"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari dosa-dosamu."
(QS. Asy Syura: 30)
Fajar tidak bisa membelah hutan seutuhnya. Namun, suara-suara binatang liar seolah memberi kode bahwa pagi sudah hampir menjelang. Meski begitu, kondisi gua tidak terlalu gelap seperti semalam. Gurat-gurat cahaya tipis sedikit bisa masuk lewat celah-celah pepohonan.
Risma membuka matanya, lalu beristigfar karena ketiduran. Beberapa kali dia mengecek kondisi raganya; masih ada sedikit ketakutan dalam hatinya. Waspada, kalau-kalau lelaki yang bersamanya saat ini memanfaatkan kondisi lelahnya semalam.
Gadis itu bersyukur dan yakin tidak terjadi apa-apa dengan tubuhnya. Risma duduk ke sudut shelter sambil merapikan seragam Ambar, yang semalam dia pakai sebagai selimut. Sesuatu yang aneh dirasakan Risma, saat dia melihat wajah Ambar penuh dengan titik-titik keringat.
Ambar menggigil.
“Pak..., Pak..., Tuan..., Tuan, sadarlah. Ada apa Tuan?” sahut perempuan itu sembari menggoyang-goyangkan tubuh Ambar.
Tiba-tiba, tubuh Ambar berbalik 45 derajat ke arah kiri. Hingga tengkuk kanannya terlihat. Ada sebuah lubang kecil yang mengeluarkan darah. Di sekeliling luka tersebut menonjol warna kebiru-biruan, ibarat terkena gigitan ular. Pandangan Risma beralih ke seekor serangga besar dengan tubuh beruas-ruas dan ekor yang panjang di samping kepala Ambar. Binatang itu mendesis dengan ekor yang menjengkit.
“Kalajengking!” teriaknya panik.
Perempuan itu lalu berlari keluar dan mengambil sebilah batang pohon runcing. Entah faktor apa yang membuat Risma mendadak berani sehingga batang pohon itu menjadi senjata andal untuk menikam-nikam kalajengking tadi sampai mati terbelah.
Risma bergegas melihat kondisi Ambar. Lelaki yang telah membebaskannya dari cengkeraman germo itu meringis kesakitan. Suhu tubuhnya meninggi karena racun kalajengking telah menginfeksinya. Sekelebat pula Risma khawatir, Ambar merenggang nyawa. Padahal, lelaki itu adalah harapan satu-satunya untuk Risma tetap hidup. Dia pikir, dia harus berbuat sesuatu. Perempuan itu bangkit dan berbuat sebisanya. Dengan sigap dia lari ke luar shelter, mencari tanaman terna apa saja yang bisa dijadikan obat.
Risma berlari-lari kecil kian kemari. Sebentar dia jongkok di pohon satu untuk mengikis tanaman paku. Setakat kemudian, Risma merunduk ke tepian jurang untuk memetik jukut penawar racun. Kerudung Risma sampai basah karena peluh. Beberapa kali, Risma hampir terjerembap karena ujung rok mukenanya terinjak-injak. Meski begitu, Risma bersikeras mencari herba penawar racun yang dia tahu.
Setelah hampir lima belas menit, Risma mendapatkan sejumput dedaunan obat di tangannya. Segera setelah itu, Risma bergegas kembali ke ceruk perlindungan, tempat Ambar terkapar terkena racun. Dalam benaknya, pasti Ambar sedang menggelinjang-gelinjang kesakitan, dan efek racun serangga hutan biasanya lebih cepat dari pada yang bisa diperkirakan. Kalau itu terjadi, tentu nyawa Ambar sangat terancam. Dan Risma sadar betul, hanya kepada dirinyalah, Ambar menautkan harapan pertolongan.
Kira-kira sepuluh meter dekat shelter, Risma terkaget. Ulam obat yang dibawanya terjatuh. Beberapa orang bersenjata sedang mengepung tempat mereka bermalam. Anehnya, semua orang itu tidak berseragam loreng. Tentulah mereka bukan berasal dari tentara pemerintah. Wajah mereka melayu. Tetapi kumis dan cambang mereka lebih tebal dibandingkan orang Arab sekalipun. Seolah-olah tidak pernah bertemu pisau cukur selama berwindu-windu.
“Ampun .... Tuan-Tuan, jangan bunuh kami. Kami hanya pejalan kaki yang tersesat. Seragam itu, kami .... kami menemukannya untuk menghalau dingin."