Pusat Komando Cadangan Umum Angkatan Darat, Bogor
Purnawirawan itu berperawakan sedang. Tubuhnya sekira 170 cm, berambut tipis, dan berkumis kaku. Sayang, cara berjalannya tidak segagah dulu. Kini, jalannya tergopoh-gopoh.
Untuk mengambil segelas air putih saja, dia harus bersusah payah. Kaki kanannya memang masih utuh, sebelah lagi hanya seonggok daging hingga paha. Oleh karena itu, sudah sembilan tahun pasca mengajukan pensiun, dia didampingi tongkat penyangga. Ke mana pun dia berjalan, tongkat dari baja pipih itu menemani sebelah langkahnya.
“Wiranta Abraham. Apa kabar? Lama tidak bertemu?”
Seorang perwira tinggi berpangkat Bintang Satu menyambut lelaki tua itu, setelah saling menghormat sebelumnya.
“Jangan basa-basi lagi Jendral. Aku sudah tidak di kesatuan.” Jawab lelaki tua yang masuk dengan kaki pincang tadi, yang ternyata bernama Wiranta.
Pangkat terakhir Wiranta adalah Letnan Kolonel. Itupun adalah pangkat kehormatan setelah mengundurkan diri dari Angkatan Darat, pada satu dekade lalu. Dahulu mereka kawan satu detasemen, bahkan saling berutang nyawa.
Wiranta memberi kode kepada anak buahnya untuk keluar ruangan, dan meninggalkan keduanya dengan segera.
“Bocah malang,” Brigadir Jendral Subianta mengulang-ulang frase itu setengah berbisik. Raut mukanya berubah iba. Beberapa kali map yang digenggamnya hampir jatuh karena lengan yang gemetar. “Aku rindu anak ini. Bagaimana pun anakmu seperti anak kandungku sendiri. Almarhumah istrimu tahu itu.”
Ia kemudian meletakkan seberkas data dalam map hijau itu di atas meja, menaik nafas dalam-dalam, dan membelakangi Wiranta. Sedang, Wiranta berusaha mencari tahu apa yang ada di balik map hijau itu.
“Ambar Abraham, salah satu lulusan terbaik akmil tahun lalu. Aceh adalah tugas lapangan pertamanya. Dia pernah direkomendasikan untuk masuk dalam tugas internasional Kontingen Garuda XX/A ke Kongo. Ambar pun, kami rencanakan akan dikirim ke Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat, sebagai perwakilan prajurit negeri ini untuk menempuh pendidikan MCCC atau Maneuver Captain Career Course, jika dia promosi menjadi kapten tahun depan. Sungguh, anak muda yang berbakat, mirip seperti ayahnya yang melegenda. Aku begitu menaruh harapan besar kepadanya. Namun, dengan sangat menyesal, ...." Jelas Subianta.
Ada intonasi yang bergetar, saat Sang Jendral mengutarakan pernyataan itu sambil mendongakkan kepalanya.
Subianta membuka laporan dalam map itu. Foto Ambar, anak kandung Wiranta, lengkap dengan identitas dan rekam jejaknya membuat syok sang legenda. Badannya membanting ke kursi, seolah-olah kehilangan daya seimbang tubuh karena daya tarik bumi.
Subianta mendekat ke arah Wiranta dengan dua telapak menopang di atas meja. “Tapi, apa yang orang-orangku laporkan? Dia melarikan diri. Bersama seorang terduga Inongbale. Dan dia..., dia mengambil peralatan perang dari gudang senjata.”
Wajah Wiranta kaku seperti perunggu. Otot-otot wajahnya mengeras. Rasa cemas dan gelisah merupa ledakan di hati Wiranta. Kabar desersi anak semata-wayangnya itu menohok bagian terdalam dari hati sang ayah.
“Aku juga tak ingin percaya itu, kawan,” kali ini Subianta memegang bahu rekannya itu, “Kalau bisa, aku ingin hiraukan saja kabar itu. tapi, kau tahu prosedurnya kan?”
Wiranta tak sedikit pun bisa berkomentar. Lelaki pincang itu menundukkan kepalanya pada pangkal tongkat.
“Jadi, maksudmu, kau akan mengejar mereka?”
“Ya. Dan aku butuh bantuanmu,” jawab Sang Jendral.