolok.
“Takut bolong,” jawab Ambar sambil menepuk-nepuk sisa abu yang menempel di pahanya.
Ambar lalu menjentikkan setengah kereteknya yang masih bersisa. Dia jatuhkan punggungnya ke sandaran kursi dengan perlahan.
“Huff, salahkah tindakanku Mayor?” kini, giliran Ambar berbalik bertanya pada atasannya.
“Yang mana? Menari seperti mau pergi berperang?”
“Bukan!” kedua lengannya ditekankan di atas pahanya. Sementara kesepuluh jemari mengepal bersatu. Jawaban penolakannya seolah apologi yang berat.
“Bukan soal itu,” Ambar menekan-nekan posisi duduknya hingga pundaknya seolah kempes, nafasnya pun semakin berat, “tapi soal perempuan Aceh dan kedua keluarganya itu?”
“Maksudmu, soal saksi itu? Kukira laporanmu benar adanya. Kapten kita akan sepaham denganmu. Keputusanmu tidak salah. Mereka tidak terkait separatis.”
Sejenak, Mayor Sege menolak kepulan asap dari rokoknya yang berbalik ke wajahnya. Suhu udara mendadak dingin. Angin pancaroba menerpa-nerpa perdu yang menaungi mereka.
“Kalau aku jadi kau aku pun tak akan berpikir dua kali.”
Ambar terdiam. Wajahnya menatap datar pada kepala regunya itu.
“Aku pun pernah melakukan hal yang sama beberapa tahun lalu. Seperti hari ini, seperti juga Aceh, tanah Irian tidak pernah sepi dari cipratan darah dan air mata. Tanah kami sama kayanya dengan Aceh. Bahkan, pulau kami seperti pulau harta karun yang muncul dari perut bumi. Semua orang berburu untuk menguasai tanah kelahiran kami," jelas Sege.
Setelah rehat sejenak, Sege melanjutkan, "Mereka ciptakan berbagai konspirasi dan kejahatan sosial di lingkungan kami. Suku kami yang damai terusik oleh percikan-percikan fitnah yang semakin berkembang di masyarakat. Sehingga perpecahan terjadi. Tanah adat Papua terluka, suku-suku asli merasa tercoreng norma-normanya. Agats, Syuru, dan lainnya tidak senang dengan penghinaan ini, maka peperangan pun terjadi. Kebiasaan mengayau yang sudah hilang, hidup kembali. Bahkan, di antara sesama mereka. Sesama kami orang Papua.”
Mata Sege berkaca-kaca. Sementara lawan bicaranya mengernyit keheranan.