Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #14

Bab 13 - Menuju Satu Rantau

"Nobody make a greater mistakes than he who did nothing,

because he could do a little."


(Edmund Burke)


Kabut masih lebat di Desa Matang Kumbang. Semua raut muka yang hadir di rumah Nek Isah tampak haru. Begitu pun Muslim. Sejak semalam, garis-garis muka di wajahnya membusur ke bawah. Meski begitu, sudah dari Subuh tadi Muslim lembur. Bocah putus sekolah itu membantu persiapan segala keperluan kakak perempuannya. Selasa ini, Risma akan berangkat merantau.

Kantong kain berisi pakaian sudah berada di beranda. Sementara, Risma mendekat pada adik bungsunya. Bocah itu tak sedikit pun menangis. Sebaliknya, wajah Risma memerah sesenggukan. Dengan langkah pincang, Mak Isah keluar dari arah dapur. Kaki kanannya bertambah sakit oleh reumatik menahun. Susah payah, wanita renta itu menyiapkan penganan ringan untuk cucunya di perjalanan. 

“Mus, jaga nenek baik-baik. InsyaAllah kakak pulang segera. Maafkan kakak, kau harus berhenti sekolah. Nanti kakak kumpulkan uang buatmu lanjutkan sekolah ya dik. Jaga nenek, ya dik,” ujar Risma dalam bahasa daerah, sembari berurai air mata. Lelaki yang diajaknya bicara hanya menunduk tanpa bersuara.

“Kamu hati-hati ya Ris. Jangan lupa salat dan mengaji.”

Nek Isah menyimpan kantong makanan di atas tumpukan tas kain. Tubuhnya merebah segera di kursi teras. Sambil memukul-mukul reumatik di paha kanannya, Nek Isah memanjatkan doa. Perlahan, Risma menciumi tangan keriput Nek Isah. Janda tua itu balas mencium keningnya.

“Nek, Ris berangkat dulu. Doakan Ris selamat.”

Risma membalik badannya dengan gontai. Sejenak, dia melihat orang tua satu-satunya itu mengelap sudut-sudut mata. 

“Semoga Allah menyertaimu, Nak,” ucap sang nenek setengah berbisik. Beberapa saat kemudian, cucu laki-lakinya berjalan ke samping tempat duduk sang nenek.

Risma menuruni undakan batu menuju halaman. Sejak peristiwa penyerangan Tentara Pemerintah ke gubuk Nek Isah, banyak kerusakan di sana-sini. Tangga dari kayu di depan rumah ambrol. Bilik tiap sisi bolong oleh peluru. Keadaan dalam rumah pun laksana dinding transparan. Sisa-sisa proyektil menembus tiang kayu rumah. 

Di luar rumoh, keadaan tidak berbeda prihatin. Bekas ledakan menganga di atas tanah. Batang pepohonan di kanan-kiri rumoh menggunung. Risma belum sempat membereskan bekas kekacauan minggu lalu itu. Pikirannya sekarang fokus untuk menghidupi rumah tangga keluarganya. Tidak ada laki-laki lain di rumah itu yang bersisa. Sementara, Muslim terlalu muda untuk mencari nafkah.

Di ujung kampung, dua motor sewaan diparkir menunggu. Motor pertama ditumpangi dua orang; sang sopir dan seorang janda muda. Namanya, Siti Sondari. Perempuan itu pernah bekerja di rantau. Sudah sebulan ini, perempuan yang dulu lugu itu, pulang. Dia membawakan banyak bekal untuk keluarganya di Desa matang Kumbang. Katanya, hasil dari pekerjaannya di kota. 

Satu motor lain, menunggu jemputannya datang. Risma sepakat ikut dengan Siti Sondari karena menjanjikannya pekerjaan bagus di kota. 

Siti, bukanlah orang asing di Desa Matang Kumbang. Perempuan ini, teman sepermainan Risma sejak balita. Nasib membawa perubahan pada wanita yang melepas masa lajang di usia 13 tahun itu. Entah nasib baik atau nasib buruk. Empat tahun lalu, Siti terpukau dengan ajakan seorang penyalur TKI dari Aceh Besar. Barangkali, rayuan ini sering sekali terjadi pada perempuan-perempuan desa di negeri ini. Sang penyalur TKI berjanji membantu pencarian kerja di luar negeri. 

Gaji besar dan mimpi kehidupan yang lebih layak. Alih-alih, dapat pekerjaan di luar negeri, Siti terjebak dalam lingkaran trafficking. Gadis belasan tahun ini dikirim ke sindikat pelacuran di Sumatera. Hingga, Siti Sondari terdampar di Lokalisasi Pucuk Inong di Aceh Utara sebagai pelayan seks para pekerja pertambangan.

Memang, kehidupan janda muda itu berubah drastis setelahnya. Di usia 19 tahun, Siti sudah bisa membangunkan rumah bagi kedua orang tuanya. Rumahnya, tiga puluh meter dari gubuk Mak Isah, terkesan berbeda. Bangunan dua tingkat dengan sebuah antena parabola besar di depan halaman. Jauh berbeda dari rumoh-rumoh tetangga lain yang hanya bekerja sebagai kuli penderes getah karet. 

Akan tetapi, warga Desa Matang Kumbang tak sekalipun curiga apa pekerjaan sebenarnya si Orang kaya Baru di kampung itu. Setahu warga, si janda yang ditinggal suami di usia 15 tahun itu, bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di Malaysia atau di Aceh Besar.

Lihat selengkapnya