Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #15

Bab 14 - Percaya Pada Asa yang Tertinggal

"You must be the change you wish, to see in the world."

(Mahatma Gandhi)


Pucuk Inong, 14 Desember 2004


Kematian, di negeri khatulistiwa masih berjalan sendiri-sendiri.

Bangsa ini bukanlah penyembah berhala. Umat kami masih sesekali membaca kitab suci. Beberapa di antaranya masih rutin bangun tengah malam untuk menangkal azab. Dalam tiap doa mereka, terlisankan ajian penangkal siksa pedih Tuhan. Barangkali saja, Pemilik Bumi masih menahan hukuman itu untuk dijatuhkan terhadap para penghuni nusantara sampai saat ini. 

Nek Isah tidak henti-hentinya bersujud. Padahal, jarum beker sudah lewat angka dua pagi. Semakin larut, hati nenek tua semakin simpuh dalam kesedihan. Satu-dua bulir air mata tersangkut di lipatan kulit pipinya. Lidahnya tidak putus mendoakan cucu perempuannya selamat di rantau orang. 

***

“Ini anak masih gres. Dijamin!” bisik Siti Sondari pada lelaki berperut buncit.

Orang yang dimaksud, biasa dipanggil Pakcik. Seorang germo.

Dialah, sang pemilik warung nasi plus-plus. Wajahnya legam dan penuh bulu, ibarat Arab Baduy tak tersentuh air wudu. Kumisnya angkuh. Daging di sekitar bahunya seperti punduk unta. Sudah sepuluh tahun ini, dia beralih bidang pekerjaan. Sebelumnya, dia seorang pelaut berpangkat Laksamana Pertama. Entah bagaimana ceritanya, marinir pensiun dini itu, jadi penjual manusia.

“Oke. Ini bagianmu!” jawab Pakcik Mahroom.

Tangannya menyodorkan segepok uang berwarna merah. Siti langsung pamit dengan sumringah. Perempuan sundal itu meninggalkan Risma, teman sepermainannya, di tengah negeri asing. 

“Baik-baik ya! Uang pasti datang segera,” pesan Siti pada Risma sambil berlalu.

Sementara itu, Risma yang lugu, terduduk lemah. Usai itu, seorang lelaki suruhan Pakcik Mahroom membawakan tas Risma ke dalam kamar.

Gadis kampung itu merebahkan telapak tangannya di paha. Air mukanya seolah menyesal. Tenggorokannya menahan sauk tangis.

Lihat selengkapnya