Malam di pusat kampung Pucuk Inong lebih ramai dibandingkan pasar malam sekalipun. Lampu kerlap-kerlip menjuntai di tiap rumah bordir. Ditambah alunan dangdut berlarik birahi, meletup-letup dari masing-masing pelantang. Wewangian parfum murah; atau mungkin minyak pelet, merajam hidung para peziarah seks. Di tiap sudut tempat yang agak terhalang cahaya lampu, terdengar cekikikan laki-inong. Tampaknya mereka terlampau suka bercanda gurau mengenai birahi dengan mulut terbuka lebar.
Jauh di belahan kampung paling belakang. Di mana suara kumbang hutan berderik-derik. Di tengah gubuk Abu Daud yang hampir lapuk karena tak terurus. Seorang wanita berdiskusi serius dengan lima lelaki dewasa. Belasan pria lain berjaga di depan-belakang gubuk dengan senapan yang terselip di balik pakaian.
Wanita itu, Siti Kemala. Janda yang fasih strategi berperang dan ahli menyamar. Rambutnya dihijab kain merah, sedangkan tubuhnya berbalut seragam hitam-hitam.
Sejak tahun 1995, Kemala tahu riwayat gerilyawan AM dan mempelajarinya. Namun, mulai tahun 1998-lah, dia bergabung sebagai inongbalee. Sepeninggal adik iparnya di sebuah walimahan, janda Abdul Hakim membaiat diri jadi perempuan askar.
Kedua anak Kemala hanya tahu sang ibu jadi TKW di Malaya. Pun Isah, nenek dari Risma dan Muslim, yang tertipu kabar kehilangan putri sulungnya di seberang negeri.
Kini, Kemala sudah lupa wajah orang tua kandungnya. Dua darah daging yang ditinggalkan pun telah hilang dari ingatan Siti Kemala. Isi pikiran pejuang itu penuh dengan CV-47 dan bom rakitan. Seperti malam ini, dia bersama sekelompok lelaki pejuang lain sudah memutuskan untuk melakukan aksi penyerangan. Selama dua tahun ini, Siti Kemala telah mengumpulkan informasi tentang seluk beluk EAM Corp. beserta kelemahan benteng milik asing itu.
Abu Daud menatap Siti kemala dengan lekat, “Mamak, apa tidak lebih baik kita buat pengalihan aksi?”
“Kupikir, kau takut? Kita adalah pemilik tanah ini. Merekalah yang wajib ketakutan oleh serangan kita.”
“Bukan begitu. Hanya saja aku memikirkan risiko yang mungkin lebih besar terjadi. Jika kita langsung menyergap dengan jumlah pasukan kita yang minim, pengorbanan anak itu akan percuma. Tentara musuh tentu lebih banyak. Jadi, ini ibaratnya soal pengalihan persepsi,” tegas Abu Daud dengan bahasa Aceh yang sopan.
“Lalu?”
“Aku melihat banyak sekali personel tentara pemerintah yang sering berkumpul di kafe depan gampong. Kita alihkan perhatian mereka ke sana. kita ledakkan rumah bordir itu. Lagi pula, terlalu banyak orang-orang kita yang tersesat di sana.”
Perempuan pemimpin itu mengernyit.
Dia memang baru dua tahun tinggal di gampong Pucuk Inong sebagai mata-mata. Akan tetapi, dalam rentang itu pula pengetahuan taktik peperangan banyak yang Siti Kumala pelajari. Mungkin, karena seringnya bertemu dengan tentara-tentara sontoloyo, sehingga mudah sekali menerka kelemahan mereka. Alhasil, para askar AM di Aceh Utara mengikrarkan diri untuk memanggilnya komandan lapangan. Termasuk, Abu Daud, mantan panglima AM itu, kini mengekor patriotisme sang inongbalee.
“Bagaimana dengan EAM Corp.?” tanya Siti Kemala.
Abu Daud menghela sejenak.
“Kita tetap pada rencana awal kita. Kita hancurkan aset asing itu. Pemerintah pun akan terkena dampak serangan kita. Tiga perempat tentara kita langsung merangsek ke sana.”
“Gerilya,” Siti kemala mengangguk lalu berdiri, “Baiklah. Aku ikut denganmu. Tapi siapa orang yang bisa kau andalkan untuk tugas pengalihan ini?”
Abu Daud diam. Keningnya berkerut mengingat nama. Sekonyong-konyong Munir mengajukan diri.