Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #19

Bab 18 - Kembara Itu Mengubah Hati

Malam pertama pelarian, 15 Desember 2004


Telah hampir tiga jam lamanya, mereka menelusup rimba perawan tanpa jalan setapak. Malam semakin kelam, sedang sinar bulan yang sedikit semakin terhalang oleh perdu.

Laksana serangan glukoma pada anak kecil yang belum tahu jalan pulang. Hati mereka ingin lari sejauh-jauhnya dengan cepat. Namun, mata mereka hanya bisa melihat satu meter saja ke depan. Hal itu mengakibatkan mereka harus berlari sambil meraba-raba jalan.

Tangan laki-laki itu mendadak tertarik lagi ke belakang. Perempuan yang dibimbingnya, tiba-tiba menjatuhkan dirinya di sebuah akar pohon besar yang muncul ke permukaan tanah. Ia mencoba mengatur nafasnya. Setiap tarikan nafas gadis itu, seolah nutrisi berharga di antara kepanikan luar biasa. 

Ambar memahami kelelahan yang dialami Risma. Seperti diingatkan untuk rehat sejenak, Ambar pun ikut menghela nafas sepanjang-panjangnya.

“Kukira, kita sudah jauh dari kampung itu,” ucap Ambar.

Risma tidak menimpali. Wanita itu menatap lemas dan kosong ke tanah. 

“Kita cari tempat aman untuk beristirahat. Ini pertengahan bulan. Cahaya bulan cukup terang malam ini. Namun, justru hal itu bisa membuat kita terancam. Pasukanku pasti mengejar di belakang kita dan mereka bisa melihat bekas jejak kita,” tambahnya.

Pandangan Ambar mengitari sekeliling. Percuma saja, pandangan terjauh mereka hanya sekitar dua meter. Meski terang bulan, hutan tidak memberi ruang cukup untuk cahaya menembus ke tanah. Namun, di benak Ambar, justru kegelapan menguntungkan mereka.

Di tengah kelesuan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kondisi tanah yang bergetar hebat. Ranting-ranting pohon bergejolak di kegelapan, gerakannya melebihi terpaan angin besar sekalipun. Suara gemerisik dari gesekan antar ranting itu menyayat gendang telinga, hingga merabuti bulu-bulu kuduk. Sekelompok burung malam berkoar keras, memecah pucuk-pucuk pohon. Sebuah gejala alam luar biasa. Gempa bumi yang besar hingga menyentak nyali keduanya.

Sudah empat kali berturut-turut gempa bumi terjadi. Sejak selepas ledakan besar di EAM Corp., goncangan hebat muncul secara tidak terduga. Meski waktu gempa hanya sebentar dan guncangannya tidak terlalu besar. Namun, kejadian alam itu berlangsung konstan. Setiap jangka satu sampai dua jam sekali. Dengan kenyataan terjadi gempa, sedang mereka dalam perburuan aparat pemerintah, belum lagi berada di hutan yang gelap, membuat hati kecil mereka terkadang ciut untuk melanjutkan perjalanan.

Ambarlah yang berupaya mengontrol situasi. Dengan sigap, Ambar memutar langkah untuk kembali pada Risma. Ambar mencoba menenangkan Risma yang telah lemas, dengan duduk di sampingnya. Beberapa detik kemudian, suasana rimba kembali hening, kecuali dedaunan yang sudah jatuh di tanah.

Ambar melirik jam tangan kompasnya. Sudah pukul 10.14 malam. Seiring dengan itu, Ambar melirik sebuah ceruk kecil di dinding tanah sebelah kiri pohon tempat Risma terduduk. Ambar mendekat, ada lubang seukuran satu meter persegi dengan tanaman rambat terurai di pintu masuk lubang. Sebuah gua kecil, pikirnya. Segera Ambar menarik pelan tangan Risma dan memapahnya ke shelter tersebut.

 “Kau tidak apa-apa, Risma?” ujar sang disertir, seusai mendudukkan Risma di dalam tempat perlindungan.

Risma melepas tangan Ambar perlahan. Entah canggung atau takut. Lalu, menggeleng pelan. Ambar memaklumi keadaan itu, lalu mundur ke dinding sebelah dalam untuk menjaga jarak. Sejenak kemudian, dia menggundukan daun-daun kering dan ranting-ranting kecil di antara dirinya dan Risma. Beruntung, di sakunya masih ada korek gas milik Ary bekas memantik cerutu. Api kecil segera menghangatkan keduanya. 

Kedua tangan Risma memegang tapal kaki. Jemarinya memijat-mijat perlahan. Kulit telapak kaki gadis itu terkelupas, hingga mengeluarkan darah bercampur lumpur.

“Eeh...,” kata-kata Ambar tidak jadi diucapkan. Lelaki itu kemudian keluar shelter dan kembali lagi beberapa, saat dengan membawa sejumput herba. 

Lihat selengkapnya