Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #17

Bab 16 - Mimpi Awal Desember

Hutan Pucuk Inong, 14 Desember 2004

Pukul 18.41 WIB


Belati tajam dikibas-kibaskan Ambar untuk mengenyahkan perdu yang menghalangi jalan. Sementara lengan kirinya segera meraih jemari kanan Risma. Hanya saja, Risma agak kagok dengan ajakan tangan pemuda itu.

Gadis desa itu mencoba menolak halus, tapi lelaki tegap itu berbuat sebaliknya. Seiring menit, Risma setuju lengannya digiring. Walau pegangan mereka masih pula tergelincir karena peluh ketegangan. Langkah mereka cepat, setengah berlari. Risma agak kepayahan mengikuti gerakan cepat Ambar. Apalagi bawahan mukena belum lagi diganti seusai salat magrib, Ambar sudah menyahut di balik jendela.

“Risma, sudah waktunya," bisik Ambar dari bawah balkon jendela, setengah jam yang lalu.

"Pilih! Terjebak di ladang biadab ini atau pergi ke Utara bersamaku? Ikutlah denganku! Aku tak ingin lagi mendengarmu menderita,” lanjutnya.

Seisi dada Risma mendadak bergemuruh. Meski letupan-letupan ingatan buruk menghantui pikirannya. Perempuan itu getir.

“Bagaimana dengan Nenek dan Muslim? Pada siapa mereka bergantung selain padaku? Tetapi, meskikah aku menjual kehormatanku sebagai perempuan di tempat ini?”

Doa di ujung lidah magribnya belum jua terjawab, sebelah kaki Risma spontan naik ke atas jendela. Maka, sementara penghuni bordir lain terlena dengan musik dangdut yang memabukkan, pasangan itu sudah masuk hutan. 

Seperempat jam kemudian, mereka sudah di kegelapan rimba. Beberapa kali, Risma memberhentikan langkahnya sambil memegang kedua lutut. Nafasnya berat. Kakinya melecet kena jejukut yang ranggas.

Ambar setia menemani. Kedua lengan Ambar mencoba membopong tubuh gadis itu berdiri. Hatinya pilu melihat perempuan itu meringgis kesakitan. Rasa iba itu semakin membuncah, lalu bermetamorfosa menjadi rasa yang lain. Sebuah rasa yang lebih asing dan berbeda. Bukan iba belaka. Tidak seperti belas kasihan. Tidak juga perasaan lain yang pernah dikenalnya dalam ingatan. 

Walau sempat pikirannya tiba pada keinginan sang ayah –berkarir di ketentaraan meneruskan tradisi keluarga-, tetapi apa yang dilakukannya saat ini lebih merupakan pilihan hidupnya. Baru kali ini dia yakin dengan pilihannya. Yakin memilih desersi, demi seorang wanita yang baru ditemui. 

Meski sesekali ingatannya sampai ke sosok Rani di seberang pulau sana, tetapi rasa yang ini lebih kuat dan dekat. Risma meruntuhkan keragu-raguan Ambar sebagai pejuang. Rasa asing yang membuat lelaku kelelakian Ambar mendewasa. Sebuah cinta yang tulus.

“Kau baik-baik saja? bertahanlah, begitu masuk ke kawasan bebukitan Syamtalira, jejak kita akan sulit dicari. Dari sana kita bisa menembus jalur ke Lhoksemawe. Ada banyak kapal yang bisa membawa kita menyebrang ke Pulau Pinang,” hibur Ambar.

Risma diam. Kepalanya bergerak ke atas-bawah sedikit, hampir tidak berupa anggukan. Namun, wajahnya coba mendongak. Entah kenapa sosok Ambar seperti membawa perubahan dari kegetiran itu. Gurat kekhawatiran sedikit mereda. Seulas senyum mengiringi uluran tangannya meminta bantuan berdiri.

Ambar menyambut.

Lihat selengkapnya